اَلْاِضْطِرَارُ لاَ يُبْـطِلُ حَقَّ الْغَيْرِ
“Kondisi darurat tidak menggugurkan hak orang lain”
Meski prinsip dasar agama Islam adalah mudah (yusr) dan memberikan kemudahan (tashiil), toleran (tasaamuh), moderat (i’tidal), serta berusaha mengedepankan maslahat dan menjauhi mafsadat, namun hal itu tidaklah berarti kemudahan, toleransi, dan moderat yang tanpa batas. Tatkala syariat membolehkan orang yang dalam kondisi darurat memakan bangkai –misalnya, ini tidak berarti seseorang boleh memakannya semaunya tanpa batasan. Demikian juga ketika syariat membolehkan bagi orang dalam kondisi darurat mengambil atau memakan harta orang lain, ini bukanlah berarti bahwa ia bebas mengambil atau memakannya sekehendaknya.
Ada batasan yang harus dijaga dan ada hak yang harus tetap diperhatikan. Salah satunya adalah hak orang yang diambil atau dimakan hartanya, yaitu dengan cara mengembalikan dan mengganti harta tersebut.
Tidak Berdosa Namun Wajib Mengganti
Oleh itu, kaidah al-idhthiraaru laa yubthilu haqqal ghair merupakan kaidah yang menjelaskan kaidah adh-dharuuratu tubiihul mahzhuuraat (kondisi darurat membolehkan beberapa yang dilarang) dan menegaskan kaidah adh-dharuuratu tuqaddaru bi qadriha (Kondisi darurat dimanfaatkan sekedarnya saja).
MAKNA KAIDAH
Idhthiraar berasal dari bahasa Arab yang berarti situasi yang menyeret orang lain pada suatu yang bisa membahayakannya atau yang tidak disukainya. Adapun yang dimaksud idhthiraar di sini adalah suatu kondisi di mana seseorang dipaksa melakukan suatu yang dilarang syariat (Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Al-Qawaa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha, h. 298)
Berdasarkan faktor penyebabnya, Idhthiraar dapat dibedakan menjadi dua: samaawy dan ghairu samaawy (Ahmad bin Muhammad az-Zarqa, Syarhul Qawaa’id al-Fiqhiyyah, h. 213).
Idhthiraar samaawy adalah kondisi darurat dan keterpaksaan yang disebabkan faktor yang diluar kemampuan manusia. Ia bisa berupa rasa lapar yang sangat, dan dapat juga berupa mempertahankan diri dari serangan hewan yang mengancam dirinya.
Kebalikannya adalah idhthiraar ghairu samawy, yaitu kondisi darurat atau keterpaksaan yang disebabkan perbuatan seseorang terhadap orang lainnya. Contoh Idhthiraar samawy adalah ikraah mulji’ (pemaksaan dengan ancaman nyawa atau merusak organ tubuh yang penting) dan ghairu mulji`(pemaksaan dengan ancaman selain ancaman ikraah mulji`). Perlu digarisbawahi bahwa keringanan untuk bolehnya melakukan suatu yang dilarang adalah hanya pada ikraah mulji`; tidak pada ikraah ghairu mulji`.
Dari keterangan di atas, kaidah al-idhthiraaru laa yubthilu haqqal ghair dapat dimaknai bahwa meski kondisi darurat merupakan di antara sebab bolehnya seseorang melakukan suatu yang dilarang –seperti memakan bangkai— atau di antara sebab gugurnya hukum pidana atas dirinya, namun hal itu tidak menyebabkan hak materi orang lain ikut gugur. Bagaimana pun, tidak ada kondisi darurat yang bisa menggugurkan hak materi orang lain (Al-Qawaa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha, h. 299-300).
Ini karena jika seseorang melanggar larangan syariat terhadap harta milik orang lain, maka pada dasarnya ia akan dijatuhi tiga hal: dosa, hukuman, dan denda. Dosa dan hukuman akan gugur jika seseorang melakukannya dalam kondisi darurat; namun tidak dengan denda. Denda berupa mengganti milik orang lain tetap berlaku karena suatu kerugian tidak boleh dicegah dengan kerugian yang semisalnya.
DALIL KAIDAH
Kaidah di atas dibentuk dan disimpulkan dari beberapa hadits, di antaranya:
Sabda Nabi SAW,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ
“Setiap muslim diharamkan (mengganggu) darah, harta, dan kehormatan muslim lainnya” [HR. Muslim, no. 2564]
Juga sabda beliau,
وَلَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ مِنْ مَالِ أَخِيهِ إِلَّا مَا طَابَتْ بِهِ نَفْسُهُ
“Tidak halal bagi seseorang mengambil harta saudaranya kecuali atas kerelaan dirinya” [HR. Ahmad, no. 15488. Hadits ini dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Irwaa`ul Ghaliil, no. 1459].
CONTOH APLIKASI
Di antara contoh aplikasi kaidah ini dalam persoalan fikih yaitu:
- Jika masa sewa atau pinjam suatu ladang pertanian telah habis sementara tanaman pertanian tersebut belum bisa dipanen, maka kondisi tersebut tetap dibiarkan hingga selesai panen dengan memberikan tambahan harga sewa yang pantas atau semisalnya (ajru mitslin). Ini karena keterpaksaan yang dialami oleh peminjan atau penyewa untuk tetap membiarkan tanaman pertaniannya hingga selesai panen tidak menyebabkan gugurnya hak pemilik tanah tersebut, sehingga ia pun diwajibkan untuk menambah harga sewa.
- Demikian juga dengan seorang wanita yang disewa untuk menyusui anak orang lain. Jika setelah habis masa masa sewa sementara bayi yang disusui tidak menyusu pada wanita lain dan tidak ada makanan yang menyucukupi kebutuhannya, maka wanita tadi boleh diminta untuk terus menyusi bayi tadi, dengan membayarkan upah sewa tambahan yang semisalnya
- Jika seorang suami menta’liq talak istrinya manakala ia melakukan suatu perbuatan yang pasti ia lakukan sendiri. Ta’liq talak terjadi dalam kondisi sehat sedangkan syaratnya pasti ia lakukan dalam kondisi sakit. Ini jelas diniatkan agar istrinya tidak mendapatkan warisan. Oleh itu, terpaksanya seseorang tadi melakukan suatu yang pasti ia lakukan saat sakit tidak menghalangi istrinya untuk mendapatkan warisan darinya (Syarhul Qawaa’id al-Fiqhiyyah, 213-214).
- Jika seorang membunuh hewan yang memiliki nilai jual tinggi –seperti onta dan sapi—demi membela diri karena hewan itu menyerang dirinya, maka ia tetap mengganti nilai hewan tersebut pada pemiliknya. Kecuali jika orang tersebut sudah mengetahui bahwa hewan tersebut mengganggu dan telah memberitahukan serta meminta kepada pemiliknya untuk mengawasinya, namun pemiliknya tidak mengindahkan. Maka tidak ada ganti rugi bagi yang membunuh hewan tersebut.
- Jika sebuah kapal hampir tenggelam lantaran muatannya yang melebihi kapasitasnya, maka pengelola kapal boleh melemparkan beberapa muatan barang milik orang lain ke laut demi menyelamatkan kapal. Namun ia tetap harus mengganti barang yang dilemparkan tersebut (Muhammad Shidqi bin Ahmad Al-Burnu, Al-Wajiiz fi Iidhaahi Qawaa’idil Fiqh al-Kulliyyah, h. 244-245).
baca juga: Mandi Tidak Selalu Menggantikan Wudhu
PENGECUALIAN KAIDAH
Fuqaha Hanbali membedakan antara seseorang yang terpaksa merugikan hak orang lain lantaran membela atau mempertahankan dirinya (daf’u adzaahu lahu) –seperti membunuh seekor hewan yang menyerang dirinya, dengan terpaksa mengambil hak orang lain yang dengannya ia bisa menolong dirinya (daf’u adzaahu bihi) –seperti memakan makanan milik orang lain karena kelaparan yang sangat.
Berdasarkan ketentuan di atas, di antara contoh pengecualian dari kaidah ini adalah, jika barang milik orang lain jatuh menimpa sesesorang dan ia khawatir bahwa barang itu bisa mencelakainya lalu ia pun menghindarinya yang menyebabkan barang tersebut rusak, maka ia tidak berkewajiban untuk menggantinya (Al-Qawaa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha, h. 309). Wallahu a’lam. []
Referensi:
Ahmad bin Muhammad az-Zarqa. 1409 H/1989 M. Syarhul Qawaa’id al-Fiqhiyyah. Damaskus: Darul Qalam.
Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu. 1416 H/ 1996 M. Al-Wajiz fi Idhah Qawa’idil Fiqh al-Kulliyyah. Beirut: Muassasah ar-Risalah.
Shalih bin Ghanim as-Sadlan. 1417 H. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Riyadh: Dar Balansiyyah.
Ali Shodiqin
# Tidak Berdosa Namun Wajib Mengganti # Tidak Berdosa Namun Wajib Mengganti # Tidak Berdosa Namun Wajib Mengganti # Tidak Berdosa Namun Wajib Mengganti