Pembatal wudhu selanjutnya adalah menyentuh wanita tanpa pembatas. Terjadi silang pendapat –yang sudah masyhur— di kalangan para ulama tentang menyentuh wanita sebagai pembatal wudhu. Perbedaan pendapat ini disebabkan adanya dalil-dalil yang ma’tsur namun secara dzahir berlawanan. Dengan demikian, para ulama mengambil kesimpulan sesuai dengan apa yang mereka pahami dan mereka adalah para mujtahid yang mendapat pahala.
Mazhab Syafi’i berpendapat, seorang laki-laki yang menyentuh kulit istrinya atau atau kulit wanita asing lain yang bukan mahram membatalkan wudhu, meskipun tidak disertai dengan syahwat. Berdasarkan firman Allah yang artinya, “Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (QS. AlMaidah: 6)
BACA JUGA: Menyentuh Mayit Wajib Mandi
Imam asy-Syafi’i menafsirkan kalimat, “Atau menyentuh perempuan,” dengan bertemunya antar kulit meskipun tidak disertai dengan syahwat. Berdalih bahwa Allah menyinggung tentang junub di awal ayat, kemudian lafal “Menyentuh wanita,” disebutkan setelah kalimat “buang air,” sehingga menunjukkan bahwa menyentuh wanita adalah bagian dari hadats ashghar seperti halnya buang air meskipun tidak disertai dengan syahwat. (Imam asySyafi’i, al-Umm, 1/29).
Menurut mazhab Hanafi dan salah satu riwayat dari mazhab Hanbali, secara mutlak menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu meskipun desertai dengan syahwat, kecuali jika sampai mengeluarkan sesuatu (mani dan madzi). Demikian ini juga merupakan pendapat Syaikh bin Bazz dan Syaikh al-Utsaimin. (Ibnu Bazz, Majmu’ Fatawa, 10/134. alUtsaimin, Majmu’ Fatawa, 1/286).
Berdasarkan hadits Urwah z dari ‘Aisyah x, ia berkata, “Nabi SAW mencium salah seorang istri dari para istrinya, kemudian keluar untuk mengerjakan shalat dan tidak berwudhu (lagi).” (HR. Abu Dawud) Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu meskipun dengan syahwat, sebab pada dasarnya mencium istri itu selalu disertai dengan syahwat.
Adapun mazhab Maliki dan salah satu riwayat mazhab Hanbali, dengan menggabungkan dalil dua kelompok di atas menyatakan bahwa sentuhan yang membatalkan wudhu adalah bertemunya antara kulit dengan kulit yang disertai dengan syahwat, itulah maksud dari ayat di atas. Sedangkan bersentuhannya kulit dengan kulit lainnya yang tidak disertai dengan syahwat maka tidak membatalkan wudhu seperti yang terjadi pada hadits ‘Aisyah di atas. (Muhammad bin Ahmad ad-Dasuki, Hasyiyah ad-Dasuki, 1/411. Ibnu Qudamah, al-Mughni, 1/142)
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan, bahwa para ulama sepakat sentuhan yang dapat membatalkan wudhu adalah bertemunya antara kulit lawan jenis tanpa penghalang apa pun, dan mereka berselisih pendapat tentang sentuhan yang disertai syahwat.
Menurut mayoritas ulama –kecuali mazhab Syafi’i— menyentuh wanita tanpa disertai dengan syahwat tidak membatalkan wudhu. Penjelasannya, menyentuh wanita yang mahram, terkhusus dalam hal ini adalah istri, sentuhan yang membatalkan wudhu adalah bila disertai dengan syahwat, yang tanda-tandanya bisa diketahui dengan keluarnya sesuatu berupa madzi maupun mani. Selain itu tidak membatalkan wudhu sebagaimana yang terjadi dalam riwayat ‘Aisyah di atas.
Adapun menyentuh wanita yang bukan mahram, wanita asing, maka tidak membatalkan wudhu selama tidak disertai dengan syahwat, termasuk ketika menyentuh wanita asing tanpa unsur kesengajaan atau dalam kondisi darurat.
Yang perlu diperhatikan adalah, meskipun menyentuh wanita asing tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu namun bukan berarti menunjukkan bolehnya menyentuh wanita asing dengan sengaja asal tanpa syahwat.
Dalam kajian fikih menyentuh wanita asing tanpa syahwat memang tidak membatalkan wudhu, hukum ini untuk orang yang menyentuh wanita asing tanpa disengaja atau dalam kondisi darurat. Akan tetapi apabila kita cermati dari sisi lain, menyentuh wanita asing adalah perbuatan dosa dan menuruti hawa nafsu, tentunya perbuatan tersebut dilarang dalam Islam. Bahkan pelakunya mendapat ancaman keras seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, “Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya (bukan istri atau mahramnya.” (HR. Ath-Thabrani). Wallahu a’lam. []