Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan manusia di dalam seluruh aspek kehidupan. Di antara hal yang bisa kita contoh dari beliau adalah hal-hal yang beliau lakukan sebelum dan sesudah safar. Maka dalam kesempatan kali ini kami sajikan pembahasan mengenai adab-adab dalam safar.
PERSIAPAN SEBELUM SAFAR
Bagi seorang muslim yang ingin melaksanakan safar, hendaknya melakukan beberapa persiapan yang diajarkan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam. Di antara adab-adab sebelum safar yaitu:
Pertama, Melaksanakan shalat Istikharah sebelum bepergian, yaitu shalat sunnah dua raka’at kemudian berdoa dengan doa Istikharah. Dari Jabir z, ia berkata: “Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu, sebagaimana Beliau n mengajarkan al-Qur’an. Beliau n bersabda: ‘Apabila salah seorang di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaklah melakukan shalat sunnat (Istikharah) dua raka’at kemudian membaca do’a:
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ، اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ -وَيُسَمِّى حَاجَتَهُ- خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِي وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ.
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Maha Kuasaan-Mu. Aku memohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu Yang Maha Agung, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahui dan Engkau-lah Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendak-nya menyebutkan persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya ter-hadap diriku -atau Nabi n bersabda: ‘…Di dunia atau Akhirat’- sukseskanlah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku, atau -Nabi n bersabda: ‘…Di dunia atau akhirat,’- maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku daripadanya, takdirkan kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.” (HR. Al-Bukhari no. 1162)
Kedua, Hendaknya bertaubat kepada Allah dari segala macam kemaksiatan yang telah diperbuatnya dan beristighfar dari setiap dosa yang dilakukannya, karena sesungguhnya dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah ia melakukan safar dan tidak mengetahui pula takdir yang menimpanya.
BACA JUGA: Jarak Minimal Safar yang Memperbolehkan Shalat Jamak dan Qashar
Bagi seorang yang hendak safar hendaknya mengembalikan barangbarang yang pernah dirampasnya kepada pemiliknya, membayar hutang-hutang, menyiapkan nafkah (uang belanja) kepada yang wajib diberikan nafkah, segera menyelesaikan perjanjian-perjanjian yang diulur-ulur dan menulis wasiat kepada ahli warisnya dengan dihadiri para saksi, dan meninggalkan nafkah kepada keluarganya (isteri, anak dan orang tua) dan meninggalkan kebutuhan pokok yang dapat mencukupinya, dan tidak berbekal kecuali dengan bekal yang halal dan baik.
Ketiga, Hendaknya melakukan safar (perjalanan) bersama dengan dua orang atau lebih. Sebagaimana hadits:
اَلرَّاكِبُ شَيْطَانٌ وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ وَالثَّلاَثَةُ رَكْبٌ.
“Satu pengendara (musafir) adalah syaitan, dua pengendara (musafir) adalah dua syaitan, dan tiga pengendara (musafir) ialah rombongan musafir.” (HR. Ahmad, II/186, Abu Dawud, no. 2607, dan at-Tirmidzi, no. 1674, ia berkata: Hadits ini hasan shahih.)
Keempat, Seorang musafir hendaknya memilih teman perjalanan yang shalih, yaitu orang yang dapat membantu menjaga agamanya, mengingatkannya apabila lupa, membantunya jika dibutuhkan dan mengajarinya apabila ia tidak tahu.
Kelima, Mengangkat pemimpin, yaitu hendaknya menunjuk seorang ketua rombongan dalam safar, sebagaimana sabda Nabi n,
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَكُمْ.
“Jika tiga orang (keluar) untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai ketua rombongan.” (HR. Abu Dawud, no. 2609. Disha-hihkan oleh Syaikh al-Albani)
Dan yang dijadikan sebagai ketua rombongan adalah orang yang mempunyai akhlak yang paling baik, paling dekat dengan teman-temannya, paling dapat mengutamakan kepentingan orang lain (tidak egois) dan senantiasa mendahulukan kesepakatan rombongan (ketika ada perbedaan pendapat).
Keenam, Disunnahkan untuk melakukan safar (perjalanan) pada hari Kamis dan berangkat pagi-pagi ketika akan melakukan perjalanan. Hal ini berdasarkan hadits shahih dari Ka’ab bin Malik radiallahu ‘anhu,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ فِيْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ، وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ.
“Bahwasanya Nabi n keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis dan telah menjadi kebiasaan beliau untuk keluar (bepergian) pada hari Kamis.” (HR. Al-Bukhari, no. 2950)
Sedangkan dalil tentang disunnahkannya untuk berangkat pagi-pagi ketika hendak melakukan perjalanan adalah:
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لأِمَّتِيْ فِيْ بُكُوْرِهَا
“Ya Allah, berkahilah ummatku pada pagi harinya.” (HR. at-Tirmidzi no. 1212, ia berkata: “Hadits ini hasan.”)
Dan sangat disukai untuk memulai bepergian pada waktu ad-Dulajah, yaitu awal malam atau sepanjang malam, sebagaimana hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“عَلَيْكُمْ بِالدُّلْجَةِ فَإِنَّ الأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ.”
“Hendaklah kalian bepergian pada waktu malam, karena seolah-olah bumi itu terlipat pada waktu malam.” (HR. Abu Dawud no. 2571)
Ketujuh, Berpamitan kepada keluarga dan teman-teman yang ditinggalkan. Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berpamitan kepada para Sahabatnya ketika akan safar (bepergian), beliau n mengucapkan do’a kepada salah seorang di antara mereka, dengan do’a:
أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِيْنَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ.
“Aku menitipkan agamamu, amanahmu dan perbuatanmu yang terakhir kepada Allah.” (HR. Ahmad II/7, 25, 38, at-Tirmidzi no. 3443, dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi)
Adab-Adab Ketika Safar
Adapun bagi seorang musafir yang sedang melakukan safar, hendaknya memperhatikan adab-adab ketika safar. Di antara adab-adab ketika safar yaitu:
Pertama, Menaiki kendaraan dan mengucapkan doa safar (bepergian). Apabila Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam menaiki kendaraannya, beliau mengucapkan takbir sebanyak tiga kali: “اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ” kemudian berdoa dengan doa safar.
Kedua, Mengucapkan Allahu Akbar ketika sedang jalan menanjak dan bertasbih (mengucapakan Subhanallah) ketika jalan menurun. Sebagaimana hadits Jabir bin ‘Abdillah z, ia berkata:
كُناَّ إِذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا وَ إِذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا.
“Kami apabila berjalan menanjak mengucapkan takbir (Allahu Akbar) dan apabila jalan menurun membaca tasbih (Subhanallah).” (HR. Al-Bukhari no. 2993-2994)
Ketiga, Memperbanyak mengucapkan doa. Hal ini berdasarkan hadits,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ.
Dari Abu Hurairah z, ia berkata: “Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tiga do’a yang pasti dikabulkan (mustajab) dan tidak ada keraguan lagi tentangnya, doa seorang yang dizalimi, doa musafir (orang yang melakukan perjalanan), doa orang tua terhadap anaknya.’” (HR. Ahmad II/434, Abu Dawud no. 1536, At-Tirmidzi no. 2741. Lihat Silsilah al-Ahadiits ash-Shahihah oleh al-Albani no. 596) (diringkas dari kitab Adab Islamiyyah, Abdul Hamid bin Abdirrahman as-Suhaibani, 23-26) Wallahu a’lam [ ]