Di tengah masyarakat, kita sering menjumpai seorang ayah membawa anak kecilnya untuk shalat berjama’ah di masjid. Atau, seorang ibu membawa bayinya saat menghadiri pengajian di masjid. Bagus, sih, tujuannya, mengenalkan dan membiasakan anak terhadap shalat jamaah dan majlis taklim.
Di sisi lain kita juga menjumpai beberapa masjid yang melarang kehadiran bayi dan anak kecil di masjid. Bagaimana sebenarnya masalah ini dalam pandangan ulama?
TAK ADA SALAHNYA MEMBAWA BAYI DAN ANAK KECIL
Sebagian ulama hadits dan ulama fikih berpendapat orang tua boleh membawa anak mereka—baik bayi masih yang menyusu maupun anak kecil yang sudah disapih—ke dalam masjid.
Jajaran ulama yang berpendapat demikian antara lain Ahmad bin Umar Al-Qurthubi Al-Maliki, Majduddin Abul Barakat Ibnu Taimiyah Al-Hambali, Ibnu Rajab Al-Hambali, Badruddin Al-Aini Al-Hanafi, An-Nawawi Asy-Syafi’i, Az-Zarkasyi Asy-Syafi’i, dan Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi’i.
Pendapat ini didasarkan kepada hadits-hadits shahih. Antara lain hadits dari Abu Qatadah al-Anshari z bahwasanya Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya aku sedang mengerjakan shalat, lalu aku hendak memanjangkan bacaannya. Tiba-tiba aku mendengar tangisan seorang bayi. Maka aku segera memendekkan shalatku, karena aku tidak ingin memberatkan ibu bayi tersebut.” (HR. Al-Bukhari)
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Saya tidak pernah shalat dengan bermakmum di belakang seorang imam yang lebih ringkas dan lebih sempurna shalatnya melebihi Rasulullah ﷺ. Terkadang beliau mendengar tangisan seorang bayi, maka beliau meringankan shalat beliau, karena khawatir ibunya akan terganggu oleh tangisan bayinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
BACA JUGA: Hukum Charging Hp Dari Listrik Masjid
Dari Buraidah bin Hashib radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ﷺ sedang berkhutbah di hadapan kami. Tiba-tiba Hasan dan Husain datang dengan mengenakan gamis berwarna merah. Keduanya berjalan dengan tertatih-tatih, jatuh, dan bangun. Maka Rasulullah ﷺ turun dari atas mimbar, memeluk keduanya, dan mengangkat keduanya ke atas mimbar. Beliau bersabda, “Maha Benar Allah, yang telah berfiman ‘Sesungguhnya harta kalian dan anak-anak kalian adalah ujian’. Aku melihat keduanya, maka aku tidak bisa bersabar.” Beliau lantas melanjutkan khutbahnya. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzi)
Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ melaksanakan shalat sambil menggendong Umamah, anak dari pernikahan Zaenab binti Rasulullah ﷺ dan Abul Ash bin Rabi’ah bin Abdu Syams. Pada saat sujud, beliau menurunkan Umamah. Pada saat berdiri, beliau menggendong Umamah. (HR. Bukhari dan Muslim)
TIDAK BOLEH MEMBAWA BAYI DAN ANAK KECIL
Sebagian ulama hadits dan ulama fikih menyatakan makruh hukumnya membawa bayi yang masih menyusui atau anak kecil yang belum mencapai usia tamyiz ke dalam masjid. Mereka antara lain adalah Asy-Syafi’i, Muhammad bin Ahmad bin Illisy Al-Maliki, dan Ibnu Taimiyah Al-Hambali.
Pendapat mereka didasarkan kepada beberapa argumentasi. Pertama, hadits-hadits yang dikemukakan oleh kelompok pertama bersifat kasuistik. Ia adalah tindakan individu sebagian sahabat saja. Adapun mayoritas sahabat tidak membawa bayi atau anak kecil mereka ke dalam masjid.
Kedua, kehadiran bayi atau anak kecil di masjid menimbulkan dampak-dampak negatif (mafsadat) yang lebih besar dari dampak-dampak positifnya (maslahat). Tangisan bayi atau teriakan anak kecil itu mengganggu bacaan imam. Ia juga mengusik ketenangan makmum dalam menyimak bacaan imam. Selain itu, anak kecil seringkali berjalan-jalan dan berlarian di hadapan makmum atau imam. Hal itu jelas mengganggu kekhusyukan imam dan makmum.
BACA JUGA: Berjualan di Lantai Bawah Masjid
Padahal banyak hadits shahih melarang ucapan atau perbuatan yang mengganggu konsentrasi imam dan makmum dalam shalat. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ selesai dari mengerjakan shalat jahriyah, lalu beliau bertanya, “Apakah ada seseorang di antara kalian yang tadi ikut membaca bersama bacaanku?” Seorang sahabat menjawab, “Benar ya Rasulullah.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Aku mengatakan kenapa bacaan Al-Quranku disaingi?” Sejak mendengar teguran Rasulullah ﷺ tersebut, para sahabat tidak pernah lagi membaca dalam shalat yang Rasulullah ﷺ mengeraskan bacaannya. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Rasulullah ﷺ melarang para sahabat membaca Al-Quran dengan suara keras di belakang beliau, saat beliau mengimami shalat. Sebab bacaan makmum tersebut akan mengganggu konsentrasi dan bacaan Rasulullah ﷺ.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ sedang mengerjakan shalat Zhuhur. Lalu seorang makmum membaca surat Sabbihisma Rabbikal A’la (surat Al-A’la) dengan suara keras. Seusai shalat, Rasulullah SAW bertanya, “Siapakah di antara kalian yang tadi membaca Al-Quran di belakangku?” Seorang sahabat menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Sungguh aku menyatakan sebagian kalian telah mengganggu bacaanku.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Makmum dilarang untuk membaca dengan suara keras di belakang imam dalam shalat sirriyah maupun shalat jahriyah, karena bacaan makmum tersebut akan mengganggu konsentrasi imam dan para makmum lainnya.
Oleh karena itu Nabi ﷺ melarang orang yang berada dalam masjid dari membaca Al-Qur’an, dzikir, doa, dan lainnya dengan suara keras, apabila dikhawatirkan mengganggu konsentrasi orang yang sedang mengerjakan shalat.
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ melakukan i’tikaf di dalam masjid. Dari dalam kemahnya, Rasulullah ﷺ mendengar para sahabat membaca Al-Quran dengan suara yang keras. Maka beliau menyingkap tabir kemahnya, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya masing-masing di antara kalian sedang bermunajat dengan Rabbnya. Maka janganlah sebagian kalian menganggu sebagian lainnya, dan janganlah sebagian kalian mengeraskan bacaannya atas sebagian lainnya!” (HR. Abu Daud, Ahmad, dan Al-Hakim)
TARJIH
Dari uraian di atas diketahui bahwa masing-masing pendapat didasarkan kepada dalil syar’i yang shahih. Masing-masing pendapat juga mempertimbangkan maslahat-mafsadat yang ditimbulkan oleh kehadiran bayi atau anak kecil di dalam masjid.
Para ulama kontemporer menyimpulkan bahwa pada dasarnya masing-masing dalil syar’i yang shahih tersebut bisa diamalkan, sesuai dengan kondisi masing-masing.
Pertama, anak kecil yang tenang dan tidak membuat kegaduhan. Atau anak kecil yang membuat gaduh, namun apabila ia dicegah, maka ia taat dan berhenti dari kegaduhan. Ia adalah anak yang telah bisa diberi pengertian tentang pentingnya ketenangan dan tidak bermain-main saat shalat. Anak seperti ini boleh hadir di dalam masjid. Lebih utama apabila ia didampingi oleh orang tuanya atau kakaknya yang telah baligh.
Dalil kebolehan membawa mereka ke masjid adalah hadits-hadits yang disebutkan oleh kelompok pertama.
Kedua, anak kecil yang tidak bisa tenang. Ia banyak bergerak dan membuat gaduh, sehingga mengganggu ketenangan imam dan makmum. Apabila ia dicegah dari bermain-main dan berbuat gaduh, maka ia tidak mau berhenti. Anak seperti ini tidak boleh dibawa ke dalam masjid, karena dampak-dampak negatif yang ia timbulkan.
Hendaknya orang tuanya atau walinya dinasehati dengan baik dan lemah-lembut untuk membawa keluar anak seperti ini dari dalam masjid. Dalil tidak bolehnya membawa mereka ke masjid adalah hadits-hadits yang disebutkan oleh kelompok kedua. Wallahu a’lam bish-shawab []
REFERENSI:
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari
Badruddin Al-Aini, Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari
An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadz-dzab.
Ibnu Illisy Al-Maliki, Minahul Jalil Syarh Mukhtashar Muslim
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fawawa.
Baca artikel menarik lainnya disini
dibuka peluang menjadi agen dikota anda, info dan pemesanan majalah fikih hujjah hubungi:
Tlp: 0821-4039-5077 (klik untuk chat)
facebook: @majalah.hujjah
Instagram: majalah_hujjah