Kita memang mengakui adanya perbedaan pendapat ahli fikih terkait pernikahan beda agama seorang laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslimah Ahli Kitab. Namun Abdul Moqsith Ghazali mengklaim bahwa di antara ulama fikih juga ada yang berpendapat bolehnya secara mutlak pernikahan beda agama; baik antara lakilaki Muslim dengan wanita non-Islam, atau antara wanita Muslimah dengan laki-laki non-Islam.
ARGUMENTASI ABDUL MOQSITH
Klaim Abdul Moqsith tersebut ia tuangkan dalam artikelnya yang berjudul Hukum Nikah Beda Agama (http://islamlib. com/kajian/fikih/hukum-nikah-bedaagama/?pps=full_post).
Setelah menyebut dua perbedaan ahli fikih, Abdul Moqsith menulis, “Ketiga, ulama yang membolehkan secara mutlak. … Jika ulama kedua hanya membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab, maka ulama terakhir membolehkan hukum sebaliknya; perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki Ahli Kitab.”
Argumentasinya yaitu karena “Tak ada beda antara pernikahan laki-laki Muslimperempuan Ahli Kitab dan pernikahan perempuan Muslimah-lelaki Ahli Kitab.” Sebab tidak adanya perbedaan itu lantaran “Tak ada teks dalam al-Qur’an yang secara eksplisit melarang pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab. … tidak adanya larangan itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab.”
Menurut Abdul Moqsith, dalil lain yang menguatkan pendapat tersebut adalah pernikahan putri Rasulullah ﷺ, Zainab dengan Abu al-Ash yang setelah Rasulullah ﷺ menjadi nabi pun tetap memilih menjadi orang musyrik.
BACA JUGA: DAHULUKAN KEPENTINGAN AGAMA
Dalam artikel tersebut Abdul Moqsith terlihat lebih condong pada pendapat yang membolehkan pernikahan agama secara mutlak.
TANGGAPAN ATAS ABDUL MOQSITH
Ada beberapa poin yang perlu dikritisi dari penjelasan Abdul Moqsith di atas, antara lain:
Pertama, terkait nama-nama ahli fikih muktabar yang berpendapat bolehnya pernikahan beda agama secara mutlak. Ketika menerangkan pendapat yang mengharamkan secara mutlak dan yang membolehkan laki-laki Muslim menikahi perempuan Ahli Kitab, Abdul Moqsith menyebut nama sejumlah ahli fikih. Tetapi saat menjelaskan pendapat ketiga, yaitu bolehnya pernikahan beda agama secata mutlak, tak satu pun nama ahli fikih yang disebutkannya.
Jika ditelusuri kitab-kitab fikih, justru akan didapatkan bahwa larangan pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim merupakan ijma’. Di antara ulama yang menukil ijma’ tentang itu yaitu Ibnu Abdil Barr (At-Tamhid, 12/21), Ibnu Qudamah (Al-Mughni, 7/27) dan AlQurthubi. Al-Qurthubi menulis, “(Ulama) umat Islam berijma’ bahwa seorang Musyrik (non-Muslim) tidak boleh menikahi perempuan Muslimah disebabkan (alasan) apa pun. Karena hal itu dapat merendahkan agama Islam.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 3/72).
Kedua, tidak adanya teks al-Quran yang secara eksplisit melarang bukan berarti menunjukkan bahwa hal itu diperbolehkan. Al-Baqarah ayat 221 merupakan hukum asal pernikahan beda agama, yaitu berupa larangan. Ayat tersebut secara eksplisit melarang seorang laki-laki Muslim menikahi perempuan non-Muslimah, demikian juga dengan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Kemudian Al-Maidah ayat 5 memberi keringanan dengan membolehkan laki-laki Muslim menikahi perempuan Ahli Kitab.
Seandainya tidak ada perbedaan antara pernikahan antara laki-laki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab, dan pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab, tentu dijelaskan dalam ayat yang sama. Namun kenyataannya hal itu tidak terjadi.
Karena Al-Baqarah ayat 221 menjelaskan secara rinci hukum pernikahan laki-laki Muslim dan perempuan Muslimah, kemudian Al-Maidah ayat 5 hanya memberi keringanan kepada laki-laki Muslim, ini menunjukkan bahwa hukum pernikahan perempuan Muslimah tetap mengikuti AlBaqarah ayat 221.
Ketiga, kasus pernikahan Zainab, putri Rasulullah ﷺ,, dengan Abu al-Ash telah mansukh (dihapus), sehingga tidak berlaku lagi. Ibnu Abdil Barr (At-Tamhid, 12/21) berkata, “Di antara (dalil) yang menunjukkan bahwa kisah Abu al-Ash telah mansukh yaitu firman-Nya, “Wahai orang-orang beriman! Apabila perempuanperempuan Mukmin datang berhijrah kepada kalian, maka hendaklah kalian uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suamisuami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka.” (QS. AlMumtahanah: 10).
Dari penjalasan di atas jelaslah bahwa pendapat bolehnya pernikahan beda agama secara mutlak, terkhusus pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim, merupakan pendapat yang keliru bahkan menyelisihi ijma’. Sebagai konsekuensinya, pernikahan tersebut tidak sah dalam Islam. Wallahu a’lam. []