Suami dan istri adalah dua insan yang berbeda yang disatukan dengan ikatan suci berupa pernikahan, dengan pernikahan tersebut seolah mereka menjadi satu tubuh dan satu langkah tujuan, namun demikian bukan berarti segala bentuk batasan pribadi mereka telah sirna. Islam memberikan batasan-batasan yang membedakan antara suami dan istri terutama dalam hak dan tanggung jawab. Suami berkewajiban menafkahi istri dan sebagai imbalannya istri berkewajiban mentaati suami.
Suami yang dalam hal ini berkewajiban memberi nafkah belum tentu lebih kaya dari istri yang dinafkahi. Mungkin secara nilai, harta yang dimiliki suami lebih banyak tetapi kebutuhan yang dikeluarkan pun juga banyak, bahkan dalam kondisi tertentu bisa saja suami terjerat hutang atau jatuh miskin, sedangkan istri tidak perlu mengeluarkan hartanya karena telah dicukupi nafkahnya oleh suami.
Dalam contoh kasus ini, bila ternyata istri memiliki harta yang wajib dikeluarkan
Membayar zakatnya sementara itu ia memiliki suami yang terjerat hutang atau jatuh miskin apakah istri boleh membayarkan zakatnya kepada suaminya tersebut?
Terlebih dahulu perlu difahami bahwa suami tidak boleh membayarkan zakatnya kepada istri disebabkan karena zakat tidak dibayarkan kepada orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggung jawab pemilik harta, sedangkan nafkah seorang istri menjadi tanggung jawab suami. Adapun bagi seorang istri yang hartanya sudah mencapai nishab zakat dan ia memiliki suami yang miskin maka para ulama dalam hal ini berbeda pendapat.
Pertama, mayoritas ulama membolehkan seorang istri membayarkan zakatnya kepada suaminya yang miskin. Berdasarkan sebuah hadits Abu Sa’id alKhudri yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi memerintahkan kaum wanita untuk bersedekah, datanglah Zainab –istri Abdullah bin Mas’ud— seraya berkata, “Wahai Nabi Allah, hari ini engkau telah memerintahkan untuk bersedekah dan aku memiliki perhiasan, tetapi menurut suamiku ia dan anaknya lebih berhak untuk aku sedekahi.” Kemudian Nabi bersabda, “Benar apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud, suamimu dan anakmu lebih berhak untuk engkau sedekahi.”
Ulama yang sependapat dengan ini adalah Imam asy-Syafi’i, ats-Tsauri, dua sahabat Abu Hanifah –yaitu al-Hasan dan Abu Yusuf—, serta salah satu riwayat dari Imam Malik dan Ahmad. Menurut mereka, lafal sedekah dalam hadits di atas tidak diikuti dengan keterangan khusus sehingga dapat diartikan dengan sedekah wajib maupun sedekah tathawu’ (tidak wajib).
Kedua, pendapat yang menyatakan seorang istri tidak boleh membayarkan zakatnya kepada suami, karena dikhawatirkan uang yang diberikan kepada suaminya tersebut akan diberikan lagi kepada istrinya sebagai nafkah suami kepada istri, secara tidak langsung istri akan mengambil zakatnya sendiri. Dalil yang digunakan pendapat ini sama dengan pendapat pertama, hanya saja pendapat kedua menyatakan lafal sedekah yang dimaksud adalah sedekah tathawu’ dan bukan sedekah wajib.
Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan riwayat Imam Ahmad, tetapi kedua murid Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad al-Hasan tidak setuju dengan pendapat gurunya dan mengikuti pendapat mayoritas ulama sebagaimana telah disebutkan di atas.
Di antara alasan yang lain, sebagaimana seorang suami tidak dibolehkan memberikan zakat kepada istrinya maka istrinya pun demikian tidak boleh memberikan zakatnya kepada suaminya, karena kedua suami istri adalah satu kesatuan. Bahkan sebagian ulama seperti Ibnu Hazm mengatakan jika suami miskin, dan istri kaya maka istri berkewajiban memberikan nafkah kepada suaminya.
Menurut Syaikh Shalih bin Utsaimin, pendapat yang benar adalah pendapat pertama, yaitu istri boleh membayarkan zakatnya kepada suami jika suami termasuk golongan yang berhak menerima zakat. Lafal sedekah pada hadits di atas bersifat umum, bisa sedekah wajib maupun sedekah tidak wajib. Bila ada yang berpendapat maksudnya adalah sedekah tathawu’ maka perlu dicatat bahwa dalam hal ini kita berbicara soal membayar zakat kepada suami yang fakir, sedangkan fakir adalah salah satu sifat seseorang berhak mendapatkan bagian zakat, ditambah lagi tidak ada dalil yang melarang hal itu.
baca juga: Mengambil Harta Suami Tanpa Izin
Kesimpulannya, jika si istri miskin sedangkan suaminya kaya dan selalu memberikan nafkah kepada istrinya maka tidak dibolehkan bagi suami memberikan zakat kepada istrinya, karena istri sudah cukup dengan nafkah yang ia berikan. Tetapi ketika suami miskin dan istrinya ka ya maka istri tidak berkewajiban menafkahi suami, karena hartanya adalah untuk dirinya sendiri, namun ia diperbolehkan memberikan zakat kepada suaminya. Wallahu a’lam. []
Referensi:
Ibnu Qudamah, al-Mughni, 2/279. Ibnu Utsaimin, Syarhul Mumti’, 6/168-169.
Ibnu Utsaimin, Syarah Bulughul Maram, 2/570.
Situs: https://islamqa.info/ar/43207 dan http://www. ahmadzain.com/ secara ringkas dan sedikit tambahan