Shalat merupakan ibadah yang menjadi bagian dari rukun Islam. Namun nampaknya hal ini tidak berlaku bagi Syahrur, sosok pemikir yang banyak menelurkan ide nyleneh dalam Islam.
Shalat Ada Dua
Menurut Syahrur shalat itu ada dua macam. Pertama, shalat yang keislaman seseorang tidak sah tanpanya, yaitu adanya shilah (hubungan) dengan Allah f, meski dengan bentuk yang paling sederhana. Seperti dengan mengucap “yaa rabbi rahmani”, dengan bahasa apapun pada waktu kapanpun dan dengan cara bagaimanapun.
Syahrur mendasarkan pendapat ini pada firman Allah dalam al-Quran yang memuat kata kerja “shalla”. Siapapun yang melakukannya maka dia disebut dengan mushallin. Di antara firman Allah f yang dijadikan dalil adalah surat al-A’la ayat 14 yang artinya “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman) # dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat”.
Selanjutnya dalam ayat yang lain disebutkan, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka shalatlah karena Tuhanmu; dan berkorbanlah” (QS. Al-Kautsar: 1-2). Menurut Syahrur, ayat tersebut tidak berkaitan dengan shalat wajib lima waktu.
Di sisi lain menurut Syahrur, siapapun yang memutuskan hubungan dengan Allah f, maka dia disebut dengan mujrim (pendosa). Dan balasan bagi orang yang berdosa, dia mendapat ancaman celaka dari Allah, disebutkan dalam firman Allah f, “Demikianlah Kami berbuat terhadap orang-orang yang berdosa. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.” (Al-Mursalat, 18-19)
Bertolak dari pemahaman itu, menurut Syahrur firman Allah f yang berbunyi “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Al-Maa’un: 4-5). Ayat ini tidak berkaitan dengan shalat lima waktu. Namun terkait dengan mereka yang memutuskan hubungan dengan Allah f. sebab ancaman berupa celaka itu ditimpakan kepada mereka yang berdusta dan bukan kepada mereka yang melalaikan shalat.
BACA JUGA: Tasfir Syiam Ala Syahrur
Jenis shalat yang kedua adalah, shalat sya’airiyah (berfungsi sebagai syiar), yang kita lakukan dengan gerakan. Yang termaktub dalam firman Allah dengan lafal aqimis shalat (dirikan shalat) seperti firman Allah f, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (al-Baqarah: 43). Shalat ini merupakan rukun iman, sebagai tambahan dari shilah yang merupakan rukun islam (http://www.arab-rationalists.net/forums/showthread.php?t=8655/kamis_29_09_2016/15:37 WIB).
Meluruskan Pemahaman
Berdasarkan pemaparan di atas, Syahrur menegasikan eksistensi shalat sebagai ibadah. Ia hanyalah syiar semata. Meskipun secara jelas tidak dia ungkapkan, ini akan menimbulkan kerancuan terhadap hukum shalat yang wajib.
Buah pikiran Syahrur ini adalah efek dari prinsip anti sinonimitas (ketidaksamaan) istilah dalam al-Qur’an (Muhammad Syahrur, Dirasah Islamiyyah: Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqh al-Islami, terjemah Sahiron Syamsuddin, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008), 19). Ia membedakan antara shalla dan aqimi shalah atau shalat. Padahal jika dilihat dalam kamus, para ulama selalu mengkaitkan ketiga istilah tersebut.
Terlebih lagi ketika Syahrur memaknai shalla dengan shillah, yang berarti hubungan. Padahal shillah adalah turunan dari kata kerja wa-sha-la, bukan dari shalla (Ibnu Mandhur, Lisanul arab, (Beirut: Dar Shadir, Cet-1, 1414 H) 11/726).
Lebih jauh lagi, Syahrur menganggap bahwa riwayat dari Rasul yang digunakan para ulama dalam menafsirkan ayat hanyalah sekedar pemahaman awal dari nash. Yang pada giliran selanjutnya dapat diperbaharui sesuai akal penafsir dan kondisi sosial (Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, 104).
Metode tafsir Syahrur lebih dominan menggunakan teori hermeneutika Paul Ricoeur, hal mana teks apapun itu maknanya bebas ditafsirkan oleh siapapun. Karena teks menurutnya terbebas dari kehendak pengarangnya (E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 190). Artinya, dalam hal ini al-Quran dianggap telah lepas dari kehendak Allah f.
Dari sekian ayat yang dikutip oleh Syahrur, disebutkan oleh para Ulama Tafsir dengan mengutip keterangan dari Ibnu Abbas, semua terkait dengan shalat lima waktu. Ada juga yang terkait dengan shalat sunah. Bahkan para ulama dengan tegas menyebutkan bahwa shalat yang dimaksud di situ adalah ibadah yang harus dilakukan oleh seorang hamba (Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkamil Quran, (Kairo: Dar Kutub Mishriyah, 1384 H), 12/287, 19/87, 20/22. Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adhim, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1419 H), 8/281, 374).
Dengan membandingkan antara tafsir para ulama dengan tafsir Syahrur ini. Tentunya bagi seorang muslim yang berakal sehat dengan pemahaman yang benar berdasar tuntunan syariat, melihat kerancuan dan keberanian Syahrur dalam mentafsirkan ayat jauh dari makna yang sebenarnya. Wallahu A’lam. [ ]
Oleh: Ilyas Mursito
#Shalat Bukan Ibadah # Shalat Bukan Ibadah #