Di negeri ini kenaikan angka perceraian mencapai 16 sampai 20 persen berdasarkan data yang didapat sejak tahun 2009 hingga 2016. Tentunya banyak hal yang mendorong akan terjadinya perceraian. Meskipun perceraian itu dibolehkan dalam Islam, bukan berarti seseorang boleh menganggap remeh dan menggampangkan urusan cerai.
Sesungguhnya urusan cerai adalah persoalan yang sangat besar di mata syari’at, penuh dengan tata-cara dan aturan di dalamnya, bahkan ada perceraian yang dianggap tidak syar’i, di sisi lain Islam memberi jalan untuk ruju’; kembali memperbaiki ikatan pernikahan suci itu.
Salah satu aturan dalam perceraian adalah seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya yang sedang haidh. Berdasarkan firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحۡصُواْ ٱلۡعِدَّةَۖ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah…” (QS. Ath-Thalaq: 1).
Di dalam Tafsir al-Muyassar di jelaskan, “Pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar),” maksudnya adalah ketika dalam keadaan suci dan belum dijimaki atau ketika sudah pasti kehamilannya. Sedangkan, “Hitunglah waktu iddah,” adalah perintah untuk menghitung berapa lama iddahnya, agar seorang suami tahu sampai kapan ia masih bisa ruju’ kepada istrinya; jika itu adalah perceraian pertama atau kedua. (Dr. Aidh al-Qarni, Tafsir al-Muyassar, hal. 588).
Terkait ayat di atas Ibnu Abbas h berkata, “Ada empat macam talak, dua di antaranya halal dan dua lainnya haram. Adapun talak yang dihalalkan adalah seseorang mentalak istrinya yang sedang dalam keadaan suci dan belum dijimaki, yang kedua adalah talak kepada istri yang sudah jelas kehamilannya. Adapun talak yang diharamkan adalah seseorang mentalak istrinya yang sedang haid atau mentalak istrinya yang suci dari haid yang telah dijimakinya, tidak diketahui apakah di dalam rahim ada janin atau tidak.” (Imam AlBaihaqi, Sunan al-Kubra, hadits no. 14916)
Dikisahkan bahwa Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu menceraikan istrinya yang sedang haid, kemudian Umar bin Khathab a mengadukan perkara ini kepada Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم, Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda,
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيْضَ ثُمَّ تَطْهُرَ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ العِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Perintahkanlah ia (Ibnu Umar) untuk kembali kepada istrinya, kemudian menahannya sampai istrinya suci dari haid, kemudian sampai istrinya haid kembali dan kemudian suci, setelah itu jika ia menghendaki boleh menahannya, dan jika dia menghendaki boleh mentalaknya sebelum ia menyentuh istrinya. Itulah iddah yang diperintahkan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى ketika hendak menceraikan wanita.” (HR. Al-Bukhari)
BACA JUGA: KEADILAN DALAM IDDAH
Hadits ini sebagai dalil tidak dihalalkannya seseorang menceraikan istrinya yang sedang haid atau menceraikan istrinya yang sedang suci akan tetapi ia telah menjimakinya, kecuali jika kehamilannya telah pasti. (Imam As-Sa’di, Manhaju as-Salikin wa Taudhihu al-Fiqhi fi ad-Din, hal. 208)
Para ulama sepakat diharamkannya talak bagi wanita yang sedang haidh berdasarkan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah di atas. Namun demikian ada dua keadaan yang dikecualikan, pertama adalah mentalak istri yang sedang haid pada saat ia belum pernah disentuh oleh suaminya, contohnya adalah seorang laki-laki yang baru menikahi wanita dan belum menyentuh wanita yang dinikahi tersebut, kemudian ia mentalaknya dan ternyata istrinya sedang haid. Kasus seperti ini diperbolehkan, karena wanita tersebut tidak menjalani iddah, sehingga tidak masuk dalam firman Allah, “Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (QS. Ath-Thalaq: 1).
Yang kedua, talak bagi wanita yang menyerahkan pemberian suaminya, yaitu perceraian yang diajukan oleh wanita. Dalam kondisi seperti ini diperbolehkan bagi laki-laki untuk mentalaknya meskipun dalam keadaan haid. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas, bahwa istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi صلى ا لله عليه وسلم dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela seseorang dan tidak pula mencela agama, namun aku tidak mau terjerumus pada kekufuran dalam agama Islam.” Maka Nabi bersabda, “Apakah engkau mau mengembalikan kebun yang telah diberikan kepadamu?” Istri Tabit berkata, “Iya,” kemudian Rasulullah berkata (kepada Tsabit bin Qais), “Terimalah pengembalian kebun itu dan ceraikanlah ia.” (HR. Al-Bukhari)
Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم tidak menanyakan kepada istri Tsabit bin Qais tentang kondisi haid atau sucinya, sebab talak ini terjadi atas permintaan dari pihak istri, maka diperbolehkan dalam keadaan seperti apa pun. (Al-Utsaimin, Risalah fi ad-Dima’ ath-Thabi’iyah li an-Nisa’, hal. 33). Wallahu a’lam. [ ]