Kasus bunuh diri di wilayah Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, cukup tinggi. Selama periode tahun 20032012 tercatat sekitar 330 peristiwa bunuh diri. Rata-rata terjadi 33 kasus bunuh diri setiap tahun.
MITOS PULUNG GANTUNG DI GUNUNG KIDUL
Tingginya kasus bunuh diri itu seolah dilegitimasi oleh kepercayaan sebagian masyarakat Gunung Kidul terhadap Pulung Gantung. Pulung Gantung digambarkan sebagai bola api berpijar yang berwarna merah, kekuningan, terbang di udara, dan berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya.
Mereka percaya, orang yang rumahnya terkena Pulung Gantung akan terdorong oleh kekuatan gaib untuk melakukan bunuh diri, tanpa memiliki kekuatan untuk melawan dorongan itu. Pulung Gantung dipercaya membawa tali yang akan dipakai oleh “korban”nya untuk melakukan gantung diri.
Di daerah tersebut, orang yang mati gantung diri biasanya tidak dimandikan, tidak dishalatkan (jika beragama Islam), tidak dikafani, dan tidak didoakan. Ia hanya dikubur begitu saja. Karena dipercaya jika dimandikan, maka energi negatif yang bersemayam di tubuh orang tersebut akan berpindah ke orang lain. Masyarakat setempat mengibaratkan seperti mengubur anjing mati.
(baca juga: MATI TENGGELAM HARUS TETAP DIMANDIKAN)
BUNUH DIRI ADALAH DOSA BESAR
Biasanya orang melakukan bunuh diri karena masalah berat seperti hutang yang menumpuk, kemiskinan, penyakit berat yang tak kunjung sembuh, putus cinta, atau stres.
Dari sudut pandang agama Islam, bunuh diri menunjukkan lemahnya keimanan kepada Allah dan takdir-Nya. Bunuh diri, apapun latar belakangnya, adalah dosa besar yang haram dilakukan.
Allah SWT berfirman, “Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri!” (QS. AnNisa’ [4]:29 )
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu hal (alat), niscaya ia akan disiksa dengannya di dalam neraka Jahanam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
STATUS KEISLAMAN ORANG YANG MATI BUNUH DIRI
Pelaku bunuh diri terkadang adalah laki-laki muslim atau wanita muslimah. Jika ia meyakini tindakan bunuh diri adalah perbuatan dosa yang harus dijauhi, maka keislamannya tetap sah. Ia tidak keluar dari agama Islam, meskipun ia melakukan dosa besar bunuh diri. Maka jenazahnya harus tetap diurus sebagaimana pengurusan terhadap jenazah muslim lainnya.
MEMANDIKAN DAN MENGAFANI JENAZAHNYA
Semua ulama fikih menyatakan keluarga orang yang bunuh diri wajib untuk memandikan jenazahnya, kemudian mengkafaninya.
Dalil pengkuatnya adalah tidak ada ayat Al-Qur’an maupun hadits yang mengecualikan jenazah orang yang bunuh diri dari hak untuk dimandikan dan dikafani sesuai ajaran Islam.
Keyakinan bahwa memandikan jenazah korban bunuh diri akan menularkan energi negatif yang bersemayam di tubuhnya ke tubuh orang lain, adalah khurafat yang tidak benar. Khurafat ini wajib ditinggalkan.
MENSHALATKAN JENAZAHNYA
Para ulama fikih menyatakan bahwa ulama atau tokoh Islam setempat lebih baik tidak ikut menshalatkan jenazah orang yang mati bunuh diri. Hal itu sebagai bentuk peringatan kepada umat Islam lainnya agar mereka tidak meniru perbuatan buruk orang tersebut.
Pernyataan para ulama fikih ini didasarkan kepada hadits dari Jabir bin Samurah RA:
أُتِىَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
“Bahwasanya dibawa ke hadapan Nabi SAW jenazah seorang laki-laki yang melakukan bunuh diri dengan mata anak panah yang tajam. Maka beliau tidak menshalatkan jenazah tersebut.” (HR. Muslim)
An-Nawawi Asy-Syafi’i berkata, “Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, dan mayoritas ulama berpendapat jenazah orang yang bunuh diri tetap dishalatkan. Tentang hadits ini, mereka menyatakan bahwa Nabi SAW tidak menshalatkan jenazahnya sebagai bentuk peringatan keras kepada masyarakat agar mereka tidak melakukan tindakan bunuh diri seperti yang dilakukan orang tersebut. Jenazah orang tersebut sendiri tetap dishalatkan oleh para sahabat.
Hal ini adalah sebagaimana Nabi SAW pada awalnya tidak menshalatkan jenazah orang yang memiliki hutang, sebagai peringatan keras agar orang tidak bermudah-mudah dalam berhutang dan teledor dari melunasi hutang. Lalu beliau memerintahkan para sahabat untuk menshalatkan jenazah orang yang memiliki hutang.”
Qadhi Iyadh bin Musa Al-Maliki berkata, “Seluruh ulama berpendapat, dishalatkan jenazah setiap orang muslim, orang yang mati karena dikenai hukuman hudud, orang yang mati karena dikenai hukuman rajam, orang yang bunuh diri, dan bayi yang lahir dari hasil zina.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 7/67)
MENGKUBURKAN JENAZAHNYA
Setelah dishalatkan, jenazahnya wajib dikuburkan dan didoakan seperti perlakuan terhadap jenazah muslim lainnya. Hal ini juga disepakati oleh semua ulama fikih.
REFERENSI:
www.detik.com, Selasa, 19 Juli 2016.
An-Nawawi, Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Jeddah: Muassasah Qurthubah, cet 2, 1414 H.