Imam al-Mawardi dalam Kitab Adab ad-Dunya wad dien menyebutkan suatu kisah, suatu kali ada seorang shalih berjalan menggunakan tongkat lalu ditanya, “Mengapakah Anda menggunakan tongkat sementara Anda tidak sedang safar dan Anda juga belum terlalu tua?” Beliau menjawab, “Agar aku selalu ingat, bahwa saya di dunia ini hanyalah sebagai seorang musafir.”
Yang menarik dalam fragmen tersebut bukan soal tongkatnya, tapi bagaimana seorang shalih menjadikan sesuatu sebagai pengingat akhirat, dan pengingat bahwa dirinya hanyalah sebagai musafir di dunia ini. Dan seorang musafir akan kembali k e rumah aslinya.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, Suatu kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku seraya bersabda,
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ، أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau seorang pengembara.” (HR. Bukhari)
Adam alaihissalam sebagai manusia pertama memulai kehidupannya di surga kemudian diturunkan ke bumi ini sebagai cobaan. Maka manusia seperti orang asing atau musafir dalam kehidupannya. Hadirnya manusia di dunia seperti datangnya orang asing. Sementara tempat tinggal Adam dan orang yang mengikutinya dalam masalah keimanan, ketakwaan, tauhid dan keikhlasan pada Allah adalah surga. Sesungguhnya Adam diusir dari surga adalah sebagai cobaan dan balasan atas perbuatan maksiat yang dilakukannya. Maka semestinya seorang muslim mengingatkan nafsunya dan mendidiknya dengan prinsip bahwa sesungguhnya tempat tinggal aslinya adalah di surga, bukan di dunia ini. Dia berada pada tempat yang penuh cobaan di dunia ini, dia hanya seorang asing atau musafir sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam.
(baca juga: Jarak Minimal Safar yang Memperbolehkan Shalat Jamak dan Qashar)
Betapa indah perkataan Ibnu Qoyyim rohimahulloh ketika menyebutkan bahwa kerinduan, kecintaan dan harapan seorang muslim kepada surga adalah karena surga merupakan tempat tinggalnya semula. Seorang muslim sekarang adalah tawanan musuh-musuhnya dan diusir dari negeri asalnya karena iblis telah menawan bapak kita, Adam ‘alaihissalam dan dia melihat, apakah dia akan dikembalikan ke tempat asalnya atau tidak. alangkah bagusnya perkataan seorang penyair,
نَقِّلْ فُؤَادَكَ حَيْثُ شِئْتَ مِنَ الْهَوَى مَـا الْحُـبُّ إِلاَّ لِلْحَبِيْبِ الْأَوَّلِ
كَمْ مَنْزِلٍ فِي الْأَرْضِ يَأْلَفُهُ الْفَتَى وَحَنِيْنُـــهُ أَبَــداً لِأَوَّلِ مَــنْزِلٍ
Palingkan hatimu pada apa saja yang kau cintai
Tapi kecintaan sejati hanyalah pada cinta pertama kali (Yakni Allah Jalla wa ‘Ala)
Berapa banyak tempat tinggal di bumi yang disinggahi
Kerinduan sejati tetap pada tempat tinggal pertama kali (Yakni di jannah)
Mereka letakkan jannah di pelupuk matanya, sedangkan di dunia, mereka hanya numpang lewat saja. Mereka tak ingin dunia menjadi akhir perjalannya. Hatinya belum merasa tenang sebelum sampai di rumah aslinya, dan ‘keluarga’ sejatinya. Maka sebagaimana seorang musafir akan mempercepat jalannya, begitupun orang-orang yang ingin ‘pulang’ ke rumahnya di jannah akan bersegera dalam mengupayakan langkah sehingga ia bisa sampai ke rumah dengan selamat. Maka semboyan seorang muslim adalah, “laa raahata illa fil jannah”, tiada rehat yang sesungguhnya kecuali di jannah. Karena itulah, setelah meriwayatkan hadits tersebut, Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhuma berkata,
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ
“Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada pagi hari jangan menunggu datangnya sore.” (HR Bukhari)
Orang yang cerdas akan menjatuhkan pilihan akhirat sebagai negeri tujuan yang didambakan, sedangkan dunia hanyalah kampung yang dilewati untuk sampai ke tempat tujuan. Dunia adalah tempat persinggahan sementara, atau dalam konteks sekarang ini bisa diibaratkan sebagai halte pemberhentian. Disitulah tempat para musafir memilih kendaraan yang bisa mengatarkannya ke tempat tujuan. Maka seindah apapun halte pemberhentian itu dihias, tak akan memupuskan kerinduan musafir untuk tetap pulang. Maka seindah apapun dunia ini dihias, tak memupus kerinduan seorang muslim untuk berangkat menuju rumahnya di akhirat.
Alasannya sangat kuat, tak ada satu celahpun keraguan hati yang melekat. Karena informasi bersumber dari al-Qur’an yang seratus persen akurat. Allah Ta’ala berfirman.
”Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” {Al-’Ala : 17}
Jannah sebagai rumah asal insan yang beriman memang pantas dirindukan. Jenis kenikmatan yang tersedia terlampau hebat untuk dibayangkan. Masa mengenyam kelezatannya kekal tiada batasan. Hanya orang bodoh yang rela kehilangannya, demi kenikmatan yang sangat sedikit, dengan durasi waktu yang sangat sempit. Maka musibah paling besar adalah ketika manusia lupa akan hakikat dunia yang hanya dilewati sementara, sementara ia menjadikannya sebagai tempat tujuan dan akhir perjalanannya.
Karena itulah, Nabi memberikan gelar al-kayyis, orang yang jenius bagi mereka yang mau mengevaluasi diri dan berbekal untuk hidup setelah mati.
Mereka rela mempertaruhkan apapun demi mendapatkan jannah yang dinanti. Mereka juga rela kehilangan berbagai kenikmatan syahwati yang bisa menjerumuskan ke dalam kesengsaraan abadi. Maka segala penderitaan apapun di dunia dia senantiasa berusaha untuk bersabar. Hingga mereka sampai di rumah asalnya, yakni di surga. Semoga Allah membimbing kita hingga kita bisa memasukinya.aamiin. []