Wajib Menghadap Kiblat Ketika Shalat
وَاسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ. وَيَجُوْزُ تَرْكُ الْقِبْلَةِ فِيْ حَالَتَيْنِ: فِي شِدَّةِ الْخَوْفِ وَفِي النَّافِلَةِ فِيْ السَّفَرِ عَلَى الرَّاحِلَةِ.
“(Syarat sah yang ke lima adalah) menghadap kiblat. Boleh tidak menghadap kiblat pada dua keadaan; pertama: dalam kondisi sangat menakutkan, kedua: dalam shalat nafilah yang dilakukan saat bersafar di atas kendaraan.”
Secara bahasa, kiblat adalah arah, namun yang dimaksud kiblat di sini adalah Kakbah yang dimuliakan. Menghadap ke arah kiblat adalah syarat sah shalat yang kelima, kecuali pada dua keadaan (akan dijelaskan di akhir pembahasan).
Menghadap kiblat menjadi syarat sah shalat bagi orang yang mampu melakukannya. Dengan demikian, orang yang tidak mampu menghadap kiblat maka ia harus tetap mendirikan shalat ke arah mana saja sebagai bentuk pemuliaan terhadap waktu shalat, namun setelah itu ia wajib mengulanginya jika mampu.
Seperti yang dialami oleh orang sakit ketika tidak ada seorang pun yang dapat membantunya menghadap kiblat, maka ia tetap berkewajiban mendirikan shalat ke arah mana saja, setelah sembuh ia berkewajiban untuk mengqadha shalatnya.
Baca juga: Adakah Shalat Khusus Karena Terjadi Bencana?
Dalil kewajiban mendirikan shalat menghadap kiblat tertera dalam al-Quran, as-Sunah dan Ijmak kaum muslimin.
Allah berfirman yang artinya: “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144)
Disebutkan dalam riwayat Imam Al-Bukhari (No. 379), Rasulullah shalat menghadap ke arah Kakbah sebanyak dua rekaat, kemudian beliau berkata: “Ini adalah kiblat.” Ditambah dengan hadits dalam riwayat Imam Al-Bukhari (5897), Rasulullah bersabda: “Jika engkau mendirikan shalat maka (awalilah) dengan menyempurnakan wudhu, lalu menghadaplah ke arah kiblat, lalu bertakbirlah.”
Menghadap kiblat dalam shalat akan sempurna jika dilakukan dengan meluruskan dada ke arahnya, bukan meluruskan wajah. Dan meluruskan dada sekaligus meluruskan wajah ke arah kiblat itu lebih utama.
Orang yang mendirikan shalat di dekat dengan Kakbah, atau di dalam Masjidil Haram, maka wajib baginya untuk menghadap Kakbah. Ia boleh shalat menghadap ke “arah” mana saja asalkan arah tersebut lurus dengan posisi Kakbah.
Baca juga: Shalat Rawatib Setelah Shalat Jama’
Apabila imam shalat di Masjidil Haram telah menghadap Kakbah maka para makmum tetap dianggap mengikuti imam meskipun makmum melakukan shalat dengan melingkari Kakbah.
Orang yang mendirikan shalat di dalam Kakbah, ia boleh menghadap ke arah mana pun. Shalat di dalam Kakbah lebih utama daripada shalat di luar Kakbah, kecuali shalat yang membutuhkan jamaah; shalat tersebut akan lebih utama dilakukan di luar Kakbah secara berjamaah daripada shalat sendirian di dalam Kakbah.
Orang yang mendirikan shalat di dalam Masjidil Haram, atau di sekitaran kota Mekah yang tidak ada penghalang antara dirinya dengan Kakbah, atau di bangunan yang mungkin baginya melihat Kakbah, di atas gunung yang mungkin baginya melihat Kakbah, maka ia harus mendirikan shalat lurus menghadap di mana posisi Kakbah berada. Ia tidak boleh berijtihad (mengira-ngira) dalam masalah ini, sebab seseorang tidak boleh berijtihad ketika ada nash sharih yang diketahuinya.
Sedangkan orang yang mendirikan shalat di luar Masjidil Haram atau di luar kota Mekah, jika dia dapat memastikan posisi Kakbah maka dia harus mendirikan shalat lurus ke arah posisi Kakbah, namun jika dia tidak dapat memastikan posisi Kakbah maka ia boleh mengikuti pendapat orang yang dianggap tsiqqah (terpercaya).
Kaidah dalam masalah ini adalah: “Jika tidak mungkin menghadap kiblat dengan dalil qat’i maka boleh menghadap kiblat dengan dalil dzanni.”
Abu Syuja’ Al-Ashbahani menyebutkan ada dua keadaan seseorang boleh tidak menghadap kiblat saat mendirikan shalat.
Baca juga: Melipat Ujung Pakaian Saat Shalat
Pertama, dalam kondisi sangat menakutkan dan mencekam, seperti contohnya dalam peperangan.
Kedua, dalam shalat nafilah yang dilakukan saat bersafar di atas kendaraan. Tiga yang perlu diperhatikan, shalat nafilah, dilakukan dalam perjalanan, dan perjalanan di atas kendaraan.
Dalam keadaan di atas, jika seseorang masih mungkin untuk shalat menghadap kiblat maka hendaknya ia melakukan shalat dengan menghadap kiblat, seperti saat sedang berada di atas kapal.
Yang wajib dilakukan dengan menghadap kiblat adalah saat takbiratul ihram saja, selainnya boleh menghadap ke arah dimana kendaraannya berjalan.
Sedangkan orang yang bersafar dengan berjalan kaki maka ia juga boleh mendirikan shalat nafilah menghadap ke arah mana saja yang memungkinkan, asalkan takbiratul ihramnya; rukuknya; sujudnya; dilakukan dengan menghadap kiblat. Sehingga ia hanya boleh menghadap ke arah mana saja saat berdiri membaca surat al-Fatihah dan tasyahud. Wallahu a’lam. [Arif Hidayat/hujjah.net]
Daftar Pustaka:
- Hisyam kamil Hamid, Al-Imta’ bi Syarhi Matan Abi Syuja’, hal. 81, Dar Al-Manar, cet. 1/2011.
- Muhammad Az-Zuhaili, Al-Mu’tamad fil Fiqhi asy-Syafii, hal. 215-219, Darul Qalam, cet. 2/2011.