Hukum Menimbun Barang Saat Terjadi Krisis
Beberapa waktu yang lalu pasca tersebarnya berita tentang virus Corona yang mulai masuk ke Indonesia banyak terjadi penimbunan masker di beberapa tempat. Efeknya meluas ke berbagai daerah, harga masker melambung tinggi jauh di atas harga wajar. Imbasnya juga sangat terasa pada peralatan kesehatan lain. Di saat banyak orang membutuhkan, harga melambung tinggi, sementara stok barang tidak mampu mengimbangi.
Penimbunan barang adalah salah satu di antara pilar tegaknya ekonomi kapitalis, maka tidak selayaknya seorang muslim melakukannya.
Dalam fikih Islam tindakan seperti ini termasuk larangan, para fuqaha menyebutnya dengan istilah al-Ikhtikar.
Namun, apakah larangan menimbun barang dalam Islam berlaku secara general?
Al-Ikhtikar: Definisi Syar’i Tindakan Menimbun Barang
Secara bahasa yang dimaksud dengan ihtikar itu adalah menyimpan makanan dengan tujuan dijual kembali saat harganya naik. Pelakunya disebut dengan muhtakir.
Ibnu Sayyid mengatakan bahwa al-Ikhtikar itu berarti mengumpulkan makanan dan semisalnya dari berupa bahan makanan untuk disimpan dan dijual lagi ketika harga melambung tinggi. lafal-Ikhtikar adalah pecahan dari kata al-hakru yang berarti berbuat aniaya, zalim, mengurangi, dan buruk dalam berinteraksi.
Ada perbedaan definisi menurut para fuqaha ketika memaknai ihtikar secara terminologi.
Menurut fuqaha Hanafiyah yang dimaksud dengan ihtikar adalah menimbun makanan dan semisalnya hingga harga melambung tinggi selama 40 hari.
Sedangkan fuqaha Malikiyah berpendapat ihtikar berarti menyimpan barang dagangan guna mendulang keuntungan lewat tidak stabilnya kondisi pasar.
Baca: Siapa yang Pertama Kali Mengerjakan Shalat Nishfu Sya’ban di Masjidil Aqsha?
Sementara menurut fuqaha Syafi’iyah, ihtikar berarti membeli bahan makanan ketika harga melambung tinggi, dengan tujuan untuk disimpan dan dijual kembali ketika harganya semakin naik dengan tujuan menimbulkan kekacauan.
Beda halnya dengan fuqaha Hanabilah, menurut mereka ihtikar itu diharamkan jika terpenuhi tiga syarat.
Pertama, mendapatkan barang dengan cara membeli.
Kedua, yang dibeli adalah berupa bahan makanan.
Ketiga, menimbulkan kekacauan bagi orang banyak, bisa jadi karena dilakukan di tempat yang berpotensi menimbulkan kekacauan. Bisa juga di tempat lain ketika kondisi sulit, datanglah sekelompok pedagang dengan membawa barang dagangan, kemudian diborong oleh orang kaya sehingga menimbulkan kesulitan bagi orang banyak.
Dari definisi yang dipaparkan fuqaha empat mazhab tersebut disimpulkan oleh DR. Fathi ad-Duraini bahwa ihtikar berarti menahan atau menyimpan harta manfaat atau jasa, dan tidak menjualnya kecuali ketika harga itu melambung tinggi di atas harga yang wajar. Bisa jadi karena minimnya jumlah atau tidak adanya komoditas di tempat sumbernya padahal dibutuhkan oleh orang banyak, pemerintah, atau bahkan hewan.
Lebih lanjut beliau jelaskan beberapa poin tentang definisi tersebut. Di antaranya,
Pertama, bahwa apapun barangnya, jika kemaslahatan orang banyak tidak bisa terpenuhi tanpanya maka menjadi suatu keharusan untuk diwujudkan.
Kedua, dalam definisi tersebut tidak ada catatan apakah barang itu impor atau memang sudah ada di pasar kemudian ada pihak tertentu yang memborongnya.
Baca: Bencana Besar Jika Ibadah Haji Ditiadakan Tahun Ini, Benarkah?
Ketiga, mudarat yang dimaksud tidak hanya menimpa manusia, tapi juga hewan.
Keempat, yang menjadi dasar keharaman menimbun barang adalah adanya faktor kebutuhan. Kondisi ini yang membedakan antara menimbun yang dibolehkan dan dilarang.
2 Pendapat Soal Hukum Menimbun Barang
Dalam menyikapi hukumnya, para ulama terbagi menjadi dua kelompok besar.
Pendapat pertama, Menimbun barang hukumnya haram.
Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha, di antaranya adalah Malikiyah kemudian pendapat yang paling kuat dalam mazhab Syafi’i, Hanabilah, Zahiriyah, dan selain mereka.
Pendapat mereka berlandaskan pada al-Quran, sunah, dan atsar.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَنْ يُّرِدْ فِيْهِ بِاِلْحَادٍۢ بِظُلْمٍ نُّذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ
“Dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih.” (QS. Al-Hajj: 25)
Ketika menafsiri ayat ini, imam al-Qurtubi menyitir hadits dari Ya’la bin Umayyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
احْتِكَارُ الطَّعَامِ فِي الْحَرَمِ إِلْحَادٌ فِيهِ
“Menimbun makanan di tanah haram itu termasuk bentuk penyimpangan.” (HR. Abu Daud, No. 1740)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa ayat ini menjadi dasar haramnya menimbun barang. Imam al-Ghazali menuturkan bahwa menimbun barang termasuk bentuk kezaliman dan masuk dalam ancaman Allah Ta’ala.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ma’mar bin Abdullah al-Adawi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ
“Tidak ada orang yang menimbun barang kecuali seorang pendosa.” (HR. Muslim, No. 3098)
Imam asy-Syaukani mengatakan, seorang penimbun barang itu adalah pendosa, dan dapat dipahami bahwa perbuatannya itu tidak diperbolehkan karena pendosa itu ahli maksiat.
Baca: Shalat Jumat atau shalat Zhuhur?
Ada juga hadits dari Ma’qil bin Yasar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ دَخَلَ فِي شَيْءٍ مِنْ أَسْعَارِ الْمُسْلِمِينَ لِيُغْلِيَهُ عَلَيْهِمْ، كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يَقْذِفَهُ فِي مُعْظَمٍ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa melakukan tindakan yang menyebabkan kenaikan harga barang bagi kaum muslimin maka Allah berhak untuk menempatkannya di tengah-tengah api neraka.” (HR. Thabrani dalam Mu’jamul Awsath No. 8651)
Penjelasan hadits tentang hukuman yang diberikan kepada penimbun barang menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan itu hukumnya haram.
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan, “Tidak boleh ada penimbunan di pasar kami.”
Diriwayatkan juga dari Utsman bin Affan yang melarang menimbun barang.
Ali bin Abi Thalib juga pernah menuturkan, “Barang siapa menimbun makanan selama 40 hari, maka hartinya menjadi keras.“ (HR. Malik dalam al-Muwatha’, No. 1340).
Pendapat kedua, Menimbun barang hukumnya makruh.
Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha Hanafiyah dan sebagian Syafi’iyah.
Menurut mereka menimbun barang hukumnya makruh bilamana menimbulkan bahaya bagi banyak orang.
Argumentasi mereka, pertama, terbatasnya riwayat yang menjelaskan tentang ihtikar dari sisi sanadnya dan juga kekuatan dalilnya tidak cukup untuk menjadi bukti atas.
Argumentasi ini terbantahkan, sebab hukum makruh yang diungkapkan oleh Hanafiah biasanya bersifat mutlak, artinya makna yang dimaksud adalah makruh tahrim. Efek makruh tahrim bagi pelakunya adalah sebagaimana pelaku perbuatan yang diharamkan. Mereka berhak mendapat dosa.
Argumentasi kedua, setiap orang memiliki hak penuh atas hartanya, sehingga bebas menggunakan hartanya. Keharaman ihtikar berarti bentuk pembatasan bagi mereka dalam menggunakan harta. Argumentasi ini terbantahkan juga, sebab kebebasan untuk memiliki harta itu bersifat mutlak dengan catatan selama tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain.
Dari kedua pendapat di atas, pendapat jumhur lebih tepat.
Para ulama menjelaskan bahwa hikmah diharamkannya menimbun barang guna menepis timbulnya bahaya bagi banyak orang.
Sebagaimana halnya kesepakatan para ulama jika seseorang memiliki makanan sementara banyak orang membutuhkan dan mereka tidak mendapatkannya kecuali dari orang tersebut, maka dia boleh dipaksa untuk menjual makanannya dalam rangka menepis bahaya dan mempertahankan hidup.
Menimbun Barang Hukumnya Haram dengan Beberapa Syarat Berikut Ini:
Ada poin penting yang disepakati oleh para fuqaha. Tindakan menimbun barang bukan hanya persoalan menahan barang. Sebab terkadang ada orang yang menyimpan barang untuk kebutuhan keluarganya beberapa waktu. Tindakan seperti ini tidak bisa dikategorikan sebagai ihtikar yang diharamkan.
Sebagaimana diriwayatkan dari Malik bin Anas dari Umar bin Khattab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjual pohon kurma Bani Nadhir dan menyimpan makanan untuk persediaan selama setahun bagi keluarganya (HR. Al-Bukhari, No: 4938).
Maka ada beberapa syarat yang harus terpenuhi sehingga tindakan penimbunan barang bisa dikategorikan haram hukumnya:
Baca: Memakai Hand Sanitizer Sebelum Shalat, Shalatnya Sah?
Syarat Pertama: Menimbun barang hukumnya haram jika objek yang ditimbun termasuk kebutuhan orang banyak.
Tidak hanya khusus pada makanan pokok saja, sebagaimana dijelaskan oleh Imam as-Shan’ani bahwa hadits-hadits yang menolak melarang tindakan menimbun itu ada yang bersifat mutlak tapi ada juga yang terperinci.
Menurut jumhur ulama, kemutlakan hadits itu lebih didahulukan kecuali pendapat Abu Tsaur. Namun pendapat Abu Tsaur tersebut dibantah mengingat hikmah yang besar dengan diharamkannya ihtikar yaitu mencegah bahaya yang dapat melanda banyak orang.
Syarat Kedua: Menimbun barang hukumnya haram jika objek yang ditimbun dibeli dari daerah setempat bukan dari luar daerah (impor).
Argumentasinya, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dari Umar bin Khattab,
الْجَالِبُ مَرْزُوقٌ، وَالْمُحْتَكِرُ مَلْعُونٌ
“Orang yang mendatangkan makanan akan dilimpahkan rezeki sementara penimbun akan dilaknat.” (HR. Ibnu Majah, No. 2153).
Selain itu, kebutuhan orang biasanya berkaitan erat dengan keberadaan barang di daerah setempat, sehingga jika kebutuhan tersebut dibeli dan ditimbun akan menimbulkan mudarat bagi mereka.
Ini tidak berlaku pada barang yang didatangkan dari luar. Sebab para penimbun itu biasanya tidak mendatangkan dari luar. Meskipun lebih utama baik bagi yang mengimpor ataupun bukan pengimpor tidak melakukan penimbunan sehingga tidak menimbulkan mudarat bagi orang banyak.
Syarat Ketiga: Menimbun barang hukumnya haram jika tindakan penimbunan tersebut dilakukan ketika kondisi sedang susah dan sulit serta harga sedang melambung tinggi, dan juga menimbulkan masalah bagi orang banyak.
Syarat Keempat: Jangka waktu penimbunan.
Ada satu riwayat yang menjelaskan tentang larangan menimbun selama 40 hari sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma. (HR. Ahmad, No: 4880).
Para fuqaha berselisih pendapat tentang jangka waktu penyimpanan ini menjadi empat pendapat.
Pendapat pertama, jangka minimal penimbunan itu selama 40 hari yang dilakukan dengan sengaja berdasarkan zhahir hadits.
Kedua, minimal jangka penimbunan itu dilakukan selama satu bulan, kurang dari itu sebagai bentuk antisipasi.
Ketiga, penimbunan apapun itu tetap dalam kategori diharamkan baik lama ataupun sebentar. Sebab jangka waktu pada hadis tersebut bukan bermaksud pembatasan waktu, tapi menerangkan bahwa maksud penimbun menjadikan tindakannya sebagai lahan profit dan juga membahayakan orang lain. Imam Syaukani menjelaskan bahwa beliau tidak mendapati ada ulama yang mendasarkan pendapatnya pada pembatasan waktu ini.
Keempat, seorang penimbun mendapatkan sanksi secara agama karena perbuatannya, baik dilakukan dalam jangka waktu lama atau pendek. Sementara keterangan waktu dalam hadits dimaksudkan sebagai jangka waktu pengambilan tindakan yang diberlakukan pada pelakunya di dunia Apakah nantinya dia dipaksa untuk menjual barang yang dia timbun agar tidak membahayakan orang lain atau semisalnya.
Strategi Pencegahan Upaya Menimbun Barang oleh Oknum
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh seorang pemimpin guna mengatur dan mengendalikan tindakan penimbunan barang oleh oknum yang tak bertanggung jawab,
Pertama, Memaksa penimbun untuk mengeluarkan barangnya ke pasar dan dijual dengan harga yang biasa dia terapkan sebelum ditimbun dengan ditambah nominal yang wajar.
Dalam rangka menepis kezaliman terhadap orang banyak dan mewujudkan keuntungan yang rasional bagi pedagang sehingga kemaslahatan dua belah pihak bisa dicapai.
Kedua, Jika pelakunya membangkang, tidak mau menjual dengan harga yang biasa diterapkan sebelum penimbunan, maka pihak yang berwenang menjualnya sebagai perwakilan dari penimbun dengan harga yang adil, sehingga tidak membahayakan dirinya dan juga orang banyak.
Seperti ini yang harus diberlakukan, sebab tidak boleh keadilan itu dikesampingkan hanya karena keinginan orang-orang yang sedang tertekan dan kesulitan. Mengenyampingkan keadilan adalah bentuk kedhaliman dan secara syar’i diharamkan.
Ketiga, Menghalangi penimbun mendapatkan keuntungan. Tindakan ini sebagai bentuk hukuman baginya dan perlakuan yang setimpal.
Ini termasuk bagian dari hukuman yang bersifat materi atas penyimpangan yang dilakukan berupa penimbunan barang. Perlakuan yang setimpal tersebut sebagai balasan atas buruknya niat dan dan keserakahannya untuk meraup keuntungan. Sanksi ini ditetapkan oleh para ulama sebagai aturan karena memang tidak ada nash secara khusus.
Baca: Pakaian Wanita Ketika Shalat
Keempat, Pihak yang berpihak berwenang mengambil alih harta pelaku penimbun tersebut dan memisahkan dirinya dari orang banyak jika dihawatirkan akan menimbulkan kerusakan dan kekacauan.
Tindakan ini dilakukan oleh pihak yang berwenang atas dasar kaidah kedaruratan berdasarkan firman Allah Taala dalam surat al-An’am ayat 119 dan al-Maidah ayat 5. Kedua ayat ini menegaskan bahwa dalam kondisi terpaksa seseorang boleh mengambil harta orang lain secara paksa hanya sekedar untuk bertahan hidup, dengan memberikan kompensasi yang sewajarnya.
Inilah batas yang disepakati oleh para ulama ketika seseorang dalam kondisi darurat dan kelaparan. Dan kebutuhan orang banyak tersebut statusnya sama sebagai bentuk pengecualian.
Kelima, Mengatur kondisi yang sedang kacau dengan membagi-bagi bahan makanan yang ada secara adil.
Fuqaha Maliki berpendapat bahwasanya tidak boleh bagi seorang pun dalam kondisi sulit membeli dari pasar dengan kadar yang membahayakan orang lain. Maka tidak boleh membeli kecuali kebutuhan untuk beberapa hari atau bulan berdasarkan situasi dan kondisi.
Berdasar uraian diatas, tindakan penimbunan barang apapun itu ketika menjadi objek yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak menjadi terlarang. Seperti halnya sarana kesehatan yang sangat dibutuhkan di masa pandemic covid 19 saat ini. Wallahu A’lam. (Ilyas Mursito/hujjah.net)
REFERENSI:
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (Beirut: Darul Ma’rifah, TT), Vol. 2
Al-Bahuti, Kasyaf al-Qanna’ ‘An Matnil Iqna’, (Darul Kutub al-Ilmiyah, TT), Vol. 3.
Al-Baji, Al-Muntaqa Syarh al-Muwatha, (Mesir: Mathba’ah Sa’adah, Cet-1, 1332 H), Vol. 5.
Al-Marghinani, Al-Hidayah Syarh Bidayatul Mubtadi, Tahqiq: Thalal Yusuf, (Beirut: Dar Ihya at-Turats, TT), Vol. 8.
Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li ahkamil Quran, Tahqiq: Ibrahim Adfisy, (Kairo: Dar Kutub al-Misriyah, Cet-2, 1384 H), 12.
An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyaut Turats al-Arabi, Cet-2, 1392), Vol. 11
Ash-Shan’ani, Subulus Salam, (Darul Hadits, TT), Vol. 2.
Asy-Syaukani, Nailul Authar, Tahqiq: Ishamudin ash-Shababithi, (Mesir: Darul Hadits, Cet-1, 1413 H), Vol. 5.
Muhammad Abdus Sattar, Al-Ikhtikar wat Tas’ir al-Jabari, (Maktabah al-Ghad, TT)
Abu Majid, Buhuts Fiqhiyah fi Qadhaya Iqtishadiyah Mu’ashirah, (Beirut: Darun Nafais, Cet-1, 1418 H), Vol. 2.
Ibnu Bazizah, Raudhatul Mustabin Syarh Kitabi at-Talqin, Tahqiq: Abdul Latif Zukagh, (Dar Ibnu Hazm, Cet-1, 1431 H), Vol. 2.
Majduddin al-Mushili, Al–Ikhtiyar Li Ta’lilil Mukhtar, (Kairo: Mathba’ah al-Halabi, 1356 H), Vol. 4.