Penghinaan terhadap Rasulullah
(bagian 2)
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin. Beliau terkenal luas sebagai seorang yang sabar, santun, pemaaf, dan penyayang. Seluruh ucapan dan perbuatan beliau adalah pelaksanaan dari wahyu Al-Qur’an. Beliau adalah “Al-Qur’an yang berjalan”. Seluruh ucapan dan perbuatan beliau adalah akhlak mulia yang wajib dicontoh oleh kaum muslimin.
Lantas bagaimana teladan ucapan dan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dalam menyikapi orang-orang yang mencaci maki, melecehkan, dan mengolok-olok Allah Ta’ala, ajaran Islam, atau diri beliau sendiri?
Jawabannya bisa kita dapatkan dari hadits-hadits shahih berikut ini:
- Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang laki-laki buta yang memiliki seorang budak perempuan yang hamil dari hubungan dengannya (ummu walad). Budak perempuan itu biasa mencaci maki dan merendahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Sebagai tuan, laki-laki buta itu telah memperingatkan budak perempuannya untuk menghentikan perbuatan buruknya. Namun si budak tidak mau menuruti peringatan tuannya.
Pada suatu malam, budak perempuan itu kembali mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Maka laki-laki buta itu mengambil belati dan menusukkannya ke perut si wanita serta menekannya dengan kuat hingga budak itu tewas. Tiba-tiba seorang bayi laki-laki keluar dari perut perempuan itu di antara kedua kakinya, dan darahnya menodai ranjang.
Keesokan paginya, berita pembunuhan terhadap budak perempuan yang hamil itu dilaporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Maka beliau mengumpulkan para sahabat dan bersabda, “Aku bersumpah dengan nama Allah, hendaknya orang yang melakukan pembunuhan itu berdiri sekarang juga memenuhi panggilanku!”
Maka laki-laki yang buta itu berdiri, berjalan di antara orang-orang dan maju ke depan sehingga ia bisa duduk di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Laki-laki itu berkata: “Wahai Rasulullah, akulah yang telah membunuhnya. Dia selalu mencaci maki dan merendahkan Anda. Aku telah memperingatkannya, namun ia tidak mau peduli. Aku telah melarangnya, namun ia tidak mau berhenti. Aku memiliki dua orang anak seperti intan pertama darinya. Ia adalah kawan hidupku. Ketika tadi malam ia kembali mencaci maki dan merendahkan Anda, maka aku pun mengambil belati, menusukkan ke perutnya dan menekannya dengan kuat sampai ia tewas.”
Mendengar pengakuan laki-laki buta itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Hendaklah kalian semua menjadi saksi, bahwa darah perempuan itu telah sia-sia.” (HR. Abu Daud no. 4361, An-Nasai no. 4070, dan Al-Baihaqi no. 13375)
Ulama hadits madzhab Syafi’i, Imam al-Khathabi Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Khathabi al-Busti asy-Syafi’i (wafat tahun 388 H) berkata, “Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang mencaci-maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam itu dijatuhi hukuman mati. Hal itu karena caci makian wanita tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam menyebabkan wanita tersebut murtad dari Islam. Saya tidak mengetahui ada seorang ulama pun yang berbeda pendapat atas wajibnya menjatuhi hukuman mati terhadap pelakunya.”
“Para ulama hanya berbeda pendapat jika yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam adalah orang kafir dzimmi. Imam Malik berpendapat orang Yahudi atau Nasrani yang mencaci-maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam itu dijatuhi hukuman mati, kecuali jika ia masuk Islam. Imam Ahmad bin Hambal berpendapat serupa.”
“Adapun Imam Syafi’i berpendapat kafir dzimmi yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam itu harus dijatuhi hukuman mati, dan dengan caci-makian tersebut perjanjian dzimmah menjadi batal. Imam Syafi’i berdalil dengan hadits pembunuhan terhadap Ka’ab bin Asyraf.”
“Adapun Imam Abu Hanifah kafir dzimmi yang mencaci-maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam tidak dijatuhi hukuman mati. Sebab, kekafiran yang dia anut itu lebih besar dosanya daripada dosa caci-makian kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.” (Al-Khathabi, Ma’alim as-Sunan Syarh Sunan Abi Daud, 4/296 dan Badzulul Majhid fi Halli Sunan Abi Daud, 12/426)
Imam ash-Shan’ani Muhammad bin Ismail al-Amir al-Yamani ash-Shan’ani (wafat tahun 1182 H) menulis, “Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang mencaci-maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam itu dijatuhi hukuman mati dan darahnya telah sia-sia. Jika ia adalah seorang muslim, maka caci-makian tersebut menyebabkan dirinya murtad dari Islam sehingga ia harus dijatuhi hukuman mati.”
“Imam Ibnu Bathal berpendapat pelakunya dijatuhi hukuman mati tanpa perlu diminta bertaubat lebih dahulu. Adapun Imam Ibnu Mundzir meriwayatkan dari Imam al-Auza’i dan Laits bin Sa’ad bahwa pelakunya diminta bertaubat terlebih dahulu sebelum dijatuhi hukuman mati.” (Subulus Salam Syarh Bulughil Maram, 3/358)
Imam asy-Syaukani (Muhammad bin Ali asy-Syaukani wafat tahun 1250 H) menulis, “Hadits Ibnu Abbas dan hadits asy-Sya’bi menunjukkan bahwa orang yang mencaci-maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam itu dijatuhi hukuman mati. Imam Ibnu Mundzir telah meriwayatkan kesepakatan ulama bahwa orang yang mencaci-maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dengan ungkapan yang jelas harus dijatuhi hukuman mati.”
“Salah seorang ulama madzhab Syafi’i, Imam Abu Bakar al-Farisi dalam Kitab Al-Ijma’ menyebutkan bahwa barangsiapa mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dengan caci-makian yang jelas niscaya ia telah kafir berdasarkan kesepakatan ulama. Seandainya ia bertaubat dari caci-makian tersebut, maka hukuman mati atas dirinya tidaklah dibatalkan, sebab hukuman atas mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam adalah hukuman mati, sementara hukuman atas caci-makian itu tidaklah gugur dengan adanya taubat.” (Nailul Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar, 9/236)
Imam Syamsul Haq ‘Azhim Abadi berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda “darah perempuan itu telah sia-sia” barangkali karena berdasar wahyu, beliau telah mengetahui kebenaran pengakuan laki-laki itu. Hadits ini menunjukkan bahwa jika orang kafir dzimmi tidak menahan lisannya dari (mencaci maki atau melecehkan) Allah dan rasul-Nya, niscaya ia tidak memiliki dzimmah (jaminan keamanan bagi orang kafir dzimmi) sehingga ia halal dibunuh. Demikian dikatakan oleh imam as-Sindi.”
Ulama hadits madzhab Syafi’i, Imam al-Mundziri berkata, “Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasai. Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang mencaci maki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dijatuhi hukuman mati. Dikatakan (oleh para ulama) bahwasanya tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika orang yang mencaci maki tersebut adalah seorang muslim, maka ia wajib dihukum mati.”
Perbedaan pendapat terjadi ketika orang yang mencaci maki adalah orang kafir dzimmi.
a. Imam Syafi’i berpendapat ia harus dihukum mati dan ikatan dzimmah-nya telah batal.
b. Imam Abu Hanifah berpendapat ia tidak dihukum mati, sebab dosa kesyirikan yang mereka lakukan masih lebih besar dari dosa mencaci-maki.
c. Imam Malik berpendapat jika orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam adalah orang Yahudi atau Nasrani, maka ia wajib dihukum mati, kecuali jika ia masuk Islam. Demikian penjelasan dari imam al-Mundziri. (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 12/16)
- Hadits Jabir bin Abdullah tentang kisah pembunuhan terhadap pemimpin Yahudi, Ka’ab bin Asyraf
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الأَشْرَفِ، فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ»، قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ: أَتُحِبُّ أَنْ أَقْتُلَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «نَعَمْ»،
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Siapakah yang mau “membereskan” Ka’ab bin Asyraf? Sesungguhnya ia telah menyakiti Allah dan rasul-Nya.” Muhammad bin Maslamah bertanya, “Apakah Anda senang jika aku membunuhnya, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Ya” (HR. Bukhari no. 3031 dan Muslim no. 1801)
Imam Bukhari telah menyebutkan kisah pembunuhan Ka’ab bin Asyraf tersebut dalam Shahih al-Bukhari beberapa hadits (no. 2510, 3031, 4037). Kisah pembunuhan oleh regu suku Aus tersebut juga disebutkan dalam semua kitab sirah nabawiyah (sejarah hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam).
- Hadits Barra’ bin Azib tentang kisah satu regu suku Khazraj yang diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam untuk membunuh tokoh Yahudi Khaibar, Abu Rafi’ Salam bin Abil Huqaiq karena ia sering mencaci maki dan melecehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.
Hadits tersebut diriwayatkan beberapa kali oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya. Kisah tersebut juga disebutkan dalam semua kitab sirah nabawiyah. Di antara lafal hadits tersebut dalam Shahih Bukhari adalah sebagai berikut:
عَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَبِي رَافِعٍ اليَهُودِيِّ رِجَالًا مِنَ الأَنْصَارِ، فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَتِيكٍ، وَكَانَ أَبُو رَافِعٍ يُؤْذِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيُعِينُ عَلَيْهِ، وَكَانَ فِي حِصْنٍ لَهُ بِأَرْضِ الحِجَازِ
Dari Barra’ bin Azib berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengirim beberapa orang sahabat Anshar untuk membunuh pemimpin Yahudi, Abu Rafi’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengangkat Abdullah bin Atik sebagai komandan regu untuk tugas tersebut. Abu Rafi’ adalah pemimpin Yahudi yang sering menyakiti dan memusuhi beliau. Ia tinggal di sebuah benteng miliknya di daerah Hijaz.” (HR. Bukhari no. 4039 dan al-Baihaqi no. 18100)
عَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: «بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَهْطًا إِلَى أَبِي رَافِعٍ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَتِيكٍ بَيْتَهُ لَيْلًا وَهُوَ نَائِمٌ فَقَتَلَهُ»
Dari Barra’ bin Azib berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengirim beberapa orang sahabat Anshar untuk membunuh pemimpin Yahudi, Abu Rafi’. Maka Abdullah bin Atik memasuki (benteng dan rumah) Abu Rafi’ pada malam hari saat ia tengah terlelap tidur, maka Abdullah bin Atik pun segera membunuhnya.” (HR. Bukhari no. 4038, Al-Baihaqi no. 18100)
Imam Bukhari memasukkan hadits-hadits kisah pembunuhan Abu Rafi’ al-Yahudi tersebut dalam Shahih Bukhari, bab “Membunuh Orang Musyrik yang Sedang Tidur” (no. hadits 3022 dan 3023) dan bab “Pembunuhan Abu Rafi’ Abdullah bin Abil Huqaiq” (no. hadits 4038, 4039, 4040).
Kisah pembunuhan atas Abu Rafi’ al-Yahudi juga diriwayatkan oleh Imam Abdur Razzaq ash-Shan’ani, al-Baihaqi, Abu Ya’la al-Maushili, ath-Thabrani dan lain-lain dari jalur Abdullah bin Atik, Abdullah bin Unais, dan Abdurrahman bin Abdullah bin Ka’ab.
Ulama hadits madzhab Syafi’i, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat tahun 852 H) berkata, “Abu Rafi’ Salam bin Abil Huqaiq adalah pemimpin Yahudi Khaibar yang sangat memusuhi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Ia membantu Suku Ghathafan dan suku-suku musyrik Arab lainnya dengan hartanya agar mereka semakin gencar memusuhi Nabi SAW. (Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 9/156)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani juga berkata, “Hadits ini menunjukkan hukuman mati terhadap orang yang membantu permusuhan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, baik ia membantu dengan tangannya, hartanya, maupun lisannya.” (Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 9/108)
Ulama hadits madzhab Hanafi, Imam Badruddin al-Aini Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Aini al-Hanafi (wafat tahun 855 H) menulis. “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya pembunuhan terhadap orang yang membantu permusuhan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, baik bantuan dengan tangan, harta, maupun pikiran. Abu Rafi’ sangat memusuhi Nabi SAW. Abu Rafi’ memprovokasi (orang-orang musyrik Arab) untuk memusuhi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih al-Bukhari, 14/378)
Sikap Para Khulafa’ Rasyidin dan Generasi Sahabat
Imam Saif bin Umar At-Tamimi dalam kitab ar-Riddah wal Futuh menyebutkan bahwa ada dua orang wanita yang ditangkap dan dihadapkan kepada Muhajir bin Abi Rabi’ah, gubernur wilayah Yamamah dan sekitarnya. Wanita pertama menyanyikan lagu caci makian kepada Nabi shallallahu aIaihi wa salam. Wanita kedua menyanyikan lagu caci makian kepada kaum muslimin. Maka Muhajir bin Abi Umayyah menjatuhkan hukuman potong tangan dan pencabutan gigi seri kedua wanita tersebut.
Ketika berita itu sampai kepada khalifah Abu Bakar ash-Shidiq, maka Khalifah segera menulis surat kepada Muhajir bin Abi Rabi’ah tentang wanita yang menyanyikan lagu cacian kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam,
لولا ما سبقتني فيها لأمرتك بقتلها، لأن حد الأنبياء ليس يشبه الحدود، فمن تعاطى ذلك من مسلم فهو مرتد أو معاهد فهو محارب غادر
“Seandainya engkau tidak mendahuluiku menjatuhkan hukuman kepada wanita itu, tentulah aku akan memerintahkanmu untuk membunuh wanita itu. Sebab hukuman (mencaci maki) para nabi tidak sama dengan hukuman-hukuman lainnya. Jika caci makian kepada nabi itu diucapkan oleh seorang muslim, maka ia telah murtad. Jika caci makian kepada nabi itu diucapkan oleh seorang kafir yang terlibat perjanjian damai maka ia telah menjadi orang yang memerangi Islam dan mencederai perjanjian damai secara sepihak.” (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Din, hlm. 104)
Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan dari Mujahid bin Jabr berkata, “Seorang laki-laki yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘aIaihi wa salam dihadapkan kepada khalifah Umar bin Khathab, maka Khalifah membunuhnya. Khalifah Umar berkata:
من سب الله أو سب أحدا من الأنبياء فاقتلوه
“Barangsiapa mencaci maki Allah atau mencaci maki salah seorang Nabi-Nya, maka bunuhlah dia!” (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Din, hlm. 104)
Hukuman mati untuk orang-orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam juga diriwayatkan dari perkataan para ulama sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, dan para komandan perang dan gubernur di kalangan sahabat seperti Muhammad bin Maslamah, Khalid bin Walid, dan Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhum. (ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hlm. 202-205)
Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata, “Ia harus dibunuh, karena orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam telah murtad dari Islam, dan seorang muslim tidak akan mencaci Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.” (ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hlm. 5)
Wallahu a’lam bsih-shawab
Referensi:
Al-Khathabi, Ma’alim As-Sunan Syarh Sunan Abi Daud, Aleppo: Mathba’ah Ilmiyyah, cet. 1, 1352 H.
Syamsul Haq Al-Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Madinah: Muhammad Abdul Muhsin, cet. 1, 1389 H.
Khalil bin Ahmad As-Saharanfuri, Badzlul Majhud fi Halli Sunan Abi Daud, Beirut: Darul Basyair Islamiyah, cet. 1, 1427 H.
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nailul Authar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, Kairo: Dar Ibni Affan, cet. 1, 1426 H.
Muhammad bin Ismail Al-Amir Al-Yamani Ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarh Bulughil Maram, Kairo: Darul Hadits, cet. 1, 1428 H.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Riyadh: Dar Thaibah, cet. 1, 1426 H.
Badruddin Al-Aini, Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, cet. 1, 1421 H.