Ustadz, acara kumpul keluarga besar kakek buyut kami pada bulan Syawal lalu diselenggarkan di rumah salah seorang saudara jauh kami. Dia bekerja di sebuah Bank Konvensional yang mempraktikkan transaksi riba. Kami—saya, istri, dan anak-anak—sepakat untuk tidak menyentuh makanan dan minuman yang dihidangkan. Maka, kami pun menjadi perhatian semua yang hadir. Sebenarnya, boleh atau tidak saya menyantap hidangan dari orang yang terlibat dengan transaksi riba? (Azmi—Bandung)
BACA JUGA: RIBA UNTUK MEMBAYAR RIBA
Memanfaatkan atau menerima pemberian orang yang terlibat dengan transaksi riba, ia digaji dengan bertransaksi riba, pada asalnya adalah mubah. Para ahli fikih telah menegaskan kebolehan memanfaatkan atau menerima pemberian orang yang hartanya tercampur antara yang halal dan yang haram, meskipun yang haram lebih banyak. Dalilnya adalah perbuatan Nabi ﷺ dimana beliau makan makanan orang Yahudi dan mendatangi undangan perempuan Yahudi yang meracuni beliau. Beliau pun bertransaksi jual-beli dengan mereka. Sudah diketahui bersama bahwa harta mereka tercampur antara yang riba dan yang lain.
Ibnu Hajar al-Haytami berkata, “Disunnahkan bagi setiap orang untuk berhati-hati sehubungan dengan nafkah dirinya dan nafkah orang yang menjadi tanggung jawabnya sebisa mungkin. Jika kesulitan, setidaknya bagi dirinya sendiri. Bermuamalah dengan orang yang kebanyakan hartanya haram tidak diharamkan. Demikian pula halnya makan darinya. Demikian pendapat yang dinyatakan benar oleh Imam an-Nawawi di dalam al-Majmu’.” (Tuhfatul Muhtaj, 9/389)
Hanya, kalau hendak bersikap wara’ (hati-hati) dan memberikan kesan bahwa kita tidak suka dengan pekerjaan riba yang dilakukannya, tidak mengambil atau memanfaatkannya lebih baik. Pun sebagian ulama memakruhkannya.
Pendapat yang mana pun yang diambil, menasihati saudara agar meninggalkan perbuatan munkar adalah sesuatu yang masyru’ dan kita harus waspada, jangan sampai ia salah paham dengan sikap kita. Wallahu a’lam. [.]