Jika Mengingkari Kemungkaran Menimbulkan Bahaya Lebih Besar
Amar makruf nahi mungkar adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam. Amalan ini juga yang menjadikan umat Islam disebut sebaik-baik umat.
Namun, dalam praktiknya, tak jarang kegiatan amar makruf nahi mungkar justru menimbulkan bahaya atau mudarat yang lebih besar bagi pelakunya maupun orang lain.
Jika kondisinya seperti itu, apakah kegiatan amar makruf tetap boleh dilaksanakan, atau dihentikan? Para ulama mazhab ikhtilaf soal kasus seperti ini.
Imam An-Nawawi as-Syafi’i berkata,
وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ فَرْضٌ كِفَايَةٌ، فَإِنْ خَافَ مِنْ ذَلِكَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالٍ أَوْ عَلَى غَيْرِهِ سَقَطَ الْإِنْكَارُ بِيَدِهِ وِلِسَانِهِ وَوَجَبَتْ كَرَاهَتُهُ بِقَلْبِهِ، هَذَا مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ الْجَمَاهِيْرِ
“Para ulama telah berijmak bahwa itu (mengingkari kemungkaran) hukumnya fardhu kifayah. Apabila khawatir terhadap diri, harta, atau yang lainnya, hukum mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisannya menjadi tidak wajib, yang wajib tinggallah mengingkaridengan hati. Ini adalah mazhab kami dan jumhur.” (Syarh Muslim, Yahya bin Syarf an-Nawawi, 12/230)
Baca juga: Urgensi Nahi Munkar
Imam Al-Ghazali as-Syafi’i berkata,
فَكُلُّ مَنْ عَلِمَ أَنَّهُ يُضْرَبُ ضَرْباً مُؤْلِماً يَتَأَذَّى بِهِ فِي الْحِسْبَةِ، لَمْ تُلْزِمْهُ الْحِسْبَةُ، وَإِنْ كَانَ يُسْتَحَبُّ لَهُ ذَلِكَ كَمَا سَبَقَ.
“Maka setiap orang yang mengetahui bahwa dia akan dipukul dengan pukulan menyakitkan yang mengganggunya dalam proses hisbah (amar makruf nahi mungkar-ed), maka ia tidak diwajibkan untuk melaksanakan hisbah, meskipun itu hal yang dianjurkan sebagaimana diterangkan sebelumnya.” (Ihya’ Ulumuddin, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, 2/322)
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin,
أَنْ يَكُوْنَ قَادِراً عَلَى الْقِيَامِ بِالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ بِلَا ضَرَرٍ يُلْحِقُهُ، فَإِنْ لَحِقَهُ ضَرَرٌ: لَمِ يَجِبْ عَلَيْهِ، لَكِنْ إِنْ صَبَرَ وَقَامَ بِهِ: فَهُوَ أَفْضَلٌ؛ لِأَنَّ جَمِيْعِ الْوَاجِبَاتِ مَشْرُوْطَةٌ بِالْقُدْرَةِ وَالْاِسْتِطَاعَةِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: (فَاتَّقُوْا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ)
(Syarat keempat): Hendaknya ia memiliki kemampuan untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar tanpa ada mudarat yang timbul. Jika ada mudarat yang timbul, maka ia tidak wajib menegakkannya. Namun jika ia mampu bersabar dan tetap menegakkannya, maka itu lebih utama. Karena seluruh bentuk kewajiban itu mensyaratkan adanya kesanggupan dan kemampuan. Dasarnya firman Allah Ta’ala, “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (Qs. At-Taghabun: 16) (Majmu’ Fatawa, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 8/653)
Imam Al-Kharasyi al-Maliki berkata,
أَنَّ الْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنْ الْمُنْكَرِ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَةِ بِشُرُوطٍ أَنْ يَكُونَ الْآمِرُ عَالِمًا بِالْمَعْرُوفِ وَالْمُنْكَرِ لِئَلَّا يَنْهَى عَنْ مَعْرُوفٍ يَعْتَقِدُ أَنَّهُ مُنْكَرٌ أَوْ يَأْمُرُ بِمُنْكَرٍ يَعْتَقِدُ أَنَّهُ مَعْرُوفٌ وَأَنْ يَأْمَنَ أَنْ يُؤَدِّيَ إنْكَارُهُ إلَى مُنْكَرٍ أَكْبَرَ مِنْهُ، مِثْلُ أَنْ يَنْهَى عَنْ شُرْبِ خَمْرٍ فَيُؤَدِّيَ إلَى قَتْلِ نَفْسٍ وَنَحْوِهِ.
Sesungguhnya amar makruf nahi mungkar itu hukumnya fardhu kifayah (jika sudah ada yang mengerjakannya maka yang lain gugur dari kewajiban tersebut). Amalan ini disyaratkan hendaknya orang yang melakukannya mengetahui perkara yang makruf dan yang mungkar. Supaya tidak melarang perkara yang makruf karena meyakini perkara ini mungkar. Atau mengajak kepada perkara munkar yang diyakini perkara tersebut adalah makruf.
Baca juga: Mengubah Kemungkaran dengan Tangan, Hak Siapa?
Hendaknya tidak menyebabkan kepada kemungkaran yang lebih besar. Misal; mencegah seseorang dari minum khamr tetapi justru menyebabkan pembunuhan orang dan yang semisalnya. (Syarh Mukhtashar Khalil, Muhammad bin Abdullah al-Kharasyi, 9/436)
Imam Ibnu Rajab al-Hambali mengatakan,
فَإِنْ خَافَ السَّبَّ، أَوْ سَمَاعَ الْكَلَامِ السَّيِّءِ، لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الْإِنْكَارُ بِذَلِكَ نَصَّ عَلَيْهِ الْإِمَامُ أَحْمَد، وَإِنِ احْتَمَلَ الْأَذَى، وَقَوِيَ عَلَيْهِ، فَهُوَ أَفْضَلٌ، نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَد أَيْضاً، وَقِيْلَ لَهُ: أَلَيْسَ قَدْ جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَنَّهُ قَالَ: (لَيْسَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهُ) أَنْ يُعَرِّضَهَا مِنَ الْبَلَاءِ لَمَّا لَا طَاقَةَ لَهُ بِهِ، قَالَ: لَيْسَ هَذَا مِنْ ذَلِكَ.
Meskipun takut dihina atau dicaci maki, kewajiban mengingkari kemungkaran tetap tidak gugur dengan adanya alasan tersebut. Ada pendapat seperti itu dari imam Ahmad. Demikian juga, meskipun sampai mendapat siksaan fisik, dan ia mampu menghadapinya, maka mengingkari kemungkarannya lebih utama untuk dilakukan. Ini pendapat yang bersumber dari Imam Ahmad juga.
Jika ada yang mengatakan, “Bukankah telah ada keterangan dari Nabi, ‘Tidak diperkenankan seorang mukmin menghinakan dirinya,’ sehingga mestinya ia menghindarkan diri dari siksaan itu ketika ia tidak mampu menghadapinya?” Ibnu Syubramah menjawab, “Topik ini tidak masuk dalam pembahasan itu.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, Abul Farj Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hambali, 323) Wallahu a’lam. [Luthfi Fathoni/hujjah.net]