عَنْ أَنَس بِنْ مَالِكِ قَالَ مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Dari Anas bin Malik beliau berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukan Qunut saat shalat subuh sampai beliau wafat.” (HR. Ahmad)
Qunut adalah satu amalan tambahan dalam shalat shubuh yang sering diamalkan oleh mayoritas masyarakat muslim Indonesia. Seolah-olah Qunut adalah bagian yang tak terpisahkan dari ibadah shalat shubuh.
Sementara, ternyata didapati pula sebagian umat islam yang tak segan-segan menganggap Qunut shubuh adalah bid’ah jika dilakukan terus-menerus. Pertanyaannya, apakah benar Qunut dalam shalat shubuh ini adalah amalan yang memiliki dasar hukum syar’i? bagaimana pendapat ulama mazhab tentang itu?
HUKUM QUNUT SHUBUH
Pertama, menurut ulama mazhab Hanafi, Qunut subuh sudah dihapus secara hukum (nasakh) dan tidak lagi disyariatkan.
Ulama Mazhab Hanafi, Badaruddin al-‘Aini (w 855H), dalam kitab al-Binayah syarh alHidayah mengatakan, “Sudah kami sebutkan sisi dinasakhnya Qunut, dan semua perawi yang meriwayatkan Qunut dan tidak Qunut sudah menetapkan bahwa Qunut sudah dinasakh, karena perbuatan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang terakhir menasakh yang terdahulu.” (AlBinayah Syarhul Hidayah, Badaruddin al-‘Aini al-Hanafi, 2/498)
Syaikh Abdullah bin Mahmud bin Maudud al-Hanafi juga menjelaskan bahwa tidak ada amalan Qunut kecuali dalam shalat witir. Di antara dalil yang menjadi pegangan mereka adalah perkataan Ibnu Mas’ud, “Tidaklah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan Qunut shubuh keculai hanya satu bulan saja, dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak melaksanakan Qunut subuh baik sebelum atau setelahnya.” Dan masih ada beberapa dalil yang menjadi landasan pendapat yang dipilih oleh para ulama mazhab Hanafi. (Al-Ikhtiyar li Ta’lilil Mukhtar, Abdullah bin Mahmud bin Maudud al-Hanafi, 1/61)
Kedua, pendapat mazhab Maliki. Para lama mazhab Maliki berpendapat bahwa Qunut subuh disyariatkan dan hukumnya adalah sunnah, Qunut dalam mazhab ini bisa dilakukan sebelum ruku’ pada rekaat kedua shalat subuh atau sesudah ruku’.
Imam Al-Qarafi Al-Maliki (w. 684H) mengatakan dalam kitabnya adz-Dzakhirah bahwa Qunut subuh disyariatkan menurut mazhab Maliki. Beliau menjelaskan, “Qunut subuh menurut kami dan menurut Syafi’i disyariatkan berbeda dengan Ibnu Hanbal, dan pada shalat subuh berbeda dengan Abu Hanifah yang mengkhususkan Qunut pada shalat witir. (Ad-Dzakhirah, al-Qarafi, 2/230)
Ibnu Abdil Barr (w. 463H) dari mazhab Maliki di dalam kitabnya al-Kafi Fi Fiqhi Ahli al-Madinah mengatakan, “Dianjurkan bagi imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian untuk melakukan Qunut dalam shalat subuh. Jika ia mau boleh dilakukan sebelum ruku’ atau setelah ruku’, semua itu ada keluasan, dan pendapat yang masyhur dari Imam Malik adalah sebelum ruku’. (AlKafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, Abu Amr Yusuf bin Abdillah bin Abdil Barr, 1/207)
Ketiga, Menurut mazhab Syafi’i Qunut pada shalat subuh hukumnya Mustahab, Qunut subuh menurut ulama Syafi’i dilakukan setelah ruku’ pada rakaat kedua shalat subuh. Jika seseorang lupa melakukan Qunut dan langsung sujud maka dianjurkan untuk sujud sahwi.
Imam an-Nawawi (w. 676H) seorang Muhaqqiq dan Mujtahid Tarjih dalam mazhab Syafi’i di dalam kitabnya Al-Majmu’ menyebutkan, “Qunut pada shalat shubuh setelah mengangkat kepala dari ruku’ pada rakaat kedua menurut mazhab kami hukumnya Sunnah tanpa ada perbedaan di antara kami. Adapun yang dinukil dari Abu Ali bin Abu Hurairah Radiallahu ‘anhu bahwa tidak ada Qunut pada shalat subuh, karena hal itu sudah menjadi syiar kelompok ahli bid’ah maka itu adalah sebuah kesalahan dan bukan termasuk mazhab kami.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Hussain bin Jumu’ah bin Hizam Al Hizami an-Nawawi Asy-Syafi’i., 3/ 494)
Zakariya Al-Anshari (w. 926H) dari mazhab Syafii juga menyebutkan pendapat serupa yang disebutkan an-Nawawi, yaitu Qunut pada shalat subuh dalam mazhab syafii hukumnya Sunnah. Beliau mencantumkan di dalam kitabnya Asnal Mathalib fi Syarhi Raudhatuth Thalib, “Qunut hukumnya mustahab setelah tahmid pada i’tidal rakaat kedua shalat subuh.” (Asnal Mathalib fi Syarhi Raudhatuth Thalib, Zakariyya al-Anshari asySyafi’i, 1/158)
Keempat, menurut ulama Hambali Qunut subuh tidak disunnahkan, begitu juga pada shalat fardhu yang lain. Qunut hanya dianjurkan pada shalat witir.
Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah (w. 620H) dari mazhab Hanbali di dalam kitabnya alMughni menyebutkan, “Tidak disunnahkan Qunut pada shalat shubuh, tidak juga pada shalat fardhu yang lainnya, kecuali shalat witir. Ini merupakan pendapat ats-Tsauri dan Abu Hanifah. (Al-Mughni, Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi, 1/ 821)
BACA JUGA: Shalat Rawatib Setelah Shalat Jama’
Imam Al-Mardawi (w. 885H) dari mazhab yang sama menyatakan hal serupa, yaitu Qunut hanya dianjurkan pada shalat witir dan tidak pada shalat yang lain. Beliau berkata, “Tidak dianjurkan melaksanakan Qunut pada selain shalat witir. Pendapat yang shahih dalam mazhab (Hanbali) yaitu dimakruhkan Qunut pada shalat subuh seperti makruhnya Qunut pada shalat-shalat selain subuh, ini adalah pendapat mayoritas ulama. (Al-Inshaf Fi Ma’rifatir Rajihi Minal Khilaf, Abul Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawi, 2/ 174)
APA YANG HARUS DILAKUKAN MAKMUM JIKA IMAMNYA QUNUT?
Qunut shubuh merupakan perkara yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama Fikih. Sehingga terkadang seorang makmum dan imam memiliki pilihan yang tidak sama. Lantas bagaimana sikap makmum tatkala imam melaksanakan Qunut subuh, sedangkan menurut dirinya tidak ada Qunut kecuali dalam shalat witir. Dalam kondisi seperti ini hendaknya makmum mengikuti imam tersebut, mengangkat kedua tangan dan mengamininya, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti.” (HR. Al-Bukhari & Muslim).
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama Fikih. Di antaranya keterangan yang disampaikan oleh salah satu ulama mazhab Hanafi, yang mana dalam mazhab Hanafi berpendapat bahwa tidak ada Qunut kecuali dalam shalat witir. Abdullah bin Mahmud bin Maudud al-Hanafi mengatakan, “Pendapat Abu Yusuf, kalau shalat di belakang imam yang melaksanakan Qunut hendaknya dia mengikutinya agar supaya tidak menyelisihi imamnya.” (Al-Ikhtiyar Lita’lilil Mukhtar, Abdullah bin Mahmud bin Maudud al-Hanafi, 1/61)
Begitu pula penjelasan salah satu ulama mazhab Syafi’I, Al-Mardawi, di dalam kitabnya Al-Inshaf Fi Ma’rifatir Rajihi Minal Khilaf, “Jika ia bermakmum dengan orang yang melakukan Qunut pada shalat subuh ia hendaknya mengikutinya dengan mengaminkan atau dengan do’a. (Al-Inshaf Fi Ma’rifatir Rajihi Minal Khilaf, Abul Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawi, 2/174)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata, “Demikian pula jika makmum shalat di belakang Imam yang melakukan Qunut shubuh atau witir maka dia juga Qunut. Sama saja apakah Qunutnya sebelum ruku’ atau setelahnya. Jika Imam tidak Qunut, maka makmum juga tidak Qunut. Seandainya Imam berpendapat mustahab tentng Qunut shubuh sementara makmum tidak berpendapat demikian, maka jika imam meninggalkan amalan tersebut untuk mewujudkan kesepakatan dan kerukunan sungguh dia telah berbuat baik.” (Majmu alFatawa, Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah al-Harani, 22/267-268).
Syaikh Muhammad bin Shalih alUtsaimin menjelaskan, “Hendaknya makmum mengamini doa imam dan mengangkat tangan untuk mengikuti imam, karena ditakutkan (kalau tidak mengikuti) ini termasuk penyelisihan terhadap imam. Imam Ahmad rahimahumullah telah menegaskan bahwa, jika seseorang bermakmum kepada Imam yang melakukan Qunut shubuh, maka hendaklah mengikutinya dan mengamini doanya. Padahal Imam Ahmad rahimahumullah dikenal termasuk orang yang berpendapat tidak disyariatkannya Qunut ketika shalat shubuh. Akan tetapi beliau memberi keringanan dalam hal ini, yaitu dalam masalah mengikuti imam yang melakukan Qunut shubuh karena takut perselisihan yang akhirnya terjadi perselihan di antara hati.” (Majmu Fatawa wa Rasail, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 14/133) Wallahu a’lam. [ ]