Berani berutang harus siap juga untuk mengembalikan. Dalam Islam ada satu metode yang disebut Muqashah. Sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Baik bagi yang berutang maupun yang diutangi.
MEMAKNAI MUQASHAH
Secara etimologi, istilah Muqashah—atau disebut juga Maqashah—adalah derivasi dari kata kerja bahasa arab qa-sha-sha. lafal ini memiliki beberapa makna, yakni sepadan atau seimbang dalam perhitungan, semisal dalam tindakan, menyelidiki dan memotong (Lisan al-Arab, 11/195).
Dari beberapa makna tersebut, yang lebih tepat dan sesuai dengan pembahasan ini adalah makna pertama dan kedua. Sepadan atau seimbang dan semisal.
BACA JUGA: Kompensasi Pelunasan Pembayaran Hutang, Bolehkah?
Sedangkan dalam terminologi fikih, para ulama fikih memberi definisi dengan ungkapan yang berbeda-beda. Menurut Hanafiyah, al-Muqashah adalah pengguguran piutang seseorang atas kewajiban utang yang seharusnya dibayar oleh orang yang berhutang kepadanya, dengan utangnya yang semisal kepada orang tersebut (Qadri Basa, Mursyid al-Hiran, 55).
Sedangkan menurut Malikiyah maknanya adalah mengambil pembayaran utang dari utang yang lain, sehingga sama-sama tidak menagih, saling menukar utang dan mengalihkan (Ibnul Jazi, Al-Qawanin al-Fiqhiyah, , 251).
Syafi’iyah mendefinisikannya dengan ungkapan jika ada seseorang memiliki hak harta yang ditanggung orang lain, dan dia pun memiliki tanggungan yang semisal kepada orang yang sama. Dengan kadar dan jumlah yang sama. Dan keduanya menganggapnya impas. Jika tidak ada kesepakatan maka Muqashah tidak berlaku (Asy-Syafi’i, Al-Umm, 7/277).
Kemudian menurut kalangan Hanabilah, al-Muqashah adalah gugurnya salah satu dari dua utang dengan yang semisal dari sisi jenis dan sifat (Ibnu Qayim, I’lam al-Muwaqi’in, 2/8).
Dari sini nampak bahwa jumhur sepakat memaknai Muqashah dalam terminologi fikih dengan pengguguran hak. Sementara Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan persamaan pada kedua utang, sedangkan Hanafiyah dan Malikiyah tidak mensyaratkannya.
LANDASAN SYAR’I
Muqashah diperbolehkan secara syar’i. Dalil yang mendasari sebagaimana riwayat dari Ibnu Umar c, yang menjual unta di Baqi’ dengan dinar, kemudian ingin diambil dalam bentuk dirham, lantas beliau bertanya kepada Rasulullah n; “Wahai Rasulullah, saya menjual unta di Baqi’ dengan dinar dan mengambil dirham.” Beliau bersabda: “Tidak mengapa engkau mengambilnya dengan harga pada hari itu, selama kalian berdua belum berpisah sementara (ketika itu) di antara kalian ada sesuatu.” (HR. Abu Daud, No: 3354. Tirmizi, No: 1242. An-Nasai, No: 4582. Ahmad, No: 5555)
Riwayat ini menjelaskan kebolehan meminta ganti atas harga yang masih menjadi tanggungan. Dan secara rasional tidak mungkin menerima piutang yang tidak ada wujudnya. Secara hukum piutang adalah harta, namun ia berada dalam tanggungan seseorang. Sehingga secara riil tidak mungkin dapat diserahkan jika tidak ada barangnya.
Oleh sebab itu, sangat mungkin jika yang diserahkan atau diterima adalah objek penggantinya, atau sesuatu yang menjadi tanggungan pemilik piutang. Jika kedua pihak sama-sama memiliki tanggungan yang harus diserahkan kepada pihak yang lain. Maka terjadilah Muqashah (Al-Kasani, Badai’ Shanai’, 5/234).
Dalam riwayat lain dari Jabir bin Abdullah c, bapaknya wafat dan meninggalkan hutang sebanyak tiga puluh wasaq kepada orang Yahudi dan Jabir meminta penangguhan pelunasan. Namun orang Yahudi itu menolaknya, lalu Jabir meminta kepada Rasulullah n agar membantunya. Rasulullah n pun berbicara dengan orang Yahudi tersebut agar bersedia menerima kebun kurma Jabir sebagai pelunasan hutang. Namun dia menolaknya.
Kemudian Rasulullah n mendatangi pohon korma Jabir lalu mengelilinginya, lantas berkata kepada Jabir, “Bersungguh-sungguhlah kamu untuk membayar hutang dengan buah yang ada pada pohon kurma ini“. Maka Jabir menandainya setelah Rasulullah n pergi, lalu dia melunasi hutang sebanyak tiga puluh wasaq dan masih tersisa sebanyak tujuh belas wasaq (HR. Bukhari, No: 2396. Abu Daud, No: 2884).
Ibnu Hajar menjelaskan, hadits ini menunjukkan kebolehan untuk membayar utang dengan sesuatu yang belum jelas harga jualnya di pasar. Jika transaksi pada kurma ini dilakukan sejak awal terjadinya utang, maka tidak diperbolehkan. Dan diperbolehkan dengan cara seperti ini dalam rangka untuk melunasi utang (Ibnu Hajar, Syarh Shahih Bukhari, 5/60).
Selain itu dalil lain yang mendasari kebolehan Muqashah adalah ijma para ulama fikih dan istihsan (Ibnu Mundzir, al-Ijma’, 94 dan Al-Babarti, Syarh Inayah, 7/150).
Objek Muqashah
Objek Muqashah adalah dua utang, yaitu piutang yang harus dilunasi dan utang yang menjadi tanggungan. Ada beberapa syarat pada objek Muqashah.
Pertama, utang tersebut berupa harta. Maka tidak dianggap sebagai harta sesuatu yang tidak diharamkan dalam syariat, seperti khamr, daging babi, dan semisalnya (Ibnu Abidin, Hasyiyah Raddul Muhtar, 5/4).
Kedua, Hendaknya utang itu memang milik yang bersangkutan yang berupa tanggungan dan mungkin untuk dikuasai. Maka tidak sah jika utang itu bukanlah sesuatu yang menjadi tanggungannya dan tidak di bawah kepemilikannya. Seperti rumput liar, air milik umum, pohon liar, dan lainnya yang menjadi milik umum.
Ketiga, dapat diserahkan, maka tidak mungkin Muqashah dilakukan jika objeknya dighasab atau hilang (Al-Marghinani, Al-Hidayah, 3/1063).
Keempat, Hendaknya diketahui oleh pelaku Muqashah. Sehingga dapat dibedakan dengan objek yang lain dan tidak menimbulkan pertikaian. Jika tidak jelas, maka akan terjadi gharar. Seperti Muqashah dengan seekor domba dari seluruh kerumunan domba, tanpa menentukan domba mana yang dijadikan sebagai objek Muqashah (Badai’ Shanai’, 4/323).
Klasifikasi
Secara umum ada dau bentuk Muqashah. Bentuk pertama, Muqashah jabariyah, yang terjadi antara dua utang yang semisal dari sisi jenis, sifat, kadar dan tempo pelunasannya. Seperti seseorang yang membeli dari orang yang berhutang kepadanya dengan barang yang semisal dengan piutangnya. Menurut jumhur, hal ini terjadi secara otomatis. Sedangkan Malikiyah berpendapat harus berdasarkan kesepakatan.
Bentuk kedua, Muqashah ittifaqiyah, yang terjadi berdasarkan kesepakatan antar pelaku Muqashah. Hal ini diperbolehkan dengan syarat tidak menimbulkan pelanggaran syar’i. Seperti dalam transaksi salam tanpa penyerahan harga secara kontan, atau mentransaksikan objek salam yang belum diterima secara sempurna (Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 6/250-251).
Konsekuensi Hukum
Jika Muqashah terjadi secara benar, terpenuhi syarat-syaratnya. Maka ada beberapa konsekuensi hukum. Di antaranya adalah gugurnya utang yang menjadi tanggungan, artinya sudah lunas.
Jumhur berpendapat bahwa utang yang menjadi tanggungan lunas semuanya jika ternyata keduanya sepadan. Jika tidak sepadan, misal salah satunya lebih banyak, maka utang yang lunas adalah yang nominalnya sedikit.
Sedangkan Hanafiyah berpendapat yang gugur hanyalah penagihannya saja. Artinya diperbolehkan jika pengugurannya hanya dari sisi penagihan, sehingga sah jika utang yang dimaksud dihibahkan atau nilainya kurang dari seharusnya.
Jika Muqashah telah terjadi dengan benar maka tidak dapat dibatalkan, sebab sesuatu yang telah digugurkan tidak dapat dikembalikan. Sehingga jika utang telah gugur atau lunas tidak mungkin dibatalkan. Kecuali jika ternyata objek Muqashah tidak diserahkan hingga waktu yang ditentukan. Misal, penjual yang berhutang kepada pembeli tidak segera menyerahkan barang yang dibeli oleh pembeli dengan piutangnya, dan barang rusak sebelum diserahkan (Ibid). Wallahu A’lam . [-]
Oleh: Ilyas Mursito