Dalam artikelnya yang berjudul “Kapan Islam sebagai Agama Muncul”, Mun’im Sirry menyoal tentang Islam dari sisi historis dan teologis. Membagi Islam dengan sudut pandang seperti itu, dapat berimplikasi kepada pengaburan kebenaran dalam Islam. Sadar atau tidak hal tersebut dapat berefek negatif terhadap pemahaman umat tentang ajaran agamanya.
ISLAM HISTORIS DAN TEOLOGIS
Mun’im memilah Islam menjadi Islam Historis dan Islam Teologis. Menurutnya Islam sebagai agama teologis ialah keyakinan konvesional tentang keterlibatan Tuhan dalam proses keselamatan umat manusia. Sejarah keterlibatan Tuhan itu tidak harus merujuk pada apa yang sesungguhnya terjadi, tetapi lebih pada apa yang diyakini sebagai kehendak atau rencana Tuhan.
Selanjutnya Mun’im jelaskan bahwa Jika al-Qur’an tidak menyediakan aturan hidup beragama baik yang bersifat vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan) maupun horizontal (hubungan antar-manusia) secara rinci, haditslah yang memberikan tuntunan detail tentang bagaimana menjadi Muslim serta apa artinya sebagai Muslim.
Dari pembagian ini, Mun’im mendikotomi antara Islam sebagai agama wahyu dan Islam sebagai agama budaya. Sebagai wahyu, Islam merupakan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ kepada dunia dan akhirat. Sedangkan Islam Historis merupakan agama Islam sebagai produk sejarah yang dipahami manusia, dipraktikkan kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia, hingga saat ini (Abuddin Nata, Studi Islam Komphrehensif, 490).
Bentuk Islam yang historis ini dapat berimplikasi menumbuhkan pemahaman relativisme dalam Islam. Jika demikian, pemahaman para salaf dan ulama setelahnya adalah relatif. Sehingga tidak bisa dijadikan pegangan.
Padahal, Islam dari sejak masa Rasulullah ﷺ memiliki komponen ushul dan furu’. Yang ushul dalam Islam bersifat tetap. Sementara perkara furu’ berkaitan dengan dalil-dalil yang mengandung perbedaan pendapat dikalangan ulama, dengan perbedaan yang tidak sampai kepada hal-hal prinsip.
Islam yang dipahami dan dipraktikkan manusia bisa saja bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam itu sendiri. Misal, ada orang mengaku Muslim dan menyembah berhala. Seperti ini bukan “Islam Historis” yang tepat berdasar pada prinsip ajaran Islam.
Baca Juga: Tafsir “Kafir” Versi Mun’im Sirry
Di sisi lain, Mun’im memposisikan Islam yang sudah final, sebagai bagian dari sejarah. Jika Islam historis diartikan sebagai Islam yang mewarnai sejarah, itu betul. Tapi Jika dimaknai dengan Islam sebagai agama budaya, hasil kreasi manusia, ini adalah kekeliruan yang fatal.
Sebab, Islam adalah agama wahyu yang sempurna sejak awal. Dari pemahaman seperti inilah lahir statemen bahwa pemikiran dan penafsiran terhadap keagamaan itu relatif ketika diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Di akhir ulasannya tentang Islam historis dan Islam teologis, ia jelaskan, untuk meredam banyaknya kebohongan terhadap Nabi ﷺ, maka dimunculkan hadis melawan kebohongan: “Barangsiapa yang secara sengaja berbohong terhadapku, bersiap-siaplah tempat duduknya dari apa neraka.”
Menarik dicatat ungkapnya, bahwa hadis ini yang paling banyak diriwayatkan. Disebutkan, puluhan bahkan ratusan Sahabat meriwayatkan hadis tersebut, yang menunjukkan begitu gentingnya situasi pemalsuan hadis.
Ungkapan Mun’im ini seakan ingin memberitakan bahwa hadits tersebut muncul karena banyaknya pemalsuan hadits. Padahal pada saat Rasul ﷺ masih hidup, belum didapati adanya pemalsuan hadits.
Dr. Umar Falatah menjelaskan bahwa kitab-kitab sejarah yang sangat perhatian kepada setiap kejadian, tidak pernah mencatat kejadian tertentu yang dapat dijadikan barometer untuk menentukan awal timbulnya pemalsuan hadits. Semua hanya memberikan gambaran secara umum bahwa para sahabat yang berumur panjang, dan pembesar tabi’in, mulai tidak menerima semua hadits yang mereka dengar.” (Umar Bin Hasan Falatah, Al-Wadh’u Fil Hadits, 1/180)
Baca Juga: Islam Menafikan Tindakan yang Membahayakan dan Merugikan
Kalaupun ada keterangan yang menunjukkan awal mula pemalsuan hadits, bisa jadi ungkapan Muhammad bin Sirin yang lebih tepat. Beliau menjelaskan bahwa mulanya para ulama hadits tidak menanyakan tentang sanad. Tetapi tatkala terjadi fitnah, mereka mulai menanyakan tentang perowinya. Bila dilihat yang menyampaikannya adalah seorang Ahlus Sunnah maka haditsnya diterima, tetapi bila yang menyampaikannya ahlul bid’ah maka haditsnya ditolak.” (Muslim Bin Hajjaj An-Naisaburi, Muqaddimah Shahih Muslim, Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi, I/14).
Menimbang persoalan ini saja masih belum tepat, apalagi jika menyoal ajaran Islam itu sendiri. Tentunya akan lebih fatal akibatnya. Wallahu A’lam Bisshowab. []
Oleh: Ilyas Mursito