Hassan Syamsi Basya menceritakan sebuah kisah menarik dalam bukunya Qulubun Tahwal ‘Atha’ (h. 24-25). Ia menuturkan bahwa pada suatu hari, seorang murid dan gurunya tampak berjalan di area perkebunan. Di salah satu perkebunan, keduanya pun melihat sepasang sepatu usang yang tergeletak di pinggir jalan yang sedang keduanya lewati.
Terdetik dalam benak mereka bahwa sepasang sepatu itu pasti milik salah seorang pekerja di perkebunan terdekatnya. Meski terkesan tidak layak, mereka yakin bahwa si pekerja akan mengambil kembali sepatu usangnya seusai ia menuntaskan pekerjaannya.
Seketika, timbul rencana usil di benak si murid. “Ayo Guru! Bagaimana kalau kita mencandai pekerja itu dengan menyembunyikan sepatu usangnya,” usulnya kepada sang guru.
“Lalu kita bersembunyi di balik pepohonan. Tatkala ia kembali untuk mengambil sepatunya kemudian tidak menemukannya, tentu kita dapat menikmati kegelisahan dan kebingungannya,” lanjutnya.
Sang guru pun menanggapi usulan usil murid itu. Dengan penuh bijaksana sang guru menegur, “Wahai anakku! Tidak sepantasnya kita menghibur diri kita dengan mempermainkan perasaan orang-orang fakir dan miskin.”
“Engkau orang berada. Engkau dapat meraih kebahagiaan lebih dengan meletakkan beberapa lembar uang ke dalam sepatu usang si pekerja. Lalu kita bersembunyi untuk menyaksikan bagaimana reaksinya,” lanjut sang guru.
Si murid pun kagum atas ide brilian gurunya. Ia lantas meletakkan beberapa lembar uang ke dalam sepasang sepatu usang pekerja tersebut. Mereka lalu bersembunyi di belakang semak-semak untuk menyaksikan secara langsung bagaimana respon pekerja fakir itu.
Tidak berselang lama, muncullah si pekerja yang dinanti-nantikan. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, pakaian yang ia kenakan tampak lusuh dan usang. Ia pun bergegas mengambil sepatu usangnya.
Ada hal aneh yang ia rasakan saat meletakan kaki kanannya ke dalam sepatunya. Ia merasa ada suatu benda yang mengganjal di sepatunya. Alangkah terkejutnya ia tatkala mengeluarkan benda itu di sepatunya. Ia menemukan beberapa lembar uang. Keterkejutannya semakin bertambah manakala menemukan sejumlah lembar uang yang sama di sepatu yang lain.
Pekerja miskin tadi memandang lekat pada uang yang ditemukannya. Berulang kali ia melihat uang tersebut untuk memastikan bahwa ia tidak bermimpi. Ia kemudian memandang ke sekelilingnya namun tidak mendapati seorang pun yang ada di sekitarnya.
Sambil terisak menangis, ia lantas memasukkan lembaran-lembaran uang itu ke dalam sakunya. Ia pun mengarahkan wajahnya ke langit seraya bermunajat dengan lirih kepada Rabbnya,
“Aku sangat bersyukur kepada-Mu Wahai Rabbku. Sungguh Engkau Mahatahu bahwa istriku sedang menderita sakit. Anak-anakku tengah kelaparan. Tidak ada sesuap nasi pun yang mampu mengganjal perut mereka. Engkau benar-benar telah menyelamatkanku beserta istri dan anak-anakku dari mara bahaya.”
Ia terus-menerus menangis mensyukuri karunia yang ‘turun dari langit’ tersebut.
Menyaksikan reaksi pekerja miskin itu, si murid pun terenyuh dan segera kedua matanya basah oleh linangan kristal-kristal air mata. Dalam kondisi seperti itulah sang guru lantas berujar pada muridnya, “Bukankah sekarang kamu lebih bahagia dibanding saat kamu melihat reaksi pekerja itu ketika sepatunya kamu sembunyikan?”
“Sungguh saya mendapat pelajaran berharga yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hayatku” jawab murid tersebut. “Sekarang baru aku memahami sebuah kata bijak yang sebelumnya belum dapat kupahami. Kata bijak yang berbunyi, ‘Ketika memberi, kamu akan meraih lebih banyak kebahagiaan dibanding ketika kamu menerima pemberian,” pungkasnya
Kisah di atas menunjukkan betapa mulia dan membahagiakannya amalan memberi. Bahkan jika tidak ada sesuatu pun yang dapat diberikan, kita dapat memberi sesimpul senyum, atau dengan ungkapan yang bisa membahagiakan orang lain saat mendengarnya. Kebagian sejati adalah dalam memberi; bukan menerima pemberian.
Seorang Muslim itu ibarat buah yang jika matang dan terasa manis maka ia akan menyuguhkan rasa manisnya untuk yang lain. Bahkan jika buah itu tidak dimanfaatkan oleh yang lainnya justru akan menyebabkannya membusuk dan rusak.
Belajarlah memberi meski dalam kondisi terjepit. Belajarlah untuk memberi senyuman kepada orang-orang terdekat, meski batin kita sedang terisak sedih. Teruslah memberi karena ganjarannya mampu menghapus segala jerih payah kita dan menyimpan suatu jalan keluar dari suatu yang tidak kita sangkakan. Wallahu a’lam. [Ali Shodiqin/hujjah.net]