السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar adalah sepotong adzab. Safar menghalangi seseorang dari makan, minum, dan tidur. Oleh karenanya, jika seseorang telah selesai urusannya, segeralah pulang kepada keluarganya.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Saat membaca hadits ini, kita bayangkan situasi saat Rasulullah mensabdakannya. Pada jaman Nabi, safar berarti pergi dari rumah menggunakan kendaraan seperti unta, kuda dan keledai. Wajar saja jika safar disebut potongan dari adzab.
Bagaimana tidak? Bepergian dengan hewan sebagai kendaraan, kita hanya bisa membawa bekal terbatas. Panas kepanasan, hujan kehujanan. Kita juga harus tahu tempat-tempat pemberhentian hewan dan sumber air di jalur yang dilalui, jika tidak ingin mati kehausan.
Waktu yang dibutuhkan juga lama, tergantung jenis kendaraannya. Perampok jalanan juga siap memangsa. Tak ada satu segi pun yang tampak menyenangkan.
Adapun sekarang, semua itu sudah lewat. Di jaman ini, alat transportasi semakin canggih dan para pengusaha transportasi berlomba menyediakan kendaraan dan pelayanan terbaik bagi penumpang. Soal makan dan minum, tak perlu khawatir.
Bahkan tanpa bekal dari rumah pun, penumpang masih bisa membelinya di tengah jalan. Panas dan hujan tak jadi masalah. Waktu tempuh bisa relatif cepat tergantung kendaraan.
Jarak ratusan kilometer bisa ditempuh hanya dengan beberapa menit dengan pesawat. Soal capek, naik kereta atau pesawat tentu tidak secapek naik unta. Soal keamanan, memang masih banyak preman dan penjahat di beberapa terminal atau stasiun tapi jumlahnya semakin berkurang.
Pengamanan dari aparat terus ditingkatkan sebagai pelayanan terhadap publik. Akhir-akhir ini, kereta api yang dahulu terkenal sebagai sarang penjahat dan preman, kini sudah rapi dan aman. Sistem entrance dan keamanan kereta jauh lebih rapi dari beberapa tahun sebelumnya.
Nah, apakah itu berarti hadits Rasulullah ini sudah tidak relevan lagi? Apakah rukhshah (keringanan) dalam ibadah di waktu safar juga tidak layak dipakai lagi karena safar sudah begitu mudah?
Jawabannya, tidak sama sekali.
Safar tetaplah bagian dari adzab. Selalu ada sesuatu yang tidak menyenangkan dalam safar. Mungkin porsinya tidak benar-benar sama seperti jaman Nabi, tapi adzab, kesulitan, dan kesengsaraan itu tetaplah ada.
Mengapa?
Pertama, tidak semua orang bisa melakukan perjalanan mengendarai kendaraan yang nyaman. Jadi, hal ini tidak bisa dijadikan ukuran.
Bagi kalangan menengah ke bawah, safar hanya bisa dilakukan dengan kendaraan-kendaraan kelas ekonomi yang pastinya tidak senyaman kendaraan kelas di atasnya. Berbagai kendala dalam safar akan tetap dirasakan.
Kedua, karena yang dimaksud potongan adzab itu adalah siksaan batin dan kesulitan-kesulitan. Imam al-Haramain memaknai adzab dalam hadits di atas dengan jauhnya kita dari keluarga. Dalam kondisi normal, seseorang tentu lebih senang dekat dengan keluarga. Rumah adalah ketenangan.
Imam al-Haramain pernah ditanya, “Kenapa safar dikatakan bagian dari adzab?” Beliau menjawab, لِأَنَّ فِيهِ فِرَاق الْأَحْبَاب “Karena safar berarti meninggalkan segala yang dicintai.”
Jika si musafir seorang bapak atau ibu, jauh dari keluarga akan membuatnya khawatir terhadap pasangan dan anak-anak mereka. Jika dia seorang anak, dia akan khawatir jauh dari orangtua. Safar tetap menyisakan ketidaknyamanan batin meskipun sarana transportasi sudah sangat nyaman.
Baca: Jarak Minimal Safar yang Memperbolehkan Shalat Jamak dan Qashar
Secanggih apapun sarana transportasi modern tak akan mampu menghilangkan siksaan batin ini. Bahkan, setiap jenis kendaraan pasti punya kelebihan dan kekurangan. Pesawat misalnya. Pesawat adalah kendaraan paling spesial era ini.
Supercepat, nyaman, aman dari kejahatan, dan full logistic. Safar dengan pesawat serasa tidak bepergian. Dalam jarak yang tak terlampau jauh, safar menjadi tak terasa. Namun, kekhawatiran saat naik pesawat jelas lebih besar. Sekali kecelakaan, hampir dipastikan nyawa hilang.
Bahkan, beberapa kendala dan kesulitan teknis juga masih mungkin terjadi. Makan di pesawat terasa tidak enak. Menurut para ahli, itu karena faktor ketinggian (altitude). Saat manusia berada jauh dari bumi, syaraf perasa pada lidah berkurang.
Jadi sebenarnya, bukan makanannya yang tidak enak, tapi lidah kitalah yang sedang tidak normal. Pada perjalanan jauh, situasi ini cukup menyiksa bagi yang tidak bawa bekal dari rumah.
Belum lagi jetlag alias belum siapnya kondisi tubuh menghadapi perubahan lingkungan dan waktu yang ekstrim akibat perpindahan jasad yang terlalu cepat pada perjalan jauh dengan pesawat.
Kereta Api. Kereta api di Indonesia akhir-akhir ini mengalami kemajuan pesat dalam bidang pelayanan publik. Kereta api bahkan stasiun sudah steril dari pedagang asongan, pengamen dan penumpang gelap yang seringnya adalah penjahat.
Pencopet memang masih ada, tapi harus modal karena dia tidak akan bisa masuk kereta tanpa tiket. Soal makan, meskipun tanpa pedagang asongan, penumpang tidak akan kelaparan karena ada restoran di dalam gerbong.
Soal kenyamanan, kereta api hari ini hampir semuanya ber-AC dan tempat duduk pas penumpang, tidak ada yang berdiri. Tidak ada lagi penumpang yang kepanasan dan bayi yang menangis karena gerah dan sesak.
Lantas di mana ketidaknyamanannya? Lagi-lagi kekhawatiran terjadi kecelakan kereta tetap ada. Meski frekuensinya lebih jarang dibanding kecelakaan kendaraan bermotor, tapi sekali terjadi, kecelakan kereta mampu menewaskan banyak orang.
Soal fasilitas, secara umum semuanya memang sudah terpenuhi, tapi secara personal, masing-masing orang pasti tetap merasakan kesusahan. Ada yang tidak tahan pada AC kereta yang tidak bisa distel seenaknya hingga masuk angin selama perjalanan.
Ada yang tidak bisa buang air dalam kondisi kereta berjalan, ada yang membawa anak kecil dan rewel karena tak bisa tidur berbaring. Ada yang lapar, tak bawa bekal, tapi tak punya cukup uang karena makanan dan minuman restoran KA tidak semurah pedagang asongan dan warung pinggir jalan.
Potongan adzab itu akan selalu ada menemani para musafir dalam perjalanannya.
Adapun safar dengan mobil pribadi apalagi kendaraan bermotor, tak perlu dibahas lagi bagaimana potongan adzab itu dirasakan. Oleh karenanya, rukhsah dalam safar tetap dibutuhkan dan pasti akan membantu para musafir dalam perjalannnya.
Apalagi rukhsah shalat. Tak bisa dibayangkan jika kita harus benar-benar tepat waktu dalam mengerjakan shalat dan harus berjamaah di masjid. Waktu pemberangkatan kendaraan tidak bisa mengikuti penumpang tapi penumpanglah yang mengikuti jadwal.
Sementara itu, perjalanan jauh pasti memotong wkatu shalat. Artinya penumpang berada dalam kendaraan dan tidak bisa melaksanakan shalat sebagaimana dalam kondisi normal.
Dengan begitu, rukhsah-rukhsah dalam safar seperti bolehnya menjama’ shalat, qashar shalat, berbuka puasa, tidak ikut berjamaah, tayamum saat tidak ada air akan tetap dibutuhkan dan bermanfaat.
Bukankah tidak semua orang bisa melakukan perjalanan dengan kendaraan nyaman?
Islam agama universal. Saat agama ini disyariatkan di jaman Nabi, Allah tahu pasti bahwa zaman akan berubah seperti sekarang ini. Bahkan Allah juga tahu kondisi jaman yang akan datang. Syariatnya akan tetap abadi dan relevan sepanjang jaman karena selaras dengan ilmu dan pengetahuan-Nya.
Wallahua’lam