Pakaian Wanita Ketika Shalat
Ahli ilmu sepakat bahwa wanita merdeka yang telah balig wajib memakai khimar saat mengerjakan shalat. Barangsiapa shalat dengan kepala terbuka maka shalatnya fasid (rusak) dan wajib mengulanginya.
Khimar artinya penutup kepala. Bagi kaum wanita, khimar adalah kerudung, jilbab, dan sejenisnya. Sedangkan bagi laki-laki, khimar adalah surban yang menutupi kepalanya.
Lebih rinci lagi para ulama menjelaskan, wanita wajib menutup seluruh tubuhnya saat mengerjakan shalat kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Allah berfirman yang artinya: “Wahai anak Adam, pakailah perhiasanmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf: 31).
Maksud perhiasan yang indah bagi wanita adalah pakaian yang menutupi aurat dan pakaian yang ditetapkan secara syar’i. Sebab tidak semua pakaian yang dianggap telah menutupi aurat itu benar menurut syar’i. Cakupannya lebih luas. Terutama dilihat dari sisi timbulnya fitnah atau tidak.
Baca: Aurat Wanita Di Hadapan Wanita
Adapun sifat pakaian yang wajib dipakai saat shalat adalah semua jenis pakaian yang menutupi aurat dan tidak menyelisihi syar’i.
Beberapa riwayat menyebutkan tentang pakaian wanita dalam shalat, di antaranya menyebutkan dengan dua pakaian, ada juga yang menyebutkan dengan tiga pakaian, dan empat pakaian. Pakaian pertama adalah gamis, kedua adalah jilbab, ketiga adalah sarung, keempat adalah pakaian yang lain.
Menurut ahli ilmu, minimal pakaian wanita dalam shalat adalah gamis dan jilbab. Gamis untuk menutupi tubuh sampai kaki dan jilbab untuk menutupi kepala dan leher.
Ummu Salamah pernah bertanya kepada Rasulullah: “Bolehkah wanita shalat hanya memakai gamis dan jilbab, tidak memakai sarung?” Rasulullah menjawab: “Jika gamisnya besar menutupi punggung kedua kaki.” (HR. Al-Bukhari)
Hadits di atas membolehkan wanita hanya memakai gamis dan jilbab saja untuk mendirikan shalat, asalkan keduanya telah cukup menutupi aurat yang tidak boleh terlihat ketika shalat.
Dari sini kita memahami bahwa wanita tidak boleh shalat dengan pakaian sempit. Contohnya shalat memakai celana. Wanita tidak boleh shalat memakai celana sekalipun dilakukan di dalam rumah, sendiri dan tidak ada yang melihatnya. Karena pakaian sempit tidak dapat menutupi auratnya, sedangkan syarat mendirikan shalat adalah dengan menutup aurat. Lain persoalan jika celana yang dipakai komprang dan menutupi aurat, maka boleh dipakai untuk mendirikan shalat.
Hukum pakaian dalam shalat wanita tentu berkaitan dengan hukum pakaian wanita secara umum, sehingga wanita tidak boleh memakai mukena yang terlalu cantik di luar rumah, dimana akan mengundang perhatian para lelaki dan menimbulkan fitnah. Mukena seperti itu baiknya hanya dipakai di dalam rumah saja, agar tidak menimbulkan fitnah bagi yang lain.
Pada akhirnya kita harus berbicara tentang hukum shalat tanpa pakaian, atau telanjang. Fukaha telah membahas persoalan ini di dalam kitab-kitab fikih. Berlaku untuk umum, laki-laki dan wanita.
Kondisi seperti di atas mungkin terjadi meskipun sangat jarang dan langka. Ada yang berpendapat, dalam kondisi tidak ada pakaian shalat dilakukan dengan duduk, sujud dan rukuknya dilakukan dengan isyarat. Akan tetapi ada juga yang berpendapat, shalat tetap dilakukan dengan berdiri.
Baca: Sehelai Rambut Bagi Wanita
Pendapat pertama disandarkan kepada riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, tetapi penyandarannya tidak benar karena jalur riwayatnya lemah. Pendapat kedua disandarkan kepada ucapan Ibnu Al-Mundzir, beliau menyebutkannya dalam kitab Al-Ausath: “Orang yang tidak berpakaian mengerjakan shalat dengan berdiri, rukuk dan sujudnya dilakukan sebagaimana mestinya.”
Ibnu Al-Mundzir juga berdalih dengan hadits Imran bin Hushain yang bertanya kepada Rasulullah tentang dirinya yang beser, kemudian Rasulullah bersabda: “Shalatlah berdiri, jika tidak bisa maka dengan duduk, jika tidak bisa maka dengan berbaring.” (HR. Al-Bukhari)
Pemahamannya, tidak ada pakaian bukan sebab seseorang tidak mampu berdiri, sehingga masih berkewajiban mengerjakan shalat dengan berdiri.
Setelah dua pendapat di atas, maka munculah pendapat yang ketiga. Pendapat yang disandarkan kepada Imam Ahmad bin Hambal. Dia bertanya kepada ayahnya, “Bagaimana cara shalat orang yang tidak berpakaian?” Dijawab: “Shalatnya duduk. Jika shalat secara berjamaah maka imamnya boleh berada di tengah shaf bersama makmum. Ada yang berpendapat boleh (melakukan rukuk dan sujud) dengan isyarat.”
Pendapat ketiga ini lebih dekat dengan pendapat yang shahih. Dalam hadits Imran bin Hushain di atas Rasulullah membolehkan shalat dengan duduk karena sebuah alasan tertentu. Dan tidak mampu menutup aurat cukup menjadi alasannya. Wallahu a’lam. [Arif Hidayat/hujjah.net]
Daftar Pustaka:
- Al-Ausath fi As-Sunan wa Al-Ijma’ wa Al-Ikhtilaf, Ibnu Al-Mundzir, 5/78-81.
- Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 22/170.
- Al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih Al-Fauzan, 3/452.
- https://fatwa.islamonline.net/16436