Hukum Onani Saat PSBB atau Lockdown
Sebagian muslim yang harus terpisah dari keluarganya saat berada di wilayah yang sedang menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar)/Lockdown atau sedang dalam tugas sehingga berbulan-bulan tidak memungkinkan pulang menemui keluarganya, mendapati kesulitan dalam memenuhi salah satu kebutuhannya. Kebutuhan seksual. Dua kemungkinan akan dilakukan untuk memenuhi hasrat seksualnya. Berzina atau melakukan onani atau masturbasi.
Para ulama sepakat, berzina hukumnya haram. Tidak ada rukhshah atau keringanan untuk melakukannya. Bahkan jika seseorang diancam mati jika tidak mau berzina, dia harus memilih mati.
Adapun onani, menurut kebanyakan ulama juga haram. Hanya, haramnya tidak seberat haramnya berzina. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun istimna’ (onani), pada asalnya adalah haram menurut jumhur ulama. Pelakunya harus dikenai sanksi takzir. Onani berbeda dengan zina.” (Majmu’ al-Fatawa, 34/229)
Saat seseorang berada dalam situasi darurat seperti harus menjalani PSBB/Lockdown atau menjalankan tugas sementara ia terpisah dari keluarganya, padahal syahwat seksualnya tengah memuncak dan ia khawatir kepada perzinaan, banyak ulama yang membolehkan untuk melakukan onani atau masturbasi.
Baca: Zina Penyebab Derita Dunia
Dalam kasus yang mirip, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat dan tabi’in bahwa mereka meyakini adanya rukhshah dalam kondisi darurat. Seperti seseorang yang khawatir terjatuh pada perzinaan dan ia tidak bisa terbebas kecuali dengan melakukan istimna’ (onani/masturbasi). Demikian pula halnya dalam kasus bila tidak melakukannya ia akan jatuh sakit. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan yang lain. Adapun ketika tidak ada darurat, maka aku tidak mengetahui seorang pun yang menganggap ada rukhshah di dalamnya. Wallahu a’lam.” (Majmu’ al-Fatawa Syaikh Ibnu Taimiyah, 34/230)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin berkata, “Kebutuhan ada dua macam: pertama, hajat diiniyyah; kedua, hajat badaniyyah. Adapun hajat diniyyah, adalah ketika seseorang mengkhawatirkan dirinya terjatuh pada perzinaan, seperti ketika ia berada di negeri yang memfasilitasi perzinaan dengan mudah. Dalam kondisi demikian sementara syahwat memuncak, kemungkinan ia akan meredam syahwatnya dengan melakukan istimna’ atau pergi ke tempat pelacuran dan terjatuh pada perzinaan. Maka kami katakan kepadanya, ‘Ini adalah kebutuhan syar’i; karena kaidah yang ditetapkan oleh syariat adalah wajib bagi seseorang untuk mencegah mafsadat yang lebih besar dengan melakukan yang lebih kecil. Di sinilah peran akal; ketika seseorang harus mendatangi syahwatnya, memilih yang ini atau yang itu, maka pada kondisi demikian kami katakan, diperbolehkan baginya mengerjakan hal ini (onani/masturbasi) karena kondisi darurat.’” (Asy-Syarhul Mumti’, 14/318-319)
Baca: Zina Dilarang, Penyebabnya Juga Dilarang
Rambu-rambu Kondisi Dinyatakan Darurat
Rambu-rambu kondisi dianggap darurat sehingga melakukan seseorang boleh melakukan istimna’ karena khawatir terjatuh pada perzinaan adalah sebagai berikut:
Pertama, hendaknya kekhawatiran itu benar-benar nyata, dimana seseorang telah yakin atau menduga kuat. Karena hukum dibangun atas dasar keyakinan dan praduga kuat (ghalabatuzh zhan); seperti daerahnya merupakan daerah yang mudah sekali untuk berbuat zina, sedangkan syahwatnya memuncak sampai taraf ia tidak bisa lagi mengendalikan dirinya.
Hal tersebut tidak semata muncul keinginan untuk berzina, atau kecondongan hati kepadanya. Terkadang seseorang muncul keinginan untuk berzina, akan tetapi ia tahu bahwa nafsunya tidak akan menjerumuskannya; baik karena takut akibat setelahnya, atau rasa malu yang mencegahnya, atau tidak adanya kemampuan untuk melakukannya karena ia berada dalam lingkungan muslim yang sangat terjaga dari perbuatan keji ini.
Baca: Haramnya Zina Sebanding Efek Kerusakannya
Kedua, tidak mampu/lemah melakukan hal yang mubah untuk menghilangkan keadaan darurat ini. Terkadang seseorang ingin berbuat berzina disebabkan melakukan perbuatan yang mendorong untuk berbuat zina seperti melihat hal-hal yang diharamkan atau bergaul dengan wanita asing (bukan mahram) dan yang semisalnya. Maka, perkara yang semacam ini ia harus mencegah dari perbuatan yang menjadi sebab perzinaan, dan tidak terjerumus ke dalam istimna’. Wallahu a’lam. (Redaksi hujjah.net)