Dalam syariat Islam ada larangan menjual sesuatu yang belum dimiliki. Ada satu istilah dalam fikih Islam yang terkait dengan sistem penjualan seperti ini, yaitu transaksi salam. Banyak di antara kita yang belum mengenal istilah ini, berikut dengan ketentuan-ketentuan didalamnya.
DEFINISI
Secara etimologi, salam berarti attaslif yang berarti mendahulukan dan al-i’tha’ yang berarti memberikan. (Lihat Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, Cet-3, 1414 H), 9/159)
Sedangkan secara terminologi sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili, as-salam atau as-salaf berarti menjual barang yang tidak tunai dengan ganti yang dibayarkan secara tunai, atau transaksi pada suatu barang hanya dengan menyebutkan spesifikasinya dengan menyerahkan pembayaran secara tunai disaat transaksi. (Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fi al-Fiqh alIslami, (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet-2, 1427 H), 2/77)
Dapat dipahami dari definisi diatas bahwa transaksi salam adalah transaksi pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat transaksi berlangsung atau lebih sering disebut dengan jual beli sistem inden.
BACA JUGA:
Transaksi jual beli dengan sistem seperti ini diperbolehkan dalam syariat Islam. Hal ini berdasarkan dalil-dalil dari al-Quran dan as-Sunnah serta Ijma’ dan Qiyas yang benar.
Dalam al-Quran, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 282, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang telah ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.”
Terkait dengan ayat ini Ibnu Abbas z mengatakan, “Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf (as-salam) yang dijamin hingga tempo tertentu telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam alQuran, kemudian beliau membaca ayat tersebut. (Dikeluarkan oleh Asy-Syafi’I, No: 1314, al-Hakim, No: 3130 dan alBaihaqi, No: 2000. Hadits ini dishahihkan oleh Albani)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu disebutkan:
قَدِمَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ : مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
“Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dengan waktu satu dan dua tahun. maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa memesan kurma, maka hendaknya ia memesan dalam takaran, timbangan dan tempo yang jelas (diketahui oleh kedua belah pihak).” (HR. Bukhari, No: 2239 dan Muslim, No: 1604)
Ibnu al-Mundzir menyebutkan bahwa para ulama telah berijma’ perihal kebolehan transaksi salam ini. Dan dikuatkan oleh Ibnu Qudâmah dalam al-Mughni. (Lihat Ibnu Mundzir, Al-Ijma’, Tahqiq: Dr. Abu Hammad Shaghir, (Maktabah Al-Furqan, Cet-2, 1420 H), 134 dan Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Makbatah al-Qahira, TT), 6/385)
Kebolehan transaksi salam ini juga sesuai dengan qiyas dan kemaslahatan manusia. Jumhur fuqaha menyatakan bahwa kebolehan transaksi salam tidak sejalan dengan qiyas. Namun oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayim al-Jauziyah tidak demikian. menurut keduanya, transaksi salam itu kebolehannya sejalan dengan qiyas, dan tidak menyelisihi kaidah-kaidah syar’i.
Mereka yang menyatakan bahwa transaksi salam tidak sejalan dengan qiyas berdasar pada larangan Rasulullah menjual barang yang bukan miliknya. Namun yang tepat adalah bahwa transaksi salam ini adalah jual beli barang yang dapat dijamin penyerahannya dengan menyertakan kriteria dari barang tersebut. Seperti halnya transaksi manfaat dalam persewaan. Dan tentunya beda antara jual beli bukan milik sendiri yang kemungkinan penyerahannya tidak pasti dengan transaksi salam yang dapat dijamin kepastian penyerahannya. (Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, Tahqiq: Abdurahman bin Muhammad, (Versi Syamela), 20/529 dan Ibnu Qayim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’in, Tahqiq: Muhammad Abdus Salam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet-1, 1411 H), 1/301)
Hikmah transaksi salam
Transaksi dengan sistem salam ini dibutuhkan oleh banyak kalangan, diantaranya adalah mereka yang memiliki kemampuan dan keterampilan namun minim modal. Dengan sistem ini mereka dapat memasarkan produk mereka terlebih dahulu (meskipun dalam jumlah kecil) dan mendapatkan uang kontan.
Uang kontan tersebut dapat dimanfaatkan untuk untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga selama proses pengerjaan produk tersebut. Dan juga untuk menyiapkan bahan baku dan biaya operasinal pengadaan produk. Setelah produk siap, mereka dapat menyerahkannya sesuai dengan pesanan pada waktu yang telah ditentukan.
Bilamana produknya tidak dapat mencukupi pesanan, ia dapat mencari produk orang lain untuk memenuhinya. Hal ini karena barang tidak harus dari hasil produksi mereka sendiri. (Buhuts Fiqhiyah fi Qadhaya Iqtishodiyah Mu’ashirah, 1/187)
Ibnu Qudamah sendiri menyatakan bahwa barang jualan adalah salah satu objek dalam transaksi jual beli, maka dapat juga dihutang sebagaimana halnya harga. Selain itu banyak orang yang membutuhkan sistem seperti ini, sebab pemilik kebun atau perniagaan membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan modal bagi usahanya. Dan karena faktor modal ini terkadang usaha tidak jalan. Oleh itu, dibolehkan transaksi salam ini agar mereka mendapatkan manfaatnya. (Al-Muhgni, 4/305)
Syarat-syarat Salam
Dalam transaksi salam ada beberapa syarat khusus yang harus terpenuhi. Sebab transaksi salam berbeda dengan transaksi jual beli yang biasa terjadi. Diantara syarat tersebut berkaitan dengan modal (harga yang diserahkan pemesan) dan objek yang ditransaksikan.
Dalam modal disyaratkan harus diketahui jenis dan kadarnya. Sebab bisa jadi modal yang dimaksud berupa barang, maka perlu dijelaskan juga macam dan kondisinya. Apabila modal tersebut berupa mata uang, maka haruslah berupa uang yang masih laku, dan diketahui pula jenis mata uang yang dipakai (Al-Wajiz, 2/78-79).
Selanjutnya dalam modal disyaratkan harus diserahkan secara kontan pada saat transaksi berlangsung. Apabila modal tidak diserahkan saat transaksi maka transaksinya menjadi batal. Dan masuk dalam larangan Rasulullah n dalam jual beli hutang dengan hutang.
Di sisi lain, salam adalah transaksi yang diperbolehkan meskipun ada gharar sebab adanya dibutuhkan orang banyak. Maka jangan sampai gharar yang ada menjadi berlipat lantaran modal yang tidak segera diserahkan. (Zakaria bin Ahmad As-Saniki, Asna Al-Mathalib, (Versi Syamela) 2/122)
Syarat selanjutnya adalah pada barang. Pertama barang pesanan adalah barang yang pengadaannya dalam tanggung jawab penjual, bukan berupa barang yang sudah ada, misalkan baju milik penjual yang sudah ada di rumah. (Lihat Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj Ila Syarhi al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H), 4/188) Dan menurut jumhur selain Imam Asy-Syafi’i penyerahannya tidak secara kontan. (Lihat Al-Wajiz, 2/80).
Kedua, adanya kejelasan kriteria, jumlah dan ukuran barang saat transaksi berlangsung. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan berpengaruh pada harga barang. Dalam hal ini termasuk didalamnya kejelasan waktu dan tempat penyerahan barang. Sehingga tidak menimbulkan percekcokan antar transaktor. (Lihat Alauddin Al-Kasani, Badai’us Shanai’ fi Tartibi Asy-Syarai’, (Dar Kutub al-Ilmiyah, Cet-2, 1406 H), 5/207