Berutang, saat ini bisa menjadi kebutuhan. Terkadang kita yang berutang, atau justru diutangi. Bahkan bisa jadi kedua posisi itu kita alami. Jika harus menunggu piutang kita dilunasi, terkadang memakan waktu yang lama. Dalam fikih Islam, utang dapat dialihkan. Yaitu dengan transaksi al-hiwalah.
Definisi
Secara etimologi al-hiwalah berasal dari kata kerja haa-la, yang bermakna perpindahan atau pengalihan (Abu al-Husain ar-Razi, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Tahqiq: Abdus Salam Muhammad Harun, (Dar al-Fikr, 1399 H), 2/121).
Dalam terminology fikih, al-hiwalah adalah transaksi pemindahan atau pengalihan hak tagih utang dari tanggungan pihak tertentu kepada tanggungan pihak lain (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Maktabah al-Qahira, TT), 4/390). Lain halnya dengan esensi kafalah yang berupa penggabungan, esensi al-hiwalah adalah pemindahan atau pengalihan.
Landasan Hukum
Dalil yang mendasari kebolehan transaksi al-hiwalah adalah hadits, Ijma dan qiyas (Musthofa bin Saad Asy-Suyuthi, Mathalib Ula an-Nahyi fi Syarh Ghayah al-Muntaha, (Maktab al-Islami, Cet-2, 1415 H), 3/324). Dari hadits sebagaimana sabda Rasul,
مَطْل الْغَنِيِّ ظُلْمٌ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ
“Menunda-nunda pembayaran utang oleh orang yang mampu membayarnya adalah suatu kezaliman. Maka jika hak penagihan utang salah seorang dari kalian dialihkan kepada orang yang mampu, hendaklah dia menerimanya.” (HR. Bukhari, No: 2400 dan Muslim, No: 1564)
Hadits ini menunjukkan kezaliman orang yang mampu membayar utang namun ditunda-tunda. Dan hendaknya dia menerima jika piutangnya dialihkan kepada orang lain yang mampu (Dr. Musthafa Khan dan Dr. Musthafa al-Bugha, Al-Fiqh al-Manhaji ala Mazhab Syafi’i, (Damaskus: Dar Qalam, Cet-4, 1413 H), 6/189.
Perintah dalam hadits ini, menurut Imam As-Syafi’i memiliki makna sunah, sementara menurut Imam Ahmad, perintah ini bersifat wajib sesuai dengan kaidah asal sebuah perintah yang menunjukkan wajib (Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Minhaj, (Dar al-Fikr, TT), 3/371).
Syarat pada struktur
Struktur pembentuk transaksi al-hiwalah ada 5, yaitu sighah, al-Muhil, al-Muhal, al-Muhal ‘alaihi dan al-Muhal bihi. Ini menurut jumhur ulama fikih selain hanafiyah. Sedangkan kalangan hanafiyah menganggap sighah sebagai satu-satunya rukun al-hiwalah (An-Nawawi, Al-Majmu Syarh al-Muhadzab, (Dar al-Fikr, TT), 13/ 424-425).
Kelima rukun pembentuk al-hiwalah harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, sighah atau nota kesepakatan transaksi. Disyaratkan harus ada saat transaksi berlangsung, dalam bentuk apapun yang menunjukkan kerelaan, baik berupa isyarat, tulisan atau ucapan.
Syarat lain adalah kesepakatan itu harus berlangsung dengan pasti. Artinya tidak berlaku khiyar dalam al-hiwalah, beda halnya dengan transaksi jual beli (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet-4, TT), 6/47).
BACA JUGA: ETIKA UTANG PIUTANG
Rukun selanjutnya adalah al-muhil yaitu pihak yang berutang kepada muhal, dan mengalihkan hak tagih utangnya kepada muhal ‘alaihi, yaitu pihak ketiga yang berutang kepada al-muhil. Dengan demikian al-muhil memiliki posisi ganda. Disamping sebagai orang yang berutang (madin) ia juga sebagai orang yang memberi pinjaman (da`in). (Wizarah al-Awqaf wa Syuun al-Islamiyah Kuwait, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Dar as-Salassil, Cet-2, 1404 H), 18/170).
Secara umum ada dua syarat untuk al-muhil. Pertama, memiliki kelayakan untuk bertransaksi, maka dia harus seseorang yang berakal dan berwenang terhadap hartanya. Sebab kerelaan yang sempurna dalam bertransaksi, itu bersumber dari orang yang berakal. Sedangkan kewenangan yang dimiliki al-muhil berpengaruh terhadap keberlangsungan al-hiwalah.
Jika al-muhil dalam kondisi pailit misalkan. Maka tindakan pengalihan utangnya harus atas izin hakim. Jika pelakunya belum mumayyiz maka harus seizin dari walinya.
Syarat kedua, para ulama fikih bersepakat, saat transaksi al-hiwalah berlangsung, al-muhil harus sudah memiliki beban utang kepada al-muhal. Baik utang berupa hiwalah lainnya, penjaminan atau selainnya. Sebab tidak mungkin terjadi al-hiwalah kecuali ada utang sebelumnya (ibid, 18/139).
Rukun ketiga, al-muhal. Disyaratkan padanya sebagaimana syarat pada al-muhil, yaitu berakal dan memiliki kewenangan terhadap hartanya. Disyaratkan juga persetujuan al-muhal untuk menerima pengalihan utang saat transaksi terjadi. Jika dia tidak hadir dalam majelis transaksi, maka harus disampaikan dan persetujuannya menentukan keabsahan al-hiwalah (Ghanim al-Baghdadi, Majma’ adh-Dhamanat, (Dar al-Kitab al-Islami, TT), 282).
Rukun keempat, al-muhal alaihi, yaitu pihak yang dialihkan kewajiban pembayaran utangnya kepada al-muhal. Pertama, disyaratkan sebagaimana syarat yang berlaku pada al-muhil dan al-muhal. Yaitu berakal dan memiliki kelayakan transaksi. Terkait dengan kerelaannya menurut madzhab berpendapat dia boleh dipaksa untuk melunasi.
Syarat kedua, mampu untuk melunasi utang yang dibebankan dengan hartanya sendiri atau dengan harta orang lain setelah mendapat izin. Apabila dia berbelit-belit setelah terjadi kesepakatan, maka dapat dilakukan pemaksaan untuk melunasi utang. Jika sarana pelunasan itu disepakati dengan nilai suatu barang, semisal rumah, maka rumahnya harus dijual (Ibnu Nujaim, Al-Bahru ar-Raiq Syarh Kanzi al-Daqaid, (Dar al-Kitab al-Islami, Cet-2, TT), 6/266).
Rukun kelima al-muhal bihi, yaitu utang yang dialihkan. Di antara syaratnya, pertama, utang tersebut telah berlaku sebelum atau saat transaksi berlangsung. Jika utang belum terwujud atau berlaku, maka yang terjadi adalah transaksi kafalah (penjaminan).
Kedua, utang tersebut bersifat lazim (final mengikat dan tidak bisa dibatalkan). Maka tidak boleh al-hiwalah pada harga barang dalam transaksi yang masih ada khiyar. Sebab bisa saja transaksinya tidak jadi.
Contoh yang lain adalah utang mahar sebelum berhubungan badan, sebab bisa saja nantinya terjadi perceraian. Dan juga tanggungan uang sewa sebelum pemanfaatan barang sewaan, sebab bisa jadi ada udzur yang membatalkan transaksi sewa tersebut.
Syarat berikutnya, kedua utang (antara al-muhil dan al-muhal dan antara al-muhil dan al-muhal alaihi) harus sama dan sepadan nominalnya. Dan disyaratkan juga utang itu bukanlah barang yang menjadi objek dalam transaksi salam. Sebab akan terjadi penjualan barang sebelum diterima. Dan ini dilarang dalam syariat. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet-4, TT), 6/49)
Konsekuensi Hukum
dengan disepakatinya transaksi al-hiwalah, al-muhil terbebas dari beban utang yang dialihkan kepada al-muhal alaihi.
Berikutnya al-muhal hanya berhak menagih kepada al-muhal alaihi. Jika al-muhil diminta untuk selalu memastikan dan memantau al-muhal alaihi, maka harus ditepati, ketika al-hiwalah itu berlaku atas ide al-muhil. Jika transaksi ini berlaku atas ide al-muhal sendiri, maka tidak ada kewajiban bagi al-muhil untuk senantiasa memantau al-muhal alaihi (Ibid, 6/56).
Masa Berakhirnya
Transaksi ini berakhir dalam beberapa kondisi. Pertama, ketika transaksi dibatalkan, baik oleh al-muhil, al-muhal alaihi atau al-muhal. Kondisi kedua adalah disaat al-muhal menghibahkan utang atau yang semakna dengannya kepada al-muhal alaihi.
Ketiga, ketika al-muhal alaihi mengalami kebangkrutan. Dan keempat, ketika al-muhal alaihi telah menyelesaikan tanggungannya (Ibid, 6/56-58). Wallahu a’lam. []