أَنَّ يَوْمَ حُنَيْنٍ كَانَ يَوْمَ مَطَرٍ فَأَمَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- مُنَادِيَهُ أَنِ الصَّلاَةُ فِى الرِّحَالِ
Waktu perang Hunain adalah hari turunnya hujan, maka Nabi ﷺ memerintahkan muazin untuk menyerukan shalat di persinggahan masing-masing. (HR. Abu Dawud)
Jumlah kaum muslimin yang semakin bertambah di masa masa Rasulullah ﷺ, menyebabkan kesulitan mengumpulkan mereka untuk melaksanakan shalat berjamaah.
Sehingga para sahabat mengusulkan kepada Rasul ﷺ untuk menggunakan beberapa sarana sebagai tanda agar bisa mengumpulkan mereka dalam rangka melaksanakan shalat fardhu berjamaah.
Di antara sarana yang diusulkan kepada beliau yaitu lonceng dan terompet.
Hingga Datanglah Abdullah bin Zaid kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan apa yang telah ia lihat di dalam mimpinya.
Kisah ini sebagaimana yang tertulis di dalam hadits berikut.
Abdullah bin Zaid berkata, “Sewaktu Rasulullah ﷺ hendak memerintahkan supaya memakai lonceng yang dipukul untuk mengumpulkan orang-orang yang hendak mengerjakan shalat.
Suatu malam dalam tidurku, aku bermimpi melihat ada seseorang membawa yang sedang memegang lonceng.
Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai hamba Allah apakah enkau hendak menjual lonceng itu?’
Orang tersebut bertanya, ‘Untuk apa?’
Aku menjawab, ‘Bahwa kami ingin memanggil kaum Muslimin dengan menggunakan lonceng ini.’”
Orang itu berkata lagi, “Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik dari itu?”
Aku menjawab, “Ya”. Dia berkata lagi, “Allahu akbar, Allahu akbar…(hingga akhir lafal azan)”
Ketika pagi harinya aku bangun, aku menemui Rasulullah ﷺ dan menceritakan perihal mimpi itu kepada beliau.
Beliau bersabda, “Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar insyaAllah, maka berdirilah bersama Bilal. Ajari dia seperti apa yang engkau mimpikan, karena suaranya lebih lantang dari suaramu.”
Dia berkata, “Maka aku berdiri bersama Bilal, aku ajari dia dan dia pun mengumandangkannya.”
Maka Umar bin Khattab mendengar hal ini sedang ia berada di dalam rumahnya.
Maka ia pun keluar sambil menjulurkan sorbannya dan berkata, “Demi yang mengutusmu secara haq sungguh aku bermimpi seperti yang dia mimpikan.”
Rasulullah ﷺ bersabda, “Maka segala puji hanya milik Allah.” (HR. Ahamad, Tirmidzi, Abu Dawud)
Itulah hadits yang menceritakan asal muasal lafal azan yang kita dengarkan setiap waktu shalat.
Hukum Azan
Azan yang sudah ada sejak zaman Nabi hingga sekarang, adalah salah satu syariat dalam ajaran Islam dan tidak ada satupun ulama yang mengingkari hal ini.
Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai hukum azan untuk melaksanakan shalat fardhu secara berjamaah. Adapun pendapat mereka,
Fardhu Kifayah, ini adalah pendapat dari mazhab Imam Ahmad. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Adapun ulama kontemporer yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Asy-Syarhu al-Mumti’, 2/38).
Dalil yang menjadi sandaran mereka adalah, Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ
“Apabila telah masuk waktu shalat, hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut menunjukkan perintah untuk mengumandangkan azan, sementara dalam ilmu ushul fikih terdapat kaedah “Kata perintah menunjukkan hukum wajib.”
Sehingga azan tersebut hukumnya fardhu kifayah. (Wahbah az-Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adilatuhu, 1/612)
Sunah Muakkadah, artinya azan untuk melaksanakan shalat fardhu secara berjamaah adalah amalan sunah yang sangat ditekankan untuk dilaksanakan.
Ini adalah pendapat mayoritas para ulama, yaitu mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i.
Dalil yang menjadi argumentasi mereka adalah sabda Rasulullah ﷺ,
“Seandainya manusia mengetahui pahala yang terdapat pada azan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak mendapatkannya kecuali dengan cara mengundi, pasti mereka akan mengadakan undian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Akan tetapi, azan bagi wanita makruh hukumnya. Baik shalat sendiri atau berjamaah.
Hal ini karena dikhawatirkan munculnya fitnah yang disebabkan oleh suara wanita. (Wahbah az-Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adilatuhu, 1/609)
Lafal Adzan
Lafadz azan telah di ajarkan oleh Abdullah bin Zaid kepada Bilal bin Rabbah. Hal ini tentunya setelah mendapat perintah dari Rasul ﷺ untuk mengajarkan azan kepadanya.
Adapun lafal azan tersebut yaitu,
Allahu Akbar 2x
Allahu Akbar 2x
Asyhadu allaa ilaaha Illallah 2x
Ayshadu anna Muhammadar Rasuulallah 2x
Hayya ‘alash shalaah 2x
Hayya ‘alal falaah 2x
Allaahu Akbar 2x
Laa ilaaha illallah 1x
Demikianlah lafal azan yang dikumandangkan Bilal bin Rabbah di masa Rasulullah ﷺ. Dan lafal di atas sebagaimana yang terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmindzi dan Abu Dawud.
Lafal Azan Ketika Turun Hujan
Dalam kondisi hujan lebat, azan tidak dikumandangkan sebagaimana lafal di atas. Akan tetapi, terdapat tambahan lafal khusus di dalamnya.
Lafal tambahan tersebut ada tiga macam,
- أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ (Shalatlah kalian di tempat kalian)
- أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ (Shalatlah kalian di tempat kalian)
- صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ (Shalatlah kalian di rumah kalian)
Boleh memilih salah satu dari ketiga lafal tambahan tersebut. Lafal tambahan dalam azan ini berdasarkan beberapa hadits di bawah ini. Hadits tersebut di antaranya,
“Ibnu Umar pernah azan untuk melaksanakan shalat di malam yang dingin, anginnya kencang dan hujan, kemudian dia mengatakan di akhir azannya, ‘Alaa shallu fi rihalikum, alaa shollu fir rihal.’”
(Shalatlah di tempat kalian, shalatlah di tempat kalian).
Kemudian beliau mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ biasa menyuruh muadzin, apabila cuaca malam dingin dan berhujan ketika beliau safar untuk mengucapkan, ‘Alaa shollu fi rihaalikum’
(Shalatlah kalian di tempat kalian masing-masing).” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Dalam hadits lain, dari Ibnu Abbas dia berpesan kepada muadzin pada saat hujan,
إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلاَ تَقُلْ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ قُلْ صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ
“Apabila engkau selesai mengucapkan “Asyhadu allaa ilaha illallah, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah,” maka janganlah engkau ucapkan “Hayya ’alash shalah.”
Tetapi ucapkanlah “Shallu fii buyutikum” (Shalatlah di rumah kalian).
Seakan-akan masyarakat mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut. Lalu Ibnu Abbas berkata, “Apakah kalian merasa heran dengan hal ini, padahal hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (Rasulullah ﷺ).” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Para ulama sepakat mengenai disyariatkannya penambahan lafal azan dengan salah satu dari kalimat yang telah kami sebutkan di atas ketika dalam kondisi hujan lebat atau angin kencang. (Samiy bin Farj al-Hazimi, Ahkamu al-Azan wa an-Nida’ wa al-Iqamah, 102)
Waktu Melafalkan Azan
Para ulama memang sepakat akan kemasyru’iahan penambahan lafal dalam azan ketika hujan lebat atau angin kencang. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai waktu pelafalan tambahan tersebut.
Pendapat pertama, lafal tambahan diucapkan sebagai pengganti lafal Hai’alah (Hayya’alash Shalaah). Ini adalah pendapat salah satu pendapat dari mazhab syafi’i dan pendapat yang dipilih oleh mazhab Hambali.
Pendapat kedua, lafal tambahan diucapkan setelah lafal Hai’alah. ini adalah pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’i.
Pendapat ketiga, lafal tambahan diucapkan setelah selesainya azan. Ini adalah pendapat mazhab Maliki dan sebagian ulama mazhab Syafi’i.
Pendapat keempat, boleh memilih karena masalah ini adalah masalah yang longgar. Akan tetapi, lebih utama diucapkan setelah selesai azan.
Ini adalah pendapat mazhab Syafi’i dan sebagian ulama Hanafi. (Samiy bin Farj al-Hazimi, Ahkamu al-Azan wa an-Nida’ wa al-Iqamah, 103) Wallahu a’lam [Lutfi Fathoni/hujjah.net]