Urgensi dan Keutamaan Ilmu
(Bagian 2)
Al-Qur’an berisi banyak kisah.
Kisah-kisah ini adalah kisah pilihan terbaik, dan mengandung banyak faidah.
Masing-masing orang bisa memiliki kesan tersendiri terhadap kisah-kisah tertentu yang ada di dalam Al-Qur’an.
Salah satu kisah terbaik adalah tentang keislaman tukang sihir Fir’aun.
Sungguh, kisah mereka benar-benar menyihir manusia.
Sebagaimana kita tahu, kisah keislaman tukang sihir Fir’aun ialah kisah yang mengajarkan tentang kemantapan hati untuk meninggalkan kesesatan, keteguhan memegang prinsip yang diyakini kebenarannya, tunduk kepada al-haq yang datang, serta abai terhadap ancaman atas iman yang sudah diikrarkan.
Mungkin karena sebab-sebab di atas, kisah keislaman mereka diulang dalam tiga surat yang berbeda.
Sungguh, keislamam mereka menjadikan kita insaf bahwa tidak selayaknya untuk menghakimi orang lain.
Bahkan kepada orang yang paling jauh dari kebenaran sekalipun.
Karena bisa jadi ia termasuk orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah.
Bisa jadi Allah akan buka jalan hidayah untuk beriman dan bertaubat kepada-Nya, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.
Sekalipun pertaubatan itu terjadi pada satu bulan, dua pekan, satu minggu, satu hari, bahkan setengah hari sebelum ia meninggalkan dunia yang fana ini.
Kisah keislaman tukang sihir Fir’aun membuat kita sangat iri dengan husnul khatimah yang mereka teladankan.
Shahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma sampai mengatakan perihal mereka,
كانوا في أول النهار سحرة وفي آخره شهداء بررة
“Pada awal siang mereka merupakan tukang sihir. Namun pada penghujung hari, mereka menjadi syuhada’ yang berbakti.”
Sungguh, keislaman mereka membuat kita ‘iri’.
Betapa kita perlu meneladani keteguhan mereka dalam memegang keyakinan yang dianggapnya benar.
Sebagaimana terfirman di dalam surat Thaha ayat 65-76 bahwa ayat-ayat ini berbicara tentang pertarungan sihir yang mereka lakukan hingga akhirnya mereka menyungkur sujud karena menyaksikan kebenaran.
Mereka mengikrarkan keimanan mereka seketika itu juga.
Namun keimanan mereka justru membuat Fir’aun murka.
Ia pun mengancam akan memotong tangan dan kaki mereka secara terbalik kemudian menyalib mereka di pelepah kurma.
Namun, ancaman tersebut dijawab dengan tenang oleh para ahli sihir.
Mereka sudah mantap dengan keyakinan yang sekarang dianutnya.
Mereka sama sekali tidak takut dengan ancaman Fir’aun.
Bahkan yang lebih menakjubkan, mereka mendakwahi Fir’aun dengan tidak mentaatinya lagi setelah datang penjelasan (kebenaran) kepada mereka.
Tidak hanya itu, mereka juga mengingatkan bahwa Fir’aun itu hanya bisa menghakimi di dunia yang fana, dan bersifat sementara.
Mereka juga menegaskan bahwa keimanannya kepada Allah adalah agar Dia mengampuni dosa-dosa mereka.
Lihatlah!
Betapa berubahnya sikap mereka.
Sebelumnya meminta jabatan dan menjadi orang penting di istana tapi kemudian tak memiliki keinginan lain kecuali hanya akhirat semata.
Apa yang menjadi sebab dari keteguhan mereka yang begitu kokoh?
Diancam hukuman yang berat tetapi mereka lebih memilih iman daripada kembali kepada kekufuran?
Al-Imam al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani di dalam salah satu karyanya menyebutkan bahwa yang menjadi pendorong dari keimanan tukang sihir Fir’aun adalah ilmu.
Ilmu-lah yang menjadikan tukang sihir Fir’aun beriman, dan mereka teguh dalam memegang keimanan tersebut.
Penjelasan al-Qadhi al-Baqilani ternyata juga disebut oleh para mufassir.
Salah satunya adalah Imam an-Nasafi.
Di dalam bukunya, Madarikut Tanzil wa Haqa’iqut Ta’wil, Imam an-Nasafi mencatat seperti ini,
وضر فرعون جهله به ونفعهم علمهم بالسحر
“Kejahilan Fir’aun tentang sihir membahayakannya (sehingga tetap berada dalam kekafiran), sedang pengetahuan mereka tentang sihir bermanfaat bagi mereka.”
Mari perhatikan pernyataan menarik tersebut.
Sebab yang menjadikan Fir’aun tetap kafir dan tidak tunduk kepada kebenaran yang dibawa oleh Nabi Musa adalah karena ketidaktahuannya tentang ilmu sihir.
Sementara tukang sihir, mereka tahu dan sadar bahwa tongkat Nabi Musa yang menjadi ular besar lalu memakan ‘ular-ular kecil’ mereka itu bukanlah sihir, tetapi mukjizat.
Maka seketika itu pula mereka beriman kepada Rabbnya Musa dan Harun.
Ya, ilmu sihir mereka lah yang mengantarkan mereka kepada hidayah.
Imam an-Nasafi memberikan penjelasan menarik lagi setelah penyataan di atas.
فكيف بعلم الشرعي?
“Lantas bagaimana dengan ilmu syar’i?”
Maksudnya, jika ilmu sihir yang dilarang saja bisa mengantarkan pemiliknya kepada jalan keimanan, lantas bagaimana dengan ilmu syar’i?
Tentu ilmu syar’i ini akan membimbing pemiliknya kepada keimanan yang lebih berkualitas, insyaAllah.
Maka, tidaklah salah jika kita katakan bahwa kisah tentang keislaman dan keimanan tukang sihir Fir’aun menunjukkan tentang urgensi ilmu; betapa ilmu bisa mengantarkan kepada jalan kebenaran.
Wallahu a’lam.
Akhukum fillah,
Ibnu Abdil Bari عفا الله عنه
Penikmat Kisah Qur’ani