Tidak puas dengan tuntutan adanya persamaan hak dalam pembagian harta warisan dan persaksian yang menyangkut pidana umum, kaum liberal dan feminis pun mewacanakan bolehnya seorang wanita menjadi imam bagi laki-laki. Tidak sekedar wacana, paling tidak mereka sudah mempraktekkannya dua kali. Pertama pada 2005 di Amerika, dan kedua di Inggris tiga tahun setelahnya, 2008. Dalam kedua aksi itu, Aminah Wadud, didapuk sebagai imam dengan makmum bercampur antara laki-laki dan perempuan.
ARGUMENTASI KAUM LIBERAL
Menanggapi peristiwa yang menghebohkan dunia Islam tersebut, Luthfi Assyaukanie, salah seorang tokoh liberal pun ikut berkomentar memberikan justifikasi. Menurutnya, isu imam perempuan adalah bagian dari tradisi keagamaan semata, dan bukan pondasi asasi dari agama.
Dengan menukil beberapa orang yang ia sebut sebagai ‘intelektual Muslim’ dan ‘ahli fikih’, Assyaukanie juga menilai bahwa masalah imam perempuan adalah masalah konstruk sosial budaya semata yang sangat erat kaitannya dengan masyarakat Arab yang patriarkis (memprioritaskan kaum lelaki). [http://islamlib.com/keluarga/perempuan/gebrakan-amina-wadud/]
BACA JUGA: Pembaharuan Hukum Wris, Ala Liberal
Pendapat yang sama juga disampaikan Mahmoud Ismail Meshal, dalam bukunya Atsar al-Khilaf al-Fiqhi fi al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha wa Madaa Tathbiqiha fi al-Furu’ al-Mu’ashirah, [h. 472]. Untuk mendukung pendapatnya tersebut, Mahmoud pun menyuguhkan sebuah hadits yang ia anggap sebagai legalitas syar’inya. Hadits tersebut adalah hadits Ummu Waraqah binti Abdullah bin Harits al-Anshariyyah, sahabat wanita yang hafal al-Quran, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud (no hadits. 591).
فَاسْتَأْذَنَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَتَّخِذَ فِي دَارِهَا مُؤَذِّنًا، فَأَذِنَ لَهَا
‘Ia (Ummu Waraqah) kemudian meminta izin kepada Nabi ﷺ supaya diperbolehkan untuk mengambil seorang muadzin di rumahnya. Lalu beliau (Nabi) pun mengizinkannya’
Dalam riwayat lain disebutkan,
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُورُهَا فِي بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا، وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا
‘Rasulullah ﷺ pernah mengunjunginya (Ummu Waraqah) di rumahnya dan beliau mengangkat seorang muadzin yang menyerukan adzan untuknya. Beliau juga mengizinkannya menjadi imam untuk keluarganya’
Abdurrahman (perawi hadits) berkata, “Saya melihat muadzinnya adalah seorang laki-laki yang sudah tua.” [HR. Abu Daud, no hadits. 592]
Menurutnya, hadits di atas menjelaskan bahwa wanita boleh mengimami laki-laki, sebagaimana izin yang diberikan Nabi ﷺ kepada Ummu Waraqah. Seandainya hal itu tidak diperbolehkan, niscaya Nabi ﷺ tidak akan memberikan izin kepadanya.
TANGGAPAN
Kaum liberal sering kali menggunakan tradisi keagamaan dan bukan pondasi asasi agama untuk menyatakan sesuatu yang sudah mapan dalam agama. Ungkapan lain yang juga sering digunakan adalah pemahaman keagamaan dan bukan berasal dari agama; atau hukum fuqaha dan bukan hukum Allah. Tujuannya tidak lain adalah untuk menyudutkan bahwa pendapat seperti itu hanyalah pendapat manusia biasa yang tidak ada hubungannya dengan agama.
Padahal meski persoalan imam perempuan bukan persoalan asasi yang menyebabkan orang yang berpendapat seperti itu kafir, namun hal itu termasuk permasalahan yang mendekati ‘ijma’ ahli fikih. Karena sejak era Nabi ﷺ dan para sahabatnya di Madinah, tidak pernah tercatat seorang wanita mengimami laki-laki di sebuah masjid, meski bagaimana pun kecerdasan perempuan tersebut. Demikian juga juga pada masa sahabat, tabiin dan tabi’ tabiin yang sudah tersebar di berbagai pelosok negeri non-Arab, serta dengan berbagai perbedaan kondisi sosial budaya penduduknya. Jadi hal ini bukanlah sekedar konstruk sosial, apalagi sekedar tradisi keagamaan.
Oleh itulah Ibnu Hazm menyebutkan bahwa para ahli fikih telah sepakat bahwa seorang perempuan tidak boleh mengimami kaum lelaki yang mengetahui bahwa imam (shalat) mereka adalah perempuan. Jika mereka (tetap) melakukannya maka shalat mereka batal berdasarkan ijma’ [Maratibul Ijma’, h. 27].
Adapun terkait hadits Ummu Waraqah, ada beberapa komentar dan jawaban yang diberikan oleh para ahli fikih:
Pertama, hadits tersebut dhaif (lemah), sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Menurut Ibnu Hajar letak kelemahannya adalah pada rawi Abdurrahman bin Khallad [At-Talkhish Al-Habir, jld. 2, h. 67].
Kedua, seandainya hadits tersebut memang shahih, maka maksudnya bahwa ia hanya boleh mengimami kaum wanita dari keluarganya. Bukan menjadi imam shalat di suatu masjid.
Ketiga, hadits tersebut hanya khusus berlaku untuk Ummu Waraqah; tidak untuk selainnya.
Keempat, walaupun ada di antara ahli fikih yang menjadikan hadits tersebut sebagai pijakan bolehnya wanita mengimami kaum laki-laki, namun hal itu pun hanya khusus saat kondisi darurat. Kondisi darurat menurut mereka yaitu tidak didapatkan seorang pun dari kaum laki-laki yang bisa membaca surat Al-Fatihah dengan benar. [https://islamqa.info/ar/39188]. Wallahu A’lam. []