Banyak sekali penawaran investasi yang muncul dewasa ini. Baik dari lembaga keuangan atau secara personal. Salah satu model investasi yang biasa berlaku adalah syirkah. Kurang memahami dengan baik kaidahnya dapat berakibat pada pelanggaran syar’i.
Secara etimologi syirkah bermakna suatu relasi, antonim dari sendirian atau keterasingan. Dapat dimaknai juga dengan perpaduan dari dua hal yang tidak bisa dipisahkan (Abu Al-Husain Ar-Razi, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Tahqiq: Abdus Salam, (Dar al-Fikr, 1399 H), 3/265).
Sedangkan dalam terminologi fikih mencakup dua hal, yaitu syirkah Amlak dan syirkah Uqud. Syirkah Amlak berarti perpaduan kepemilikan antara dua orang atau lebih pada sesuatu yang terjadi secara otomatis tanpa kesepakatan awal. Seperti hak waris, wasiat dan semisalnya.
Pembahasan kali ini lebih fokus pada syirkah Uqud. Yaitu percampuran antara dua harta atau lebih dengan niatan berserikat dalam harta beserta keuntungan yang dihasilkan (Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fi al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet-2, 1427 H), 2/137-138).
KLASIFIKASI SYIRKAH
Syirkah uqud terbagi menjadi tiga macam, yaitu syirkah Amwal, syirkah Abdan, dan syirkah Wujuh.
Syirkah amwal adalah kemitraan dalam harta dengan kesepakatan dalam pembagian keuntungan dan bersama-sama dalam menanggung kerugian. Model Syirkah ini ada dua, yaitu Inan dan Mufawadhah. Dalam Syirkah Inan tidak diharuskan ada kesamaan dalam nominal modal yang disertakan. Bisa jadi salah satu mitra lebih banyak modalnya dari pada yang lain.
Sementara dalam syirkah mufawadhah diharuskan ada kesamaan dalam modal yang disertakan dari masing-masing mitra. Tapi, yang banyak dan lazim dilakukan adalah model syirkah Inan. Sebab syirkah Mufawadhah terlalu sulit untuk dilakukan.
Kedua, syirkah abdan atau syirkah a’mal. Syirkah ini berupa kontrak kerjasama dua orang atau lebih untuk melaksanakan sebuah pekerjaan tertentu dan membagi hasil dari pekerjaan tersebut sesuai dengan kesepakatan. Bisa jadi sama, atau berbeda-beda.
Misalkan, kerjasama antar penjahit, pandai besi, jagal, montir, bongkar muatan, dan selainnya. Syirkah ini diperbolehkan menurut Jumhur selain Syafiiyah, karena sulitnya menentukan kadar pembagian keuntungan disebabkan perbedaan keahlian masing-masing mitra.
Ketiga, syirkah Wujuh, yaitu kesepakatan dua orang yang tidak memiliki modal dimana salah satu mitra atau keduanya memiliki nama baik (ketokohan dan kedudukan) di tengah masyarakat dan orang-orang memberikan pinjaman kepadanya karena nama baik ini. Mereka membeli barang secara kredit dan barang itu dijadikan sebagai usaha kemitraan. Kemudian dijual, dan keuntungan yang diperoleh akan dibagi dua di antara mereka (Ibid, 139-142).
BACA JUGA: KAIDAH DALAM MEMECAHKAN FIKIH NAZILA
Model syirkah ini diperbolehkan menurut madzhab Hanafi dan Hanbali, berdasarkan prinsip bahwa setiap aktifitas muamalah dilegalkan hingga terdapat dalil yang melarangnya. Dan tidak ada dalil yang melarang syirkah ini. Kedua, faktor kebutuhan yang mendesak. Dan masih memungkinkan melegalkan syirkah ini melalui pendekatan konsep perwakilan.
Sedangkan Malikiyah dan Syafi’iah melarangnya. Sebab di dalamnya tidak terdapat perkongsian dalam modal, dan faktor-faktor spekulasi yang lain (Kementerian wakaf Kuwait, Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, (Mesir: Dar Shafwah, Cet-1, 1427 H), 26/36).
LANDASAN SYAR’I
Secara umum transaksi syirkah diperbolehkan dalam syariat Islam, berdasarkan al-Quran, Hadits dan Ijma’. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala yang artinya,
“Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa: 12)
Dan dalam firman lainnya yang artinya,
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shad: 38)
Kemudian dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
قالَ رَسُولُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: “قَالَ اللَّهُ تَعالى: أَنا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإذا خَانَ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah berfirman: Aku adalah orang ketiga dari dua orang yang bersekutu selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati temannya. Jika salah satunya mengkhianati, maka aku keluar dari antara mereka berdua.” (HR. Abu Dawud, No: 3383)
Sedangkan berdasarkan ijma, banyak orang yang telah melakukannya dan mereka masih menjalaninya. Hal tersebut berlaku di setiap masa dan tempat, para ulama fikih menyaksikannya, dan mereka tidak mengingkarinya (Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Maktabah Kairo, TT), 5/124).
SYARAT SYIRKAH AMWAL
Syarat pertama, pelaku dan objek transaksi harus memenuhi kriteria wakalah. Sebab, setiap mitra dalam transaksi syirkah masing-masing berperan sebagai wakil sekaligus muwakkil bagi mitra lainnya.
Syarat kedua, prosentase keuntungan harus diketahui. Tidak boleh menentukan nominal tertentu dalam keuntungan. Sebab jika keuntungan berdasarkan nominal tertentu, ketika jumlahnya terbatas untuk salah satu pihak, maka tujuan dari syirkah tidak tercapai.
Sedangkan beban tanggungan kerugian berdasarkan besaran modal yang disertakan. Kaidah dalam hal ini adalah,
الرِبْحُ عَلَى مَا شَرَطَا وَالوَضِيعَةُ عَلَى قَدرِ المَالَينِ
keuntungan berdasarkan kesepakatan mereka (para mitra) sedangkan kerugian itu berdasarkan harta (modal) (Badrudin al-Aini, Al-Binayah Syarh al-Hidayah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet-1, 1420 H), 7/398).
Ketiga, menurut jumhur ulama fikih modal yang disertakan berupa mata uang yang masih laku, kecuali Malikiyah yang memperbolehkan dalam bentuk barang, tapi harus diperkirakan nilainya di awal transaksi. Guna mengetahui pembagian keuntungan.
Syarat keempat, modal harus ada dan wujud. Tidak boleh berbentuk hutang, sebab akan menghalangi proses berjalannya transaksi syirkah. Boleh juga berupa piutang yang memungkinkan untuk ditagih, dengan ditentukan nominalnya dan mewakilkan kepada mitra untuk mengambilnya.
Jumhur ulama fikih selain Syafiiyah tidak mewajibkan percampuran modal yang disertakan. Sebab transaksi syirkah itu terbentuk dengan adanya kesepakatan, bukan percampuran harta. Objeknya adalah pekerjaan, sementara keuntungan adalah hasil dan harta adalah ikutan. Syirkah adalah transaksi yang bermakna perwakilan, dan perwakilan dalam harta diperbolehkan meskipun harta tidak tercampur.
Sedangkan alasan Syafi’iyah, syirkah maknanya adalah percampuran. Jika harta tidak dicampur, dan masih memungkinkan untuk dibedakan, maka hakikat syirkah tidak tercapai (Al-Wajiz, 143-145).
PEMBATAL SYIRKAH
Ada beberapa faktor yang menyebabkan batalnya transaksi syirkah. Di antaranya adalah pembatalan dari salah satu mitra. Sebab Syirkah adalah transaksi yang tidak mengikat menurut Jumhur, yang dapat dibatalkan secara sepihak. Sedangkan menurut Malikiyah, bersifat mengikat, sehingga tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
Kemudian, adanya pengingkaran terjadinya kontrak kerjasama. Jika ini terjadi, maka bagi yang memungkiri berhak mendapat keuntungan (meskipun sebenarnya status keuntungan itu buruk) dan menanggung kerugian sendirian. Dan baginya kewajiban mengembalikan modal, ini menurut Hanafiyah. Sementara menurut Syafi’iyah, secara otomatis transaksi batal.
Selain itu faktor lainnya adalah meninggalnya salah satu mitra, gila, pailit dan rusak atau hilangnya modal syirkah (Mausu’ah Fiqhiyah 26/88-90). Wallahu A’lam. [-]
Oleh Ilyas Mursito