Hukum Tidak Shalat Jamaah di Masjid Saat Pandemi Corona
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan dunia saat ini mengalami pandemic corona. Virus corona baru (covid-19) 1 menyebar luas dengan sangat cepat ke sebagian besar negara di dunia.
Di Italia, pasien positif corona mengalami peningkatan drastis dalam waktu dua pekan terakhir di bulan Maret 2020. Hal itu akibat para pasien positif corona mengabaikan arahan pemerintah untuk menjalani karantina selama 14 hari. Dampaknya luar biasa, dalam sehari sekitar 800 orang meninggal akibat corona.
Di Indonesia sendiri, pasien dalam pengawasan (PDP) dan pasien positif corona meningkat tajam. Sikap acuh sebagian pasien positif corona berperan dalam proses penyebaran virus tersebut. Tak kurang dari 55 pasien telah meninggal, 6 di antaranya dokter yang merawat, akibat corona.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa mayoritas penderita virus covid-19 tidak menunjukkan gejala apa-apa, dan bisa menularkan kepada orang lain meski tidak ada gejala. Hal itu membuat kita sangat sulit membedakan antara orang yang sakit corona dan orang yang sehat. Tidak aneh apabila orang yang sakit corona merasa dirinya sehat-sehat saja, lalu ia menularkan penyakitnya kepada belasan, puluhan, atau ratusan orang di sekitarnya tanpa ia sadari.
Tempat-tempat bertemunya masyarakat dalam jumlah besar seperti pabrik, kantor, sekolah, pasar, mall, dan masjid menjadi salah satu tempat paling memungkinkan terjadinya penularan virus covid-19.
Menjaga keselamatan jiwa kaum muslimin dan masyarakat secara umum merupakan salah satu tujuan utama syariat Islam. Penutupan secara total atau pengurangan jam kerja pada pabrik, kantor, sekolah, dan mall adalah wewenang pemerintah. Ulama hanya mampu memberi saran terkait kepada pihak pemerintah.
Adapun wewenang ulama adalah memberikan fatwa dan arahan dalam hal-hal yang berada dalam naungan mereka, yaitu masjid dan pondok pesantren. Dari sinilah muncul perbedaan fatwa para ulama tentang penyelenggaraan shalat wajib lima waktu dan shalat Jumat di saat terjadi pandemi corona.
Wajib Shalat Jamaah dan Jumat di Masjid
Sebagian ulama kontemporer berpendapat shalat lima waktu secara berjamaah dan shalat Jumat harus tetap ditegakkan di dalam masjid. Pandemi corona bukan alasan yang syar’i untuk meliburkan masjid dari shalat jamaah dan shalat Jumat. Di antara yang berpendapat demikian adalah Syaikh Ahmad Al-Kuri dari Mauritania dan Syaikh Hakim Al-Muthairi dari Kuwait.
Adapun dasar argumentasi mereka adalah sebagai berikut.
Pertama, saat terjadi rasa takut yang sesungguhnya dalam situasi perang yang berkecamuk sekalipun, shalat wajib lima waktu tetap dilakukan secara berjamaah (lihat QS. An-Nisa’: 102). Maka dalam situasi aman bukan perang, shalat wajib lima waktu dan shalat Jumat lebih layak untuk ditunaikan di masjid secara berjamaah. Ketakutan terhadap penyebaran virus corona hanyalah ketakutan yang belum pasti (khauf mutawahham).
Kedua, pandemi corona timbul karena dosa-dosa manusia (lihat QS. Ar-Rum [30]: 41, Asy-Syura [42]: 30, An-Nisa’ [4]: 79, dan lain-lain). Maka solusinya adalah taubat nashuha dan mengerjakan amal-amal kebajikan, bukan malah meninggalkan shalat berjamaah di masjid.
Ketiga, kaum muslimin beriman kepada qadha dan qadar Allah subhanahu wata’ala. Kaum muslimin berserah diri kepada Allah subhanahu wata’ala semata (lihat QS. Al-Hadid [57]: 22, At-Taghabun [64]: 11, At-Taubah [9]: 51, An-Nisa’ [4]: 78, Ali Imran [3]: 154). Iman kepada takdir dan tawakal kepada Allah subhanahu wata’ala melarang kaum muslimin dari meninggalkan shalat jamaah dan shalat Jumat di masjid, hanya karena alasan takut penyakit.
Keempat, pandemi tha’un telah terjadi di zaman nubuwah dan zaman khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu. Dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim, tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat terjadi pandemi penyakit adalah penduduk negeri yang mengalami pandemi wajib bertahan di dalam negerinya, tidak keluar dari negeri tersebut. Adapun penduduk luar negeri wilayah pandemi dilarang masuk ke negeri yang mengalami pandemi tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Khalifah Umar tidak meliburkan shalat jamaah dan shalat Jumat dari masjid-masjid kaum muslimin.
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّاعُونُ رِجْسٌ أُرْسِلَ عَلَى طَائِفَةٍ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَوْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Penyakit kusta itu kotoran yang dikirim kepada sekelompok Bani Israil atau orang-orang sebelum kalian. Jika kalian mendengar wabah kusta terjadi di sebuah daerah, maka janganlah kalian memasuki daerah tersebut. Adapun jika kalian telah berada di daerah yang mengalami wabah kusta, janganlah kalian keluar dari daerah itu demi menghindarinya.” (HR. Al-Bukhari no.3437 dan Muslim no. 2218)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
Dari Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Jika kalian mendengar wabah kusta terjadi di sebuah daerah, maka janganlah kalian memasuki daerah tersebut. Adapun jika kalian telah berada di daerah yang mengalami wabah kusta, janganlah kalian keluar dari daerah itu demi menghindarinya.” (HR. Al-Bukhari no.5730 dan Muslim no. 2219)
Baca: Shalat Jumat atau shalat Zhuhur?
Kelima, dalam menghadapi sebuah musibah, Allah ‘azza wajalla memberi petunjuk kepada kaum muslimin untuk bersabar dan melaksanakan shalat. (lihat QS. Al-Baqarah [2]: 45 dan 153).
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى.
Dari Hudzaifah bin Yaman, ia berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dihadapkan kepada sebuah urusan yang berat, beliau segera menunaikan shalat.” (HR. Abu Daud no. 1319, Ahmad no. 23299, At-Thabari dan Abu ‘Awanah)
Bukan sebaliknya, malah meninggalkan shalat wajib lima waktu secara berjamaah di masjid dan shalat Jumat.
Keenam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengizinkan seorang sahabat yang buta untuk meninggalkan shalat berjamaah di masjid, padahal sahabat tersebut tidak memiliki pembantu yang menuntunnya ke masjid. Lebih dari itu, di Madinah banyak hewan buas dan binatang berbisa yang berpotensi membahayakan dirinya.
عَنِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْمَدِينَةَ كَثِيرَةُ الْهَوَامِّ وَالسِّبَاعِ. فَقَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَسْمَعُ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ فَحَيَّ هَلاَ
Dari Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Madinah itu banyak binatang berbisa dan binatang buas.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah engkau masih bisa mendengar panggilan hayya ‘alash shalah? Hayya ‘alal falaah? Jika iya, maka sambutlah panggilan tersebut!” (HR. Abu Daud no. 553)
Maka bagaimana mungkin orang yang sehat diperbolehkan tidak melaksanakan shalat wajib lima waktu berjamaah di masjid dan shalat Jumat di masjid, hanya lantaran khawatir terhadap penyakit.
Ketujuh, orang yang melaksanakan shalat Shubuh berjamaah di masjid akan mendapatkan jaminan Allah ‘azza wajalla. Maka cukuplah jaminan Allah ‘azza wajalla sebagai pelindung bagi kaum muslimin dari berbagai macam penyakit dan bencana. Sehingga, shalat wajib lima waktu berjamaah di masjid dan shalat Jumat harus tetap ditunaikan.
عَنْ جُنْدَبَ بْنِ عَبْدِ اللهِ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللهِ
Dari Jundab bin Abdullah Al-Qasri radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa melaksanakan shalat Shubuh (secara berjamaah di masjid), niscaya ia berada di dalam jaminan Allah ‘azza wajalla.” (HR. Muslim no. 657, Ahmad no. 18803, Abu Ya’la, Abu ‘Awanah dan At-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dan Al-Mu’jam Al-Ausath)
عَنْ جُنْدَبِ بْنِ سُفْيَانَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ،
Dari Jundab bin Sufyan Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa melaksanakan shalat Shubuh (secara berjamaah di masjid), niscaya ia berada di dalam jaminan Allah ‘azza wajalla.” (HR. At-Tirmidzi no. 222, Ahmad no. 18814 dan At-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir)
عَنْ سَمُرَّةَ بْنِ جُنْدُبٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَلَّى صَلَاةَ الْغَدَاةِ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللهِ
Dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa melaksanakan shalat Shubuh (secara berjamaah di masjid), niscaya ia berada di dalam jaminan Allah ‘azza wajalla.” (HR. Ibnu Majah no. 3946, Ahmad no. 20113, dan At-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَلَهُ ذِمَّةُ اللهِ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa melaksanakan shalat Shubuh secara berjamaah (di masjid), niscaya ia memiliki jaminan Allah ‘azza wajalla.” (HR. Ahmad no. 5898, Al-Bazzar no. 3342 dan At-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 13211. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: Hadits ini shahih li-ghairih)
Kedelapan, sepanjang sejarah Islam, di setiap kota Islam terdapat setidaknya satu masjid Jami’ tempat kaum muslimin melaksanakan shalat wajib lima waktu secara berjamaah dan shalat Jumat. Sepanjang sejarah Islam telah berulang-kali terjadi pandemi Tha’un dan penyakit lainnya. Namun tidak ada seorang ulama pun yang memfatwakan penutupan masjid karena adanya pandemi tersebut.
Kesembilan, melaksanakan shalat lima waktu berjamaah di masjid dan shalat Jumat di masjid adalah bagian dari hifzhud diin (menjaga agama). Sedangkan menghindari penyebaran virus covid-19 adalah bagian dari hifzhun nafs (menjaga nyawa). Para ulama telah sepakat bahwa menjaga agama harus didahulukan atas menjaga nyawa.
Boleh Shalat Wajib Berjamaah di Rumah
Mayoritas lembaga fatwa dan ulama kontemporer berpendapat boleh melakukan shalat wajib lima waktu berjamaah di rumah, di saat terjadi pandemi corona dan di daerah yang banyak pasien positif corona.
Di antara lembaga fatwa resmi internasional yang berpendapat demikian adalah Dewan Fatwa Al-Azhar Mesir, Dewan Fatwa Ulama Kerajaan Arab Saudi, Dewan Fatwa Kuwait, Dewan Fatwa Uni Emirat Arab dan lain-lain. Dari dalam negeri, di antaranya adalah Fatwa MUI, Fatwa Bahtsul Masail NU, Fatwa Majlis Tarjih Muhammadiyah, dan Fatwa Dewan Hisbah Persis.
Pendapat ini didasarkan kepada sejumlah argumentasi sebagai berikut.
Pertama, larangan orang yang berpenyakit menular mendatangi dan berkumpul dengan orang-orang yang sehat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah sekali-kali unta yang sakit masuk kepada unta yang sehat.” (HR. Bukhari no. 5437 dan Muslim no. 2221)
Hadist ini mengandung perintah kepada orang yang punya penyakit agar tidak bercampur dengan orang yang sehat, sebab hal itu berpotensi menularkan penyakitnya kepada orang yang sehat.
Kedua, larangan menimbulkan bahaya kepada diri sendiri maupun orang lain.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak boleh membuat mudarat untuk diri dan membuat mudarat untuk orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 2341)
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَضَى أَنْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dari Ubadah bin Shamit, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan bahwasanya Tidak boleh membuat mudarat untuk diri dan membuat mudarat untuk orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 2340)
Hadits ini mengandung perintah agar orang yang sehat tidak boleh mendekati orang yang berpenyakit menular. Juga orang yang berpenyakit menular harus mengisolasi diri demi menghindari penularan penyakit kepada saudaranya.
Baca: Merenggangkan Shaf Shalat untuk Menghindari Covid-19
Ketiga, perintah agar tidak mendekat kepada orang yang sedang diuji dengan penyakit menular. Juga perintah untuk menghindari kontak fisik dengan pasien penyakit menular.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنْ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنْ الْأَسَدِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada penyakit yang menular dengan sendirinya (semua penularan terjadi atas kehendak Allah semata). Tidak ada kesialan karena burung tertentu. Tidak ada kesialan karena bulan Shafar semata. Larilah engkau dari orang berpenyakit kusta seperti engkau lari dari singa!” (HR. Ahmad no. 9722, Al-Bukhari no. 5707 dan Al-Baghawi no. 3247)
عَنِ الشَّرِيدِ بْنِ سُوَيْدِ الثَّقَفِي قَالَ: قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مَجْذُومٌ مِنْ ثَقِيفٍ لِيُبَايِعَهُ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: ائْتِهِ فَأَخْبِرْهُ أَنِّي قَدْ بَايَعْتُهُ، فَلْيَرْجِعْ
Dari Syarid bin Suwaid Ats-Tsaqafi, ia berkata, “Seorang laki-laki yang berpenyakit kusta dari Bani Tsaqif datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membai’at beliau. Saya pun mendatangi beliau dan menyebutkan berita itu. Maka beliau bersabda kepadaku, ‘Datangilah orang itu dan sampaikanlah kepadanya bahwa aku telah membai’atnya, maka hendaklah ia pulang!’” (HR. Muslim no. 2231 dan Ahmad no. 19468)
عَنْ عَلِي بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: لَا تُدِيمُوا النَّظَرَ إِلَى الْمُجَذَّمِينَ، وَإِذَا كَلَّمْتُمُوهُمْ، فَلْيَكُنْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ قِيدُ رُمْحٍ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian melihat kea rah orang-orang yang terkena penyakit kusta dalam waktu yang lama! Jika kalian harus berbicara dengan mereka, hendaklah jarak antara kalian dengan mereka kurang lebih satu tombak.” (HR. Ahmad no. 581)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: نَهَانَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُدِيمَ النَّظَرَ إِلَى الْمُجَذَّمِينَ
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami dari memandang kepada orang-orang yang terkena penyakit kusta dalam waktu yang lama.” (HR. Ahmad no. 2721, Ibnu Majah no. 3543, Al-Baihaqi dan At-Thayalisi. Sanadnya dinyatakan hasan oleh Al-Albani dan dinyatakan shahih oleh Ahmad Syakir)
Hadits-hadits ini mengandung perintah agar seorang muslim tidak mendekat kepada orang yang sedang diuji dengan penyakit menular. Keseriusan menjaga diri dari penularan penyakitnya bahkan diumpamakan dengan lari sekencang-kencangnya dari kejaran seekor singa.
Keempat, larangan berkumpul dengan kaum muslimin dalam kondisi bau badan yang tidak enak.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang makan bawang merah atau bawang putih, maka janganlah ia mendekati masjid kami dan hendaklah ia duduk di rumahnya saja.”
Dalam lafal yang lain:
مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ
Barangsiapa memakan bawang putih, bawang merah atau mentimun, maka janganlah sekali-kali ia mendekati masjid kami. Sebab, para malaikat terganggu oleh hal-hal (seperti bau tidak sedap) yang membuat manusia terganggu.” (HR. Muslim no. 564, Ahmad no. 15014, Ibnu Majah no. 3365, Abu Ya’la, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, At-Thabarani, dan Al-Baihaqi)
Jika sekedar bau mulut tidak sedap membuatnya dilarang ke masjid karena akan mengganggu kaum muslimin dan malaikat, maka faktor penyakit menular yang membahayakan lebih utama untuk dilarang. Bau mulut yang tidak sedap hanya menggangu selama beberapa menit saja, tanpa membahayakan keselamatan nyawa orang lain. Adapun penyakit menular yang ganas terbukti dapat menewaskan ratusan jiwa.
Kelima, kebolehan tidak menghadiri shalat berjamaah dan shalat Jumat di masjid saat sakit, terjadi hujan lebat atau khawatir atas keselamatan nyawa atau hartanya.
عِنْدَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لَمَّا مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَأُذِّنَ فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengalami sakit berat di akhir kehidupannya, adzan shalat dikumandangkan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada istri-istrinya ‘Perintahkanlah Abu Bakar As-Shiddiq untuk mengimami shalat masyarakat!” (HR. Al-Bukhari no. 664 dan Muslim no. 418)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ الْحَارِثِ قَالَ خَطَبَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ فِي يَوْمٍ ذِي رَدْغٍ فَأَمَرَ الْمُؤَذِّنَ لَمَّا بَلَغَ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قَالَ قُلْ الصَّلَاةُ فِي الرِّحَالِ فَنَظَرَ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ فَكَأَنَّهُمْ أَنْكَرُوا فَقَالَ كَأَنَّكُمْ أَنْكَرْتُمْ هَذَا إِنَّ هَذَا فَعَلَهُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي يَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهَا عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ
Dari Abdullah bin Harits bahwasanya Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu naik mimbar untuk menyampaikan khutbah Jumat di hadapan kami pada suatu hari yang terjadi hujan lebat. Ibnu Abbas berkata kepada muadzin saat sampai pada lafal hayya ‘ala as-shalah, “Katakanlah Ash-shalaatu fir rihaal” (Shalat ditunaikan di rumah).
Orang-orang pun saling memandang, seakan mereka mengingkari pernyataan Ibnu Abbas tersebut. Maka Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nampaknya kalian mengingkari hal ini. Sesungguhnya hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik daripada diriku, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya shalat Jumat adalah kewajiban yang sangat tegas. Maka aku tidak suka menyusahkan kalian (jika memerintahkan kalian menembus hujan lebat untuk sampai ke masjid).” (HR. Bukhari no. 668)
Dalam lafal lainnya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ: إِذَا قُلْتَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَلَا تَقُلْ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قُلْ: صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ، قَالَ: فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ، فَقَالَ: أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا، قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ
Dari Abdullah bin Harits bahwasanya Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu Ibnu Abbas berkata kepada muadzin pada suatu hari yang terjadi hujan lebat, “Jika engkau telah mengucapkan asyhadu an laa ilaaha ilallahu dan asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, janganlah engkau mengatakan hayya ‘ala as-shalah! Tapi katakanlah “shalluu fi buyutikum” (Hendaklah kalian mengerjakan shalat di rumah kalian).
Nampaknya orang-orang mengingkari pernyataan Ibnu Abbas tersebut. Maka Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Apakah kalian heran atas hal ini? Sesungguhnya hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik daripada diriku, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya shalat Jumat adalah kewajiban yang sangat tegas. Maka aku tidak suka menyusahkan kalian sehingga kalian berjalan di tanah yang berlumpur dan licin.” (HR. Al-Bukhari no. 901 dan Muslim no. 699)
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، أَذَّنَ بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ، فَقَالَ: أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ، ثُمَّ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ ذَاتُ مَطَرٍ، يَقُولُ: أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ.
Dari Nafi’ Maula Ibnu Umar bahwasanya Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu mengumandangkan adzan pada suatu malam yang sangat dingin dan bertiup angin kencang, “alaa shalluu fir rihaal” (Hendaklah kalian shalat di rumah). Lalu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan muadzin jika berada pada suatu malam yang dingin dan hujan, hendaknya ia mengumandangkan “alaa shalluu fir rihaal”. (HR. Muslim no. 697)
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَمُطِرْنَا، فَقَالَ: لِيُصَلِّ مَنْ شَاءَ مِنْكُمْ فِي رَحْلِهِ
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Kami melakukan perjalanan jauh Bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba turun hujan lebat. Maka beliau bersabda, “Barangsiapa di antara kalian ingin shalat di kemahnya, maka dipersilahkan.” (HR. Muslim no. 698)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِىَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ. قَالُوا وَمَا الْعُذْرُ قَالَ خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلاَةُ الَّتِى صَلَّى
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa mendengar panggilan adzan, lalu ia tidak menghadiri shalat berjamaah di masjid tanpa ada udzur, niscaya tiada satu pun shalatnya yang diterima.” Para sahabat bertanya, “Apakah udzur tersebut?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Rasa takut atau hujan.” (HR. Abu Daud no. 551, Ibnu Majah no. 793, dan Ibnu Hibban no. 2064)
Sakit keras ataupun hujan deras yang membuat pakaian basah kuyup, jalanan becek, dan licin menjadi udzur syar’i untuk tidak menghadiri shalat wajib berjamaah di masjid dan shalat Jumat. Maka penyebaran penyakit menular yang terbukti telah memakan korban ratusan jiwa lebih layak untuk menjadi udzur syar’i.
Kajian Pendapat
Argumentasi pendapat pertama dapat didiskusikan sebagai berikut ini,
Pertama, Allah ‘azza wajalla yang mewajibkan shalat wajib lima waktu, Allah ‘azza wajalla juga yang mensyariatkan shalat khauf. Shalat khauf sendiri adalah rukhsah (keringanan) dari Allah ‘azza wajalla bagi kaum muslimin.
Dalam shalat khauf, banyak rukun shalat dan sunah shalat yang boleh ditinggalkan karena adanya potensi ancaman musuh. Dalam shalat khauf saat bertempuran sengit telah berkecamuk, pasukan Islam boleh shalat sambil naik kendaraan, berjalan, berlari, menyerang musuh, menghindari serangan musuh, maju atau mundur dan bermanuver.
Dalam shalat khauf saat bertempuran sengit telah berkecamuk, pasukan Islam terkadang hanya mengucapkan takbiratul ihram Allahu Akbar semata. Sementara semua bacaan shalat dan gerakan shalat lainnya ditinggalkan, karena kesibukan bertempur. Saat itu tidak ada lagi shalat berjamaah, semua prajurit Islam sibuk dengan senjatanya dan bertempur melawan musuh.
Inti dari shalat khauf adalah prajurit Islam tetap mengingat Allah dan beribadah kepada-Nya pada waktu yang telah ditetapkan oleh syariat. Adapun teknis shalatnya bisa berubah-ubah, sesuai kondisi pertempuran. Demikian tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat khauf, sebagaimana disebutkan dalam belasan hadits shahih.
Dalam argumentasinya di atas, kelompok pertama hanya menyitir satu ayat Al-Quran dan sebagian hadits shahih tentang tata cara shalat khauf. Namun mereka melupakan keberadaan belasan hadits shahih lainnya tentang keragaman shalat khauf. Di antaranya shalat kahuf dengan cara semampunya shalat tanpa adanya unsur berjamaah. Wallahu a’lam.
Kedua, memang benar, pandemi corona adalah bagian dari ujian Allah ‘azza wajalla, diakibatkan oleh dosa-dosa umat manusia. Namun melaksanakan shalat wajib lima waktu berjamaah di rumah dan shalat Zhuhur berjamaah di rumah, saat terjadi pandemic corona, bukanlah perbuatan dosa dan maksiat belaka. Keduanya adalah bagian dari amal shalih, karena dilakukan berdasarkan petunjuk dan ketentuan syariat, bukan berdasar hawa nafsu belaka. Itu berarti beralih dari satu ketentuan syariat, kepada ketentuan syariat lainnya, karena ada alasan yang dibenarkan oleh syariat pula. Wallahu a’lam.
Ketiga, memang benar, Allah ‘azza wajalla dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan keimanan kepada takdir. Allah ‘azza wajalla dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mewajibkan tawakal kepada Allah semata. Namun Allah ‘azza wajalla dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pula yang mewajibkan kaum muslimin untuk mengambil sebab-sebab. Allah ‘azza wajalla dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pula yang mewajibkan kaum muslimin untuk bekerja, berobat dan melakukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap penyakit. Hal itu juga ditegaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an dan hadits nabawi.
Melaksanakan shalat lima waktu berjamaah di rumah dan shalat Zhuhur di rumah pada hari Jumat saat terjadi pandemi corona adalah bagian dari menempuh sebab dan ikhtiar. Menempuh sebab dan ikhtiar adalah bagian tak terpisahkan dari iman kepada takdir dan tawakal kepada Allah ‘azza wajalla. Hal ini juga telah ditegaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an dan hadits nabawi.
Keempat, memang benar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi arahan seperti itu terkait keluar-masuk ke negeri yang mengalami pandemic. Arahan tersebut ditujukan saat pandemi penyakit terjadi di sebuah negeri saja. Problemnya adalah pandemi corona saat ini tidak terjadi di sebuah negeri (desa, kecamatan, kota atau negara) saja. Pandemi corona telah menyebar luas ke hampir seluruh negara di dunia. Ia menyebar dengan cepat ke propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa.
Problem berikutnya adalah, orang yang terkena virus covid-19 seringkali tidak merasa gejala yang berarti. Orang yang terkena virus covid-19 seringkali merasa dirinya sehat-sehat saja, lalu ia beraktifitas seperti biasa di tempat-tempat umum, sehingga menularkan penyakitnya kepada belasan, puluhan, ratusan atau bahkan ribuan orang lain.
Dari segi luasnya wilayah yang terkena pandemi corona, situasi saat ini jauh lebih buruk dari pandemi penyakit di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan khalifah Umar bin Khathab. Dari segi gejala penyakit, pandemi corona lebih sulit dideteksi dibanding pandemic kusta di zaman Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu. Dari segi cara dan cepatnya penularan, pandemi corona saat ini juga lebih berat dibandingkan pandemi kusta di era Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu.
Situasi ini menuntut penanganan yang lebih serius dan ketat dibandingkan penanganan pandemi kusta pada zaman itu. Situasi yang berbeda memerlukan ijtihad baru, dan hal itu memungkinkan perubahan fatwa dan hukum syar’i. Semua ulama dari madzhab fikih manapun mengakui kaedah laa yunkaru taghayyuru al-fatwa bi-taghayyuri al-ahwal, perubahan fatwa karena perubahan situasi-kondisi itu tidak boleh diingkari. Wallahu a’lam.
Kelima, memang benar Allah memerintahkan sabar dan shalat saat terjadi musibah. Namun perintah dalam ayat Al-Qur’an tersebut masih bersifat umum.
Ayat tersebut mencakup perintah shalat wajib lima waktu berjamaah di masjid, shalat wajib wajib lima waktu berjamaah di rumah, shalat wajib lima waktu berjamaah di lapangan, shalat wajib lima waktu berjamaah di dalam perjalanan, shalat sunah yang dikerjakan sendirian, shalat sunah yang dikerjakan berjamaah di masjid, shalat sunah yang dikerjakan berjamaah di lapangan, shalat wajib yang dikerjakan sendirian di rumah karena ada udzur.
Ayat tersebut juga mencakup shalat jamak dan qashar, yang dikerjakan sendirian maupun secara berjamaah, karena adanya udzur-udzur syar’i yang memperbolehkannya.
Maka untuk kasus dan kondisi khusus, yang bersifat pengecualian dari kaedah umum, harus dipergunakan dalil-dalil yang bersifat khusus pula. Bukan berdalil dengan dalil umum, untuk dibentur-benturkan dengan dalil-dalil khusus yang membahas situasi-situasi khusus pula.
Melaksanakan shalat wajib lima waktu secara berjamaah di rumah, dan shalat Zhuhur berjamaah di rumah pada hari Jumat, saat terjadi pandemi corona dan di daerah yang telah diberi status KLB (kondisi luar biasa) corona berarti masih mengamalkan perintah Al-Qur’an tersebut. Jika seorang muslim secara totalitas meninggalkan shalat wajib atau shalat sunah, barulah ia bisa disebut melanggar ayat Al-Qur’an tersebut. Wallahu a’lam.
Keenam, hadits yang disebutkan oleh kelompok pertama adalah dalil umum yang berlaku untuk situasi umum, yaitu situasi aman-tentram.
Terdapat hadits-hadits lain yang lebih khusus, yang berlaku untuk situasi yang khusus pula. Di antaranya adalah hadits shahih tentang kebolehan shalat wajib di rumah di saat terjadi hujan deras, meskipun ia adalah seorang yang sehat jasmaninya dan matanya tidak buta. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari generasi sahabat, mengamalkan hadits tersebut.
Maka masing-masing dalil harus ditempatkan dan diamalkan sesuai situasi-kondisinya. Jangan satu hadits shahih dibentur-benturkan dengan hadits shahih lainnya. Dalam hal ini, amaliah generasi sahabat yang meriwayatkan hadits lebih layak untuk didahulukan atas pendapat pribadi kita. Sebab, generasi sahabat hidup di zaman turunnya wahyu Al-Qur’an dan mereka melihat langsung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan contoh pelaksanaan wahyu tersebut. Wallahu a’lam.
Ketujuh, memang benar, hadits-hadits shahih menegaskan bahwa seorang muslim yang melaksanakan shalat Subuh secara berjamaah niscaya akan berada dalam jaminan Allah ‘azza wajalla. Namun, jaminan seperti apa yang dimaksud oleh hadits-hadits tersebut? Apakah jaminan kebal dari segala macam pandemi Tha’un, virus corona, sakit jantung, sakit typhus dan segala macam penyakit lainnya?
Jaminan dalam hadits-hadits tersebut telah dijelaskan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Mari kita lihat teks hadits-hadits tersebut secara lengkap.
Dari Jundab bin Abdullah Al-Qasri radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
«مَنْ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللهِ، فَلَا يَطْلُبَنَّكُمُ اللهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ، فَإِنَّهُ مَنْ يَطْلُبْهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يُدْرِكْهُ، ثُمَّ يَكُبَّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ»
“Barangsiapa melaksanakan shalat Shubuh (secara berjamaah di masjid), niscaya ia berada di dalam jaminan Allah ‘azza wajalla. Maka janganlah sekali-kali Allah menuntut kalian sesuatu pun atas hal yang telah dijamin-Nya. Sebab, barangsiapa dituntut sesuatu oleh Allah dalam perkara yang telah dijamin-Nya, niscaya Allah akan sanggup menangkapnya, lalu Allah akan melemparkannya ke dalam neraka Jahanam.” (HR. Muslim no. 657; HR. Ahmad no. 18803; HR. Abu Ya’la, Abu ‘Awanah dan At-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dan Al-Mu’jam Al-Ausath)
Dari Jundab bin Sufyan Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَنْ جُنْدَبِ بْنِ سُفْيَانَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ، فَلَا تُخْفِرُوا اللَّهَ فِي ذِمَّتِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat Shubuh (secara berjamaah di masjid), niscaya ia berada di dalam jaminan Allah ‘azza wajalla. Maka janganlah kalian mencederai jaminan Allah!” (HR. At-Tirmidzi no. 222, Ahmad no. 18814 dan At-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir)
Dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَنْ سَمُرَّةَ بْنِ جُنْدُبٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَلَّى صَلَاةَ الْغَدَاةِ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللهِ، فَلَا تُخْفِرُوا اللهَ فِي ذِمَّتِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat Shubuh (secara berjamaah di masjid), niscaya ia berada di dalam jaminan Allah ‘azza wajalla. Maka janganlah kalian mencederai jaminan Allah!” (HR. Ibnu Majah no. 3946, Ahmad no. 20113, dan At-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir)
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَلَهُ ذِمَّةُ اللهِ، فَلَا تُخْفِرُوا اللهَ ذِمَّتَهُ، فَإِنَّهُ مَنْ أَخْفَرَ ذِمَّتَهُ طَلَبَهُ اللهُ حَتَّى يُكِبَّهُ عَلَى وَجْهِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat Shubuh secara berjamaah (di masjid), niscaya ia memiliki jaminan Allah ‘azza wajalla. Maka janganlah kalian mencederai jaminan Allah! Sebab, barangsiapa mencederai jaminan Allah, niscaya Allah akan memburunya sampai Allah membenamkan wajahnya (ke dalam neraka Jahanam).” (HR. Ahmad no. 5898, Al-Bazzar no. 3342 dan At-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 13211. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: Hadits ini shahih li-ghairih)
Dalam hadits-hadits tersebut disebutkan lafal laa tukhfirru. Ia berasal dari kata kerja dasar akhfara – yukhfiru – ikhfaar, yang artinya mencederai jaminan keamanan atau perjanjian.
“فلا تخفروا” مِنَ الْإِخْفَارِ، أي: لاَ تَنْقُضُوا. قال السندي: مِنْ أَخْفَرَهُ إِذَا نَقَضَ عَهْدَهُ،
Makna fa laa tukhfirru adalah maka janganlah kalian mencederai (membatalkan secara sepihak).
Makna fi dzimmatillah (dalam jaminan Allah) dalam hadits ini, sebagaimana penjelasan Imam Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al-Mubarakfuri (wafat 1353 H) adalah:
فِي ذِمَّةِ اللهِ أَيْ فِي عَهْدِهِ وَأَمَانِهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. وَهَذَا غَيْرُ الْأَمَانِ الَّذِيْ ثَبَتَ بِكَلِمَةِ التَّوْحِيْدِ
“Berada dalam jaminan keamanan dari Allah, baik di dunia maupun akhirat. Ini berbeda dengan jaminan keamanan yang timbul karena ia mengucapkan kalimat tauhid (dua kalimat syahada).” (Muhammad Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfatu Al-Ahwadzi bi-Syarh Jami’ At-Tirmidzi, Beirut: Darul Fikr, Juz II hlm. 14)
Imam Nuruddin Abul Hasan Muhammad bin Abdul Hadi As-Sindi (wafat 1139 H) dalam Hasyiyah ‘ala Musnad Ahmad menulis makna hadits-hadits tersebut sebagai berikut:
قَوْلُهُ: “فَلَا تُخْفِرُوْا”، أَيْ: فَلَا تَتَعَرَّضُوْا لِذَلِكَ الْمُسْلِمُ بِسُوْءٍ، فَإِنَّ فِيْهِ نَقْضاً لِعَهْدِهِ تَعَالَى.
“Makna fa laa tukhfiruu adalah janganlah kalian mengusik muslim tersebut dengan gangguan apapun, sebab hal itu berarti mencederai jaminan keamanan Allah kepadanya.” (Ahmad bin Hambal, Musnad Al-Imam Ahmad bin Hambal, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 1, 1416 H, Juz X hlm. 138)
Lebih lanjut Imam As-Sindi menulis:
قَوْلُهُ: “فِي ذِمَّةِ اللهِ”، أَيْ: أَمَانَهُ الَّذِي أَعْطَاهُ لِأَهْلِ الْإِيْمَانِ، أَيْ: مَنْ صَلَّى الْفَجْرَ، فَقَدْ ظَهَرَ إِيْمَانُهُ، وَالْمُؤْمِنُ لَهُ أَمَانٌ مِنَ اللهِ تَعَالَى بِأَنَّ دَمَهُ وَمَالَهُ وَعِرْضَهُ حَرَامٌ. فَهُوَ فِي أَمَانِهِ تَعَالَى، فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَتَعَرَّضَ لِأَمَانِهِ تَعَالَى فَيَنْقُضُهُ
“Makna fi dzimmatillah adalah jaminan keamanan dari Allah yang diberikan-Nya kepada orang-orang yang beriman. Maka makna hadits tersebut adalah barangsiapa melaksanakan shalat Shubuh, niscaya keimanannya telah nampak jelas. Sementara seorang mukmin itu memiliki jaminan keamanan dari Allah ‘azza wajalla, yaitu nyawanya, hartanya dan kehormatannya haram untuk diganggu. Ia berada dalam jaminan keamanan dari Allah ‘azza wajalla. Maka tiada seorang pun yang boleh mengusik jaminan keamanan dari Allah dan mencederainya.” (Ahmad bin Hambal, Musnad Al-Imam Ahmad bin Hambal, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 1, 1420 H, Juz XXXIII hlm. 303)
Dari pemaparan di atas menjadi jelas makna hadits-hadits tersebut. Hadits-hadits tersebut menjelaskan bahwa barang siapa melaksanakan shalat Shubuh berjamaah di masjid, niscaya secara lahiriah ia adalah seorang muslim. Seorang muslim itu mendapatkan jaminan keamanan atas nyawa, harta, dan kehormatannya. Barang siapa membunuhnya, atau mencuri hartanya atau merampok hartanya, atau memperbudak dirinya, niscaya ia telah mencederai jaminan keamanan Allah ‘azza wajalla terhadap muslim tersebut. Allah ‘azza wajalla akan memburu pelakunya, menangkapnyaو dan melemparkannya ke dalam neraka Jahanam.
Maka, hadits-hadits shahih tersebut sama sekali tidak menunjukkan bahwa orang yang shalat Shubuh akan kebal dari segala macam penyakit dan wabah. Shahabat Abu Ubaidah bin Jarrah radhiyallahu ‘anhu bersama sekitar 30.000 sahabat dan tabi’in meninggal akibat wabah tha’un Amwas pada zaman kekhilafahan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu. Padahal mereka menunaikan shalat wajib lima waktu secara berjamaah di masjid. Kesimpulannya, hadits-hadits shahih tersebut sama sekali bukan dalil yang menunjukkan pelaku shalat Shubuh berjamaah di masjid itu kebal dari segala macam penyakit dan wabah. Wallahu a’lam.
Kedelapan, pada hari penaklukan kota Makkah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menutup Ka’bah atau Masjidil Haram dari masyarakat umum selama beberapa jam untuk suatu maslahat. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh hadits Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيْتَ هُوَ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ وَبِلَالٌ وَعُثْمَانُ بْنُ طَلْحَةَ فَأَغْلَقُوا عَلَيْهِمْ فَلَمَّا فَتَحُوا كُنْتُ أَوَّلَ مَنْ وَلَجَ فَلَقِيتُ بِلَالًا فَسَأَلْتُهُ هَلْ صَلَّى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ بَيْنَ الْعَمُودَيْنِ الْيَمَانِيَيْنِ.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam Baitullah bersama Usamah bin Zaid, Bilal bin Rabah dan Utsman bin Thalhah. Mereka pun menutup pintunya. Ketika mereka telah membuka kembali pintunya, maka aku adalah orang yang pertama kali masuk. Aku menemui Bilal bin Rabah dan aku menanyainya apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat di dalam Baitullah? Bilal menjawab, ‘Ya, beliau melakukan shalat di antara dua tiang Rukun Yamani.” (HR. Al-Bukhari no. 1598 dan Muslim no. 1329)
Dalam riwayat yang lain ditegaskan penutupan pintu Baitullah dilakukan dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih beberapa jam:
ثُمَّ أَغْلَقُوا عَلَيْهِمْ الْبَابَ فَمَكَثَ نَهَارًا طَوِيلًا ثُمَّ خَرَجَ
“Lalu mereka menutup pintu Baitullah dari masyarakat umum, beliau bertahan di dalamnya dalam waktu siang yang lama, kemudian beliau keluar.” (HR. Al-Bukhari no. 4400)
فَأَجَافُوا عَلَيْهِمِ الْبَابَ طَوِيلًا
“Lalu mereka menutup pintu Baitullah dari masyarakat umum, beliau bertahan di dalamnya dalam waktu yang lama.” (HR. Muslim no. 1329)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menutup Ka’bah dari masyarakat umum selama beberapa jam, karena ada keperluan. Padahal Ka’bah adalah kiblat kaum muslimin, yang pada saat normal selama 24 jam dalam sehari-semalam boleh dikunjungi, dithawafi dan dijadikan kiblat shalat.
Hadits tersebut secara lahiriah hanya menyebutkan penutupan Ka’bah semata. Namun para ulama menyimpulkan dari hadits tersebut dengan cara mafhum muwafaqah, jika Ka’bah saja boleh ditutup untuk suatu keperluan, niscaya masjid-masjid lainnya yang lebih “rendah” kedudukannya dari Ka’bah tentu lebih boleh untuk ditutup, jika ada keperluan yang menuntut hal itu. Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Al-Hajj, beliau memberi judul bab “Penutupan Baitullah dan shalat di dalamnya di arah manapun yang dikehendaki”, lalu beliau membawakan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu tersebut.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan kesimpulan dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu tersebut, pada bab “Penutupan Baitullah dan shalat di dalamnya di arah manapun yang dikehendaki” dengan menulis, “Imam Al-Bukhari ingin menjelaskan bahwa penutupan masjid-masjid dan Ka’bah serta yang semisal dengannya jika untuk sebuah keperluan penting adalah tidak mengapa. Hal itu tidak disebut melarang (menghalang-halangi) masjid-masjid Allah dari disebut di dalamnya nama Allah (dzikir dan ibadah). Sebab, hal itu dilakukan karena sebuah maslahat, atau sebuah kebutuhan penting, atau sebuah kondisi dharurat, kadang-kadang, sehingga tidak mengapa.” (Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarh Shahih Al-Bukhari, Kairo: Al-Maktabah Al-Islamiyah, cet. 1, 1428 H, Juz V hlm. 308)
Baca: Memakai Hand Sanitizer Sebelum Shalat, Shalatnya Sah?
Menurut para ulama, Ka’bah dianggap sebagai sebuah masjid tersendiri. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menulis:
وَيُسْتَفَاد مِنْهُ أَنَّ قَوْل الْعُلَمَاء تَحِيَّة الْمَسْجِد الْحَرَام الطَّوَاف مَخْصُوص بِغَيْرِ دَاخِل الْكَعْبَة لِكَوْنِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَ فَأَنَاخَ عِنْد الْبَيْت فَدَخَلَهُ فَصَلَّى فِيهِ رَكْعَتَيْنِ فَكَانَتْ تِلْكَ الصَّلَاة إِمَّا لِكَوْنِ الْكَعْبَة كَالْمَسْجِدِ الْمُسْتَقِلّ أَوْ هُوَ تَحِيَّة الْمَسْجِد الْعَامّ
“Dari hadits ini disimpulkan, pernyataan para ulama bahwa wujud shalat Tahiyatul Masjid untuk Masjidil Haram adalah thawaf, itu berlaku khusus untuk selain ruangan dalam Ka’bah. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke dalam Masjidil Haram, lalu beliau memarkir untanya pada Baitullah. Lalu beliau masuk ke dalam Ka’bah, kemudian beliau melakukan shalat dua rakaat. Shalat tersebut, mungkin disebabkan Ka’bah itu bagaikan satu masjid tersendiri, atau mungkin juga shalat tersebut sebagaimana umumnya shalat Tahiyatul Masjid.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi-Syarhi Shahih Al-Bukhari, Riyadh: Dar Thaibah, cet. 1, 1426 H, Juz IV hlm. 526)
Dalam hadits shahih di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menutup pintu Ka’bah (Masjidil Haram) dari masyarakat umum, karena sebuah kebutuhan atau masalahat. Apakah kebutuhan atau maslahat tersebut? Para ulama hadits menyebutkan beberapa kemungkinan:
- Membersihkan bagian dalam Ka’bah dari patung-patung dan lukisan-lukisan yang menggambarkan kesyirikan.
- Melakukan shalat sunnah dua rakaat. Sebagian ulama menyatakan hal itu adalah shalat tahiyatul masjid, sebab Ka’bah itu kedudukannya sama dengan sebuah masjid.
- Meraih keutamaan masuk ke dalam Ka’bah dan shalat sunah di dalamnya. Imam An-Nawawi memberi judul untuk hadits tersebut dalam Shahih Muslim, Kitab al-hajj, bab “disunahkan bagi jamaah haji dan lainnya untuk masuk ke dalam Ka’bah dan shalat di dalamnya, serta berdoa di arah kiblat bagian manapun”. Hal itu juga berdasar hadits dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ دَخَلَ الْبَيْت دَخَلَ فِي حَسَنَة وَخَرَجَ مَغْفُورًا لَهُ
“Barangsiapa memasuki Ka’bah, niscaya ia memasuki kebaikan dan ia akan keluar darinya dalam keadaan dosa-dosanya telah diampuni.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Baihaqi dengan sanad lemah)
- Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi menulis, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menutup Ka’bah atas mereka supaya hati beliau shallallahu ‘alaihi wasallam lebih tenang dan kekhusyukan beliau lebih sempurna; supaya masyarakat umum tidak berkumpul, masuk dan berdesak-desakan; yang mengakibatkan mereka mendapatkan bahaya dan sekaligus mengganggu konsentrasi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam akibat kegaduhan suara mereka. (An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj, Beirut: Darul Ma’rifah, cet. 19, 1433 H, Juz V hlm. 89)
Hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim, beserta penjelasan para ulama hadits seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani, An-Nawawi dan Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, telah menegaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menutup Ka’bah dari masyarakat umum, untuk sebuah kemaslahatan atau kebutuhan. Imam Al-Bukhari, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan lainnya menyatakan Ka’bah itu laksana sebuah masjid tersendiri.
Hadits shahih menunjukkan Ka’bah, sebagai induk segala masjid di muka bumi dan kiblat bagi seluruh umat Islam, boleh ditutup untuk sebuah kemaslahatan atau keperluan. Maka penutupan masjid-masjid lainnya demi sebuah keadaan dharurat tentu lebih boleh lagi. Wallahu a’lam.
Sebagian ulama mengingkari adanya penutupan masjid karena maslahat atau kondisi darurat dengan dalih tidak ada dalil syar’i yang membenarkannya. Lalu sebagian ulama lainnya menetapkan adanya penutupan masjid karena maslahat atau kondisi darurat, berdasar dalil syar’i yang shahih sanadnya, jelas penunjukan maknanya, hukumnya masih berlaku belum mansukh, dan tidak ada dalil syar’i yang shahih yang menentangnya.
Maka dalam kondisi tersebut, pendapat yang menetapkan (al-mutsbit) dimenangkan atas pendapat yang mengingkari (an-naafi), karena kelompok yang menetapkan memiliki tambahan ilmu yang tidak diketahui oleh kelompok yang mengingkari. Demikian kaedah tarjih yang disepakati oleh semua ulama ushul fiqih.
Hal itu sebagaimana mereka memenangkan riwayat Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dua rakaat di dalam Ka’bah, atas riwayat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang mengingkari berita Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dua rakaat di dalam Ka’bah. Hal itu karena posisi Usamah jauh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, terhalangi oleh pintu, dan Usamah sibuk berdoa di arah Ka’bah yang lain. Sementara Bilal berada di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mendampingi beliau dan melihat langsung beliau shalat di dalam Ka’bah. (An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj, Juz V hlm. 88)
Syaikh Khalid bin Ali Al-Musyaiqih berkata, “Sebagian ulama menyatakan bahwa berbagai wabah juga telah terjadi di zaman sahabat, namun saat itu mereka tidak meliburkan shalat berjamaa’h di masjid. Pernyataan ini perlu dikaji ulang. Sebab, semacam wabah (corona) ini pada saat ini dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan kecanggihan medis bisa dipastikan atau diduga kuat bahaya wabah ini. Hal itu berbeda kondisinya dengan manusia pada zaman dahulu, dimana mereka belum memiliki sarana untuk memastikan atau menduga kuat perihal penyebaran semacam wabah ini dan besaran bahayanya, seperti kondisi saat ini.”
“Allah ‘azza wajalla mengembalikan keputusan dalam perkara seperti itu kepada orang-orang yang memiliki khibrah (para pakar yang ahli di bidangnya). Allah ‘azza wajalla berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan, ketika kalian sedang ihram. Barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian.” (QS. Al-Maidah [5]: 95)
Para ulama fikih juga kembali kepada para pakar di bidangnya, baik dalam hal yang berkenaan dengan ibadah, mu’amalah, pernikahan maupun jinayah. Para pakar di bidangnya pada zaman sekarang dapat memastikan atau menduga kuat bahaya wabah semisal ini. Pengalaman-pengalaman juga telah membuktikannya. Sedangkan fatwa itu bisa berbeda-beda sesuai perbedaan tempat, waktu, dan perilaku kebiasaan manusia. Saat ini, pengalaman-pengalaman telah membuktikan dan kecanggihan dunia medis hampir-hampir bisa memastikan penyebaran penyakit menular ini. Berbeda halnya dengan zaman dahulu.
Demikian pula, melakukan antisipasi dari bahaya penularan wabah ini merupakan bagian dari wasail (sarana). Sementara perkara wasail itu bukan perkara tauqifi (perkara baku yang telah ditetapkan jenis dan kadarnya oleh Allah ‘azza wajalla), dikarenakan ia bukanlah perkara ritual ibadah semata, sampai dikatakan “harus ada dalil nashnya lebih dahulu”. Jika demikian halnya, maka penyakit-penyakit menular ganas seperti ini bisa dihindari dengan cara melaksanakan shalat di rumah.” (Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, Al-Ahkam Al-Fiqhiyah Al-Muta’alliqah bi-Waba’ Corona, said,net, hlm. 13-14)
Kesembilan, semua ulama sepakat bahwa syariat Islam mengakui tiga jenis maslahat berdasar tingkat kekuatannya dan kebutuhan umat manusia terhadapnya. Maslahat yang paling tinggi adalah maslahat dharuriyah. Maslahat yang lebih rendah darinya adalah maslahat hajiyah. Dan maslahat yang paling rendah adalah maslahat tahsiniyah. Maslahat hajiyah dan maslahat tahsiyah merupakan mukammilah (pelengkap dan penyempurna) bagi maslahat dharuriyah.
Dalam masing-masing tingkatan maslahat tersebut, terdapat unsur menjaga agama (hifzhu diin), menjaga nyawa (hifzhu nafs), menjaga akal (hifzhu ‘aql), menjaga harta (hifzhu maal) dan menjaga keturunan-kehormatan (hifzhu nasl wa ‘irdh).
Melaksanakan shalat wajib lima waktu adalah bagian dari menjaga agama (hifzhu diin) pada tingkatan maslahat yang paling tinggi, yaitu maslahat dharuriyah. Adapun tata cara pelaksanaannya dengan berjamaah di masjid adalah bagian dari maslahat hajiyah, bukan maslahat dharuriyah. (Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat, Al-Khabar: Dar Ibni Affan, cet. 1, 1417 H, Juz II hlm. 24-25)
Sementara menjaga agar manusia tidak tidak terkena virus covid-19 adalah bagian dari menjaga nyawa (hifzhu nafs) pada tingkatan maslahat yang paling tinggi, yaitu maslahat dharuriyah.
Sesuatu yang berada pada tingkatan maslahat dharuriyah itu lebih tinggi kedudukannya dari sesuatu yang berada pada tingkatan maslahat hajiyah. Dalam hal ini, melaksanakan shalat wajib lima waktu secara berjamaah di rumah, saat terjadi pandemi corona, berarti meraih dua maslahat sekaligus dalam tingkatan maslahat dharuriyah, yaitu hifzhu diin (melaksanakan pokok shalat wajib lima waktu) dan hifzhu nafs (terjaganya keselamatan nyawa).
Sementara memaksakan diri shalat wajib lima waktu secara berjamaah di masjid, saat terjadi pandemi corona, berarti mengejar maslahat hajiyah dengan menelantarkan hifzhu nafs dalam tingkatan maslahat dharuriyah. Itu berarti mengejar maslahat hajiyah (yaitu berjamaah di masjid) dengan melepaskan maslahat dharuriyah (yaitu menjaga keselamatan nyawa).
Padahal para ulama telah sepakat bahwa hal yang bersifat mukammilah (yaitu maslahat hajiyah dan maslahat tahsiniyah) hanya dapat diterima dan dipertimbangkan apabila memenuhi sebuah syarat. Syarat tersebut adalah ketika upaya meraih mukammilah (perkara pelengkap) tidak menyebabkan lepas atau lenyapnya al-ashl (perkara pokok). Sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi:
كُلُّ تَكْمِلَةٍ فَلَهَا -مِنْ حَيْثُ هِيَ تَكْمِلَةً- شَرْطٌ، وَهُوَ: أَنْ لَا يَعُوْدَ اِعْتِبَارُهَا عَلَى الْأَصْلِ بِالْإِبْطَالِ، وَذَلِكَ أَنَّ كُلَّ تَكْمِلَةٍ يُفْضِي اِعْتِبَارُهَا إِلَى رَفْضِ أَصْلِهَا، فَلَا يَصِحُّ اِشْتِرَاطُهَا عِنْدَ ذَلِكَ
“Setiap pelengkap, berdasar kedudukannya sebagai pelengkap, memiliki syarat, yaitu penerimaan terhadap pelengkap tersebut tidak mengakibatkan lenyapnya perkara pokok (yang dilengkapi olehnya). Sebab, setiap pelengkap yang jika diterima mengakibatkan penolakan terhadap perkara pokok, niscaya pelengkap tersebut pada saat itu tidak memenuhi syarat.” (Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat, Juz II hlm. 26)
Kesimpulan
Dari kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat pertama didasarkan kepada dalil-dalil umum, yang berbicara tentang situasi-kondisi umum. Dalil-dalil umum tersebut belum menjelaskan situasi-situasi khusus dan kasus-kasus pengecualian dari situasi-kondisi umum.
Adapun pendapat kedua memaparkan dalil-dalil khusus, yang menjelaskan situasi-kondisi khusus dan kasus-kasus pengecualian. Dengan demikian, pendapat kedua adalah pendapat yang lebih kuat, disebabkan oleh beberapa alasan.
Pertama, dalil-dalil syar’i yang menjadi landasannya adalah dalil-dalil khusus yang membahas hukum dalam situasi-kondisi khusus dan kasus-kasus perkecualian. Dalil-dalil tersebut mengkhususkan keumuman dalil-dalil pendapat pertama.
Kedua, pendapat kedua mengkompromikan upaya meraih dua maslahat dharuriyah sekaligus, yaitu hifzhu diin dan hifzhu nafs. Sementara pendapat pertama mengkompromikan satu maslahat dharuriyah yaitu hifzhu diin dan satu maslahat hajiyah. Sayangnya, pendapat pertama berpotensi besar meraih maslahat hajiyah (cara shalat secara berjamaah) dengan menyebabkan lepasnya maslahat dharuriyah (keselamatan nyawa).
Ketiga, pendapat kedua lebih bersifat hati-hati (ihtiyath) dalam hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan nyawa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetujui sikap para sahabat yang lebih berhati-hati dalam urusan keselamatan nyawa. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menegur keras sikap sebagian sahabat yang “kurang berhati-hati” dalam urusan keselamatan nyawa.
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ قَالَ: لَمَّا بَعَثَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ ذَاتِ السَّلَاسِلِ، قَالَ: فَاحْتَلَمْتُ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيدَةِ الْبَرْدِ، فَأَشْفَقْتُ إِنْ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلَكَ، فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي صَلَاةَ الصُّبْحِ، قَالَ: فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: ” يَا عَمْرُو، صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ؟ ” قَالَ: قُلْتُ: نَعَمْ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي احْتَلَمْتُ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيدَةِ الْبَرْدِ، فَأَشْفَقْتُ إِنْ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلَكَ، وَذَكَرْتُ قَوْلَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ {وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا} [النساء: 29] فَتَيَمَّمْتُ، ثُمَّ صَلَّيْتُ. فَضَحِكَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا
Dari Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia menceritakan peristiwa saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya sebagai komandan pasukan dalam perang Dzat Salasil. Ia berkata, “Saya mengalami mimpi basah pada suatu malam yang sangat dingin. Saya khawatir akan mati apabila saya mandi wajib. Maka saya bertayamum, lalu mengimami pasukanku shalat Shubuh. Ketika kami sampai di Madinah dan kami menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, saya menceritakan peristiwa itu kepada beliau.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Wahai Amru, apakah engkau mengimami shalat pasukanmu, padahal engkau sedang junub (tanpa mandi wajib lebih dahulu)?”
Saya menjawab, “Benar, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saya mengalami mimpi basah pada suatu malam yang sangat dingin. Saya khawatir akan mati apabila saya mandi wajib. Saya teringat firman Allah ‘azza wajalla ‘Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian’. (QS. An-Nisa’ [4]: 29) Maka saya bertayamum, lalu saya mengimami pasukanku shalat Shubuh.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa atas jawabanku tersebut, dan beliau tidak berkomentar apapun lagi.” (HR. Ahmad no. 17812, Abu Daud no. 334, Ad-Daraquthni, dan Al-Hakim)
Peristiwa perang Dzatu Salasil sendiri terjadi pada bulan Jumadil Ula 8 H menurut Ibnu Sa’ad dalam At-Thabaqat Al-Kubra, atau bulan Jumadi Tsaniyah tahun 8 H menurut Mulla Ali Al-Qari Al-Hanafi. Tahun 8 H sudah terhitung tahun-tahun akhir peperangan kaum muslimin, sebelum perang Khaibar, Fathu Makkah, dan Hunain di penghujung tahun 8 H; serta perang Mu’tah pada tahun 10 H.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:
لَمْ يَلُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَمْرًا فَكَانَ ذَلِكَ تَقْرِيرًا دَالًّا عَلَى الْجَوَازِ. وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ جَوَازُ التَّيَمُّمِ لِمَنْ يَتَوَقَّعُ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ الْهَلَاكَ سَوَاءٌ كَانَ لِأَجْلِ بَرْدٍ أَوْ غَيْرِهِ وَجَوَازُ صَلَاةِ الْمُتَيَمِّمِ بِالْمُتَوَضِّئِينَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mencela Amru bin Ash. Hal itu merupakan taqrir (persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) yang menunjukkan kebolehan. Hadits ini menunjukkan kebolehan tayamum bagi orang yang diperkirakan akan binasa (mati atau terluka parah) apabila ia mempergunakan air, baik karena cuaca yang dingin atau alasan lainnya. Hadits ini juga menunjukkan orang yang bertayammum boleh mengimami shalat orang-orang yang berwudhu.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi-Syarh Shahih Al-Bukhari, Juz II hlm. 43)
Di sisi lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegur keras sikap sebagian sahabat yang “kurang berhati-hati” dalam urusan keselamatan nyawa.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِى سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِى رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِى رُخْصَةً فِى التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلاَّ سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَ أَوْ يَعْصِبَ. شَكَّ مُوسَى عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami melakukan suatu perjalanan jauh, lalu ada seorang di antara kami yang terkena batu sehingga mengalami luka berat di bagian kepala. (Pada malam harinya) ia mengalami mimpi basah. Maka ia pun bertanya kepada kawan-kawannnya, “Apakah kalian mendapati rukhsah bagi diriku untuk bertayamum?”
Mereka menjawab, “Kami tidak mendapatkan rukhshah bagi diirmu. Sebab engkau mampu mempergunakan air.”
Maka laki-laki itu pun mandi. Akibatnya ia mati karenanya. Ketika kami sampai di Madinah, berita tentang peristiwa itu disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah membunuh mereka. Kenapa mereka tidak bertanya apabila mereka tidak mengetahui? Sesungguhnya obat dari ketidak tahuan adalah bertanya. Sebenarnya cukup bagi orang itu untuk bertayamum dan membalut lukanya, lalu ia mengusap pembalut itu dan mengguyur anggota tubuh lainnya.” (HR. Abu Daud no. 336, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi dan Al-Baghawi. Hadits serupa diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dari Ibnu Abbas)
Imam Ali bin Sulthan Muhammad Al-Qari Al-Hanafi (wafat tahun 1014 H) menjelaskan hadits tersebut sebagai berikut,
(قَتَلُوْهُ) أُسْنِدَ الْقَتْلُ إِلَيْهِمْ لِأَنَّهُمْ تُسَبِّبُوْا لَهُ بِتَكْلِيْفِهِمْ لَهُ بِاسْتِعْمَالِ الْمَاءِ مَعَ وُجُوْدِ الْجَرْحِ فِي رَأْسِهِ لِيَكُوْنَ أَدَلُّ عَلَى الْإِنْكَارِ عَلَيْهِمْ (قَتَلَهُمُ اللهُ) إِنَّمَا قَالَهُ زَجْرًا وَتَهْدِيْدًا
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “mereka telah membunuhnya”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menisbahkan pembunuhan kepada mereka, karena mereka menjadi sebab kematian sahabat tersebut, dimana mereka mewajibkan sahabat tersebut mandi padahal ia mengalami luka berat di bagian kepala. Hal itu disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar lebih menunjukkan pengingkaran beliau kepada mereka.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “semoga Allah membunuh mereka”. Hal ini disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai sebuah teguran keras dan ancaman. (Muhammad Syamsul Haq Al-Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Madinah: Al-Maktabah As-Salafiyah, cet. 2, 1388 H, Juz I hlm. 533 dan Khalil bin Ahmad As-Saharanfuri, Badzlul Majhud fi Syarhi Sunan Abi Daud, Beirut: Darul Basyair Al-Islamiyah, Juz II hlm. 534)
Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad Al-Khathabi (wafat tahun 388 H) menulis:
فِي هَذَا الْحَدِيْثِ مِنَ الْعِلْمِ أَنَّهُ عَابَهُمْ بِالْفَتْوَى بِغَيْرِ عِلْمٍ وَأَلْحَقَ بِهِمْ الوَعِيْدُ بِأَنْ دَعَا عَلَيْهِمْ وَجَعَلَهُمْ فِي الْإِثْمِ قِتْلَةً لَهُ
“Di antara ilmu yang bisa disimpulkan dari hadits ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencela mereka karena mereka memberi fatwa tanpa landasan ilmu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan ancaman kepada mereka dimana beliau mendoakan keburukan untuk mereka dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menimpakan atas mereka dosa pembunuhan terhadap sahabat tersebut.” (Hamd bin Muhammad Al-Khathabi, Ma’alim As-Sunan Syarh Sunan Abi Daud, Aleppo: Mathba’ah Ilmiyah, cet. 1, 1351 H, Juz I hlm. 104, dan Muhammad Syamsul Haq Al-Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Juz I hlm. 534)
Teknis Pelaksanaan Fatwa
Para ulama yang memfatwakan kebolehan shalat wajib berjamaah di rumah dalam rangka antisipasi penyebaran virus covid-19 yang semakin ganas juga memberikan petunjuk teknis pelaksanaan fatwa tersebut.
Dewan Fatwa Al-Azhar Mesir menghimbau kaum muslimin untuk:
- Meneguhkan keimanan kepada Allah, tetap tawakkal kepada Allah dan memperbanyak dzikir, istighfar, taubat nashuha, shalat sunnah, shadaqah, dan shaum sunnah.
- Tetap tinggal di rumah dan tidak keluar kecuali jika ada keperluan yang sangat penting.
- Masjid dan mushala tetap mengumandangkan adzan untuk lima waktu shalat wajib.
Lebih dari itu, Dewan Fatwa Ulama Arab Saudi mempraktekkan tidak mengapa imam masjid dan muadzin serta beberapa petugas kebersihan masjid menyelenggarakan shalat wajib berjamaah di masjid. Hal itu sebagai bentuk kehati-hatian, sebagaimana mazhab Syafi’i yang menyatakan hukum shalat berjamaah di masjid adalah fardhu kifayah. Tentunya hal itu dikerjakan dengan tetap mengikuti prosedur keselamatan dan keamanan medis.
Sementara itu Fatwa MUI No. 14 tahun 2020 M menjelaskan teknis pelaksanaan fatwa tersebut sebagai berikut:
- Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang diyakini dapat menyebabkan terpapar penyakit sebagai bagian dari menjaga tujuan pokok beragama.
- Orang yang telah terpapar virus corona wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya salat Jumat dapat diganti dengan salat Zhuhur di rumah masing-masing, karena salat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadi penularan virus secara massal. Baginya haram melakukan aktivitas ibadah sunah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti salat rawatib, salat tarawih, dan salat ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.
- Bagi orang yang sehat dan orang yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar virus corona harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
- Jika dia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi, berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka dia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantinya dengan salat Zhuhur di kediaman masing-masing. Serta meninggalkan jamaah salat rawatib, tarawih, dan salat ied di masjid atau tempat umum lainnya.
- Jika dia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka dia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus corona. Seperti tidak kontak fisik langsung seperti bersalaman, berpelukan, dan cium tangan, lalu membawa sajadah sendiri serta sering membasuh tangan dengan sabun.
- Dalam kondisi penyebaran virus corona tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat muslim tidak boleh menyelenggarakan salat Jumat di kawasan tersebut sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan salat Zhuhur di tempat masing-masing.
Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran virus corona, seperti jamaah salat rawatib, salat tarawih dan salat ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
- Dalam kondisi penyebaran virus corona terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan salat Jumat.
Wallahu a’lam bish-shawab
Penulis: Abu Ammar
Editor: Sodiq Fajar
REFERENSI:
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi-Syarhi Shahih Al-Bukhari, Riyadh: Dar Thaibah, cet. 1, 1426 H.
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarh Shahih Al-Bukhari, Kairo: Al-Maktabah Al-Islamiyah, cet. 1, 1428 H.
Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj, Beirut: Darul Ma’rifah, cet. 19, 1433 H.
Muhammad Syamsul Haq Al-Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Madinah: Al-Maktabah As-Salafiyah, cet. 2, 1388 H.
Hamd bin Muhammad Al-Khathabi, Ma’alim As-Sunan Syarh Sunan Abi Daud, Aleppo: Mathba’ah Ilmiyah, cet. 1, 1351 H.
Khalil bin Ahmad As-Saharanfuri, Badzlu Al-Majhud fi Halli Sunan Abi Daud, Beirut: Darul Basyair Al-Islamiyah, cet. 1, 1427 H.
Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al-Mubarakfuri, Tuhfatu Al-Ahwadzi bi-Syarh Jami’ At-Tirmidzi, Beirut: Darul Fikr, t.t.
Ahmad bin Hambal, Musnad Al-Imam Ahmad bin Hambal, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 1, 1420 H.
Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat, Al-Khabar: Dar Ibni Affan, cet. 1, 1417 H.
Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, Al-Ahkam Al-Fiqhiyah Al-Muta’alliqah bi-Waba’ Corona, diambil dari said.net.