Membaca al-Qur’an merupakan salah satu amal ibadah rutinitas yang utama dan mulia. Namun, amal ibadah ini menjadi persoalan tersendiri bagi wanita yang sedang haid. Bolehkah seorang wanita yang sedang haid membaca al-Qur’an, sementara al-Qur’an adalah kitab suci yang harus selalu terjaga?
Wanita Haid Haram Membaca Al-Qur’an
Imam An-Nawawi (676 H), salah satu ulama mazhab Syafi’i menjelaskan dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut:
فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِي قِرَاءَةِ الْحَائِضِ الْقُرْآنَ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا الْمَشْهُوْرَ تَحْرِيْمُهَا.
“Dalam pendapat para ulama mazhab mengenai hukum seorang wanita haid membaca Al-Quran, sungguh telah kami sebutkan bahwa pendapat yang masyhur dari mazhab kami adalah mengharamkannya.” (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi, 2/357)
As-Sarkhasi (483 H), salah satu ulama dari mazhab Hanafi juga menjelaskan,
وَلَيْسَ لِلْحَائِضِ مَسُّ الْمُصْحَفِ وَلَا دُخُوْلُ الْمَسْجِدِ وَلَا قِرَاءَةُ آَيَةِ تَامَةٌ مِنَ الْقُرْآنِ.
“Bagi wanita yang sedang haid tidak diperbolehkan memegang mushaf al-Qur’an, memasuki masjid dan membaca satu ayat Al-Qur’an dengan sempurna.” (Al-Mabsuth, As-Sarkhasi, 3/ 195)
Zainuddin bin Nujaim al-Hanafi, menjelaskan di dalam kitabnya Al-Bahru ar-Raiq syarhu Kanzi ad-Daqaiq,
(وَقِرَاءَةَ الْقُرْآنِ) أَيْ يَمْنَعُ الْحَيْضُ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ وَكَذَا الْجَنَابَةُ لِقَوْلِهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم لَا تَقْرَأْ الْحَائِضُ وَلَا الْجُنُبُ شَيْئاً مِنَ الْقُرْآنِ.
“Membaca al-Qur’an maksudnya seorang wanita haid tidak diperbolehkan membaca al-Qur’an, begitu pula junub. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ, ‘Seorang wanita haid dan junub tidak diperbolehkan membaca sesuatu apapun dari bacaan al-Qur’an.” (Al-Bahru ar-Raiq syarhu kanzi ad-Daqaiq, Zainuddin bin Nujaim al-Hanafi, 209)
BACA JUGA: Tadarusan One Day One Juz (Odoj) Bagi Wanita Haidh
Ibnu Qudamah (w.620 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Hanbali menuliskan dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut:
وَلَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ جُنُبٌ وَلَا حَائِضٌ وَلَا نُفَسَاءٌ…وَيَحْرُمُ عَلَيْهِمْ قِرَاءَةَ آيَةٍ فَأَمَّا بَعْضُ آيَةٍ فَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا يَتَمَيَّزُ بِهِ الْقُرْآنَ مِنْ غَيْرِهِ كَالتَّسْمِيَّةِ وَالْحَمْدِ للهِ وَسَائِرِ الذِّكْرِ فَإِنْ لَمْ يَقْصُدْ بِهِ الْقُرْآنَ فَلَا بَأْسَ فَإِنَّهُ لَا خِلَافَ فِي أَنَّ لَهُمْ ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى.
“Seorang yang junub, wanita haid dan nifas tidak diperbolehkan membaca Al-Quran… dan diharamkan bagi mereka (seorang junub, wanita haid dan nifas) membaca satu ayat Al-Quran, namun diperbolehkan bagi mereka membaca sebagian potongan dari satu ayat jika tidak bisa membedakan antara Al-Quran dengan selainnya seperti membaca basmalah, hamdalah dan semua dzikir dengan syarat tidak meniatkan membaca Al-Quran, karena tidak ada perbedaan pendapat mengenai kebolehan bagi mereka berdzikir kepada Allah Ta’ala. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, 1/165)
Wanita Haid boleh Membaca Al-Qur’an
Ad-Dasuki (w. 1230H) berkata,
أَنَّ الْمُعْتَمَدَ أَنَّهُ يَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ حَالَ اسْتِرْسَالِ الدَّمِ عَلَيْهَا كَانَتْ جُنُبًا أَمْ لا خَافَتْ النِّسْيَانَ أَمْ لا كَمَا صَدَّرَ بِهِ ابْنُ رُشْدٍ فِي الْمُقَدِّمَاتِ وَصَوَّبَهُ.
“Pendapat yang benar dalam mazhab ini (mazhab Maliki) adalah bolehnya wanita haid membaca Al-Quran baik ketika masa-masa mengalirnya darah haid serta sebelumnya dia sedang junub ataupun tidak, adanya kekhawatiran lupa hapalannya ataupun tidak. Sebagaimana yang telah dipaparkan dan dibenarkan oleh Ibnu Rusyd (w. 520H) di dalam kitabnya Al-Muqaddimat. (Hasyiyah Ad-Dasuki ‘Ala Asy-Syarhi Al-Kabir, Ad-Dasuki, 1/174)
Ibnu Taimiyah (w. 728H) dalam Fatawa-nya juga menjelaskan,
مَعْلُومٌ أَنَّ النِّسَاءَ كُنَّ يَحِضْنَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَكُنْ يَنْهَاهُنَّ عَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ. كَمَا لَمْ يَكُنْ يَنْهَاهُنَّ عَنْ الذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ، بَلْ أَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَخْرُجْنَ يَوْمَ الْعِيدِ فَيُكَبِّرنَ بِتَكْبِيرِ الْمُسْلِمِينَ.
“Diketahui di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para wanita muslimah tidak dilarang oleh beliau untuk membaca al-Qur’an, sebagaimana beliau tidak melarang mereka dari dzikir dan berdoa. Bahkan beliau menyuruh wanita haid untuk keluar (menuju tempat shalat id) pada hari ‘Id, mereka bertakbir sebagaimana kaum muslimin bertakbir. (Majmu’ al-Fatawa, Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al-Harrani, 21/460)
Perlu diperhatikan bahwa penjelasan para ahli fikih di atas adalah hukum membaca al-Qur’an bagi wanita haid tanpa memegangnya. Hal ini perlu menjadi perhatian karena hukum membaca mushaf bagi wanita haid berbeda dengan hukum memegangnya. Wallahu ‘alam. []