وَمَسُّ الْفَرْجِ بِبَطْنِ الْكَفِّ
“(Dan pembatal wudhu selanjutnya) adalah menyentuh farji (kemaluan) dengan telapak tangan.”
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam persoalan ini. Pendapat pertama, menyentuh farji dapat membatalkan wudhu, ini adalah pendapat jumhur mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali; meskipun terkait soal perinciannya mereka juga berbeda pendapat.
Mazhab Maliki telah menetapkan bahwa menyentuh kemaluan dengan telapak tangan atau telapak jari tanpa penghalang apa pun adalah membatalkan wudhu, baik disengaja atau tidak disengaja. (Ibnu Abdil Barr, alIstidzkar, 1/250)
Syaikh Taqiyuddin Al-Hushni menjelaskan dalam kitabnya, di antara amalan yang dapat membatalkan wudhu adalah menyentuh farji adami (kemaluan manusia), baik menyentuh apa yang menjadi miliknya atau milik orang lain, farji laki-laki atau perempuan, farji anak kecil atau orang dewasa, farji orang yang sudah mati maupun yang masih hidup, farji bagian depan maupun belakang – karena dua bagian itulah yang disebut dengan farji—. Berdasarkan hadits dari Basrah binti Shafwan, bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya hendaklah berwudhu.” (HR. Abu Dawud). (Taqiyuddin Al-Hushni, Kifayatul Akhyar, hal 61)
BACA JUGA: Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu
Menurut mazhab Hanbali, menyentuh kemaluan tanpa pembatas adalah pembatal wudhu, baik kemaluan depan maupun belakang, kemaluan laki-laki atau perempuan. Menurut mazhab ini tidak disyaratkan harus disertai dengan syahwat. (Al-Mardawi, Al-Inshaf, 1/210)
Pendapat kedua, menyentuh farji tidak membatalkan wudhu. Berdasarkan hadits Thalq bin Ali, dia bertanya kepada Rasulullah tentang orang yang menyentuh kemaluannya, “Haruskah dia berwudhu?” Rasulullah menjawab, “Tidak, itu hanyalah sepotong daging yang ada dalam dirimu.” (HR. Abu Dawud)
Pendapat ketiga, jika menyentuhnya disertai dengan syahwat maka membatalkan wudhu dan jika tidak disertai dengan syahwat maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ketiga ini berprinsip pada penggabungan hadits Basrah binti Shafwan dan hadits Thalq bin Ali.
Pendapat ketiga ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Al-‘Utsaimin, dalam Syarah Bulughul Maram beliau menjelaskan, menyentuh kemaluan dengan syahwat membatalkan wudhu, menyentuh tidak disertai dengan syahwat tidak membatalkan wudhu namun secara mutlak dianjurkan untuk berwudhu sebagai bentuk kehati-hatian. Dengan demikian, seseorang yang mandi janabah lalu menyentuh kemaluannya dengan syahwat wajib berwudhu setelah mandinya selesai, jika dia menyentuh tanpa disertai syahwat maka tidak diharuskan untuk berwudhu. (Al‘Utsaimin, Syarhu Bulughul Maram, 1/259)
MENYENTUH KEMALUAN BINATANG
Secara umum, ada dua pendapat ulama tentang apakah menyentuh farji binatangw membatalkan wudhu. Menurut mazhab Syafi’i, Hanbali dan salah satu riwayat mazhab Maliki tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Sebagian ulama lain, seperti Al-Laits berpendapat bahwa ini merupakan pembatal wudhu. (An-Nawawi, Al-Majmu’, 2/43. Al-Mardawi, Al-Inshaf, 1/203. AlHathab ar-Ru’aini, Mawahibu al-Jalil, 1/302)
Perbedaan pendapat ini muncul karena ada perbedaan dalam menafsirkan hadits tentang perintah untuk berwudhu setelah menyentuh farji. Kelompok yang tidak membatalkannya, menafsirkan bahwa yang dimaksud farji dalam hadits itu adalah farji adami (kemaluan manusia). Sedangkan kelompok yang membatalkan menilai kata farji dalam hadits tersebut bersifat umum, baik farji adami atau binatang. Dan pendapat pertama –yaitu menyentuh farji binatang tidak membatalkan wudhu— dinilai lebih rajih oleh para ulama. (http://www. alukah.net/sharia/0/34202/)
MENYENTUH KEMALUAN ANAK KECIL
Menurut sebagian Ulama Fikih, menyentuh kemaluan anak kecil adalah pembatal wudu, sama seperti menyentuh kemaluan orang dewasa. Tidak ada bedanya antara kemaluan yang menjadi miliknya atau milik orang lain, kemaluan anak kecil atau orang dewasa. Ini adalah pendapat mazhab Syafi’i dan Hanbali. (Al-Hushni, Kifayatul Akhyar, hal 61. Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 1/118).
Namun, pendapat yang rajih adalah tidak membatalkan wudhu kecuali jika disertai dengan syahwat, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Karena hal ini sudah menjadi kebiasaan umum, yaitu orang tua menyentuh kemaluan anaknya untuk dibersihkan, bersamaan dengan itu tidak ada perintah dari Rasulullah kepada para sahabat dari kalangan perempuan untuk mengulangi wudhu setelah mereka menyentuh kemaluan anaknya, padahal bagi mereka hal ini sudah pasti terjadi. (https://islamqa.info/ ar/191686). Wallahu a’lam. [ ]