Sajian kali ini bercerita tentang seorang tokoh dari kalangan tabi’in. Dulu dia seorang budak. Tapi ketakwaannya kepada Allah menjadikan tuannya memerdekannya. Dia adalah Rufai’ bin Mihran atau yang biasa dikenal dengan Abu al-‘Aliyah
TUNDUK, LALU MASUK ISLAM
Abu al-‘Aliyah tumbuh menjadi dewasa di Negara Persia yang penduduknya menyembah berhala. Hingga tibalah masa kekhilafahan Abu Bakar. Beliau memerintahkan sahabat Khalid bin Walid untuk membebaskan bumi Persia. Singkat cerita, Rufai’ bin Mihran menjadi tawanan dan menjadi seorang budak wanita dari bani Tamim. Dikisahkan, ia masuk ke dalam agama Islam. Kemudian ia mulai mempelajari Kitabullah dan hadits-hadits Rasulullah SAW. ILMU
MEMBAWA KEMULIAAN
Banyak ayat dan hadits yang menjelaskan akan keutamaan orang yang berilmu. Di antaranya Allah f akan mengangkat derajatnya baik di dunia terlebih di akhirat.
Suatu ketika Abu al-’Aliyah menemui Abdullah bin Abbas yang saat itu menjadi gubernur Bashrah di bawah pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Abdullah bin Abbas menyambutnya dengan sangat baik. Beliau dudukkan di atas ranjangnya dan didudukkan di samping kanannya.
Ketika itu majelis dihadiri oleh para pembesar Quraisy. Mereka saling melirik dan berbisik di antara mereka, “Tidakkah kalian melihat bagaimana Ibnu Abbas mendudukkan budak itu di atas ranjangnya?” Ibnu Abbas yang melihat gelagat mereka menoleh ke arah mereka dan berkata, “Sesungguhnya ilmu menambah kemuliaan orang yang mulia, dan meninggikan derajat pemiliknya di tengah manusia dan mendudukkan para raja laksana tawanan.”
TUTUR BIJAK MANTAN BUDAK
Abu al-’Aliyah tumbuh menjadi seorang ulama’. Ia banyak memberikan nasehatnasehat. Di antara nasehatnya,
“Sibukkanlah diri kalian untuk menimba ilmu dan perbanyaklah bertanya tentangnya. Ketahuilah bahwa ilmu tidak akan hinggap bagi orang yang malu (dalam hal ilmu) dan orang yang sombong. Orang yang malu dia tidak akan bertanya karena malu, orang yang sombong tidak akan bertanya karena kecongkakannya.”
Beliau juga berkata, “Pelajarilah Al-Qur’an. Jika kalian mempelajarinya maka janganlah kalian menyimpang darinya. Tempuhlah jalan yang lurus. Itulah Islam. Jauhilah oleh kalian hawa nafsu dan bid’ah. Karena ia akan membangkitkan permusuhan dan kebencian di antara kalian. Janganlah kalian menyelisihi perkara yang telah diambil oleh para sahabat Rasulullah SAW sebelum mereka berpecah.”
BERHATI-HATI SEBELUM BERTINDAK
Peristiwa besar yang tidak terlupakan sejarah adalah kisah perang antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah. Umat terpecah menjadi dua kubu, sebagian ikut kubu Ali, sebagian lain ikut kubu Muawiyah. Mereka semua siap bertempur untuk saling menyerang.
Abu al-’Aliyah mempunyai kisah tersendiri tentang peristiwa itu. Ia berkisah,
“Ketika terjadi peperangan antara Ali dan Mu’awiyah, saya termasuk orang yang bersemangat. Perang ketika itu lebih aku sukai daripada air dingin di musim kering. Maka saya mempersiapkan perlengkapan kemudian mendatangi mereka.
“Ternyata di hadapan saya telah berdiri dua barisan pasukan berhadapan yang tak kelihatan ujungnya. Jika satu barisan meneriakkan takbir maka barisan lainpun meneriakkan takbir. Jika yang satu meneriakkan la ilaha illallah, kelompok yang lain pun meneriakkan la ilaha illallah.”
Lalu saya bertanya-tanya kepada diriku sendiri, “Manakah di antara dua kelompok pasukan yang saya anggap kafir dan akan saya perangi?”
“Manakah yang saya anggap mukmin sehingga saya akan berjihad bersamanya? Lalu aku tinggalkan keduanya dan pergi.”
(baca juga: Saat Al-Auza’i dan Abu Hanifah berdebat)
AMPUTASI KAKI YANG SUCI
Dikisahkan Abu al-’Aliyah ikut berperang bersama para mujahidin. Tatkala pagi hari, didapati luka pada salah satu telapak kakinya. Karena lukanya cukup serius, tabib yang merawatnya meminta persetujuan untuk mengamputasi hingga setengah betis, maka beliaupun menyetujuinya.
Tabib itu mulai menyiapkan perlengkapan amputasi; pisau dan gergaji. Kemudian tabib berkata,
“Maukah Anda minum bius agar Anda tidak merasakan kesakitan?”
Beliau menjawab, “Tidak. ada yang lebih baik untukku daripada itu.” Tabib berkata, “Apa itu?”
Beliau berkata, “Carilah untukku seorang untuk membacakan ayat-ayat al-Qur’an. Jika kalian melihat wajahku telah memerah, pandanganku mengarah ke langit, maka berbuatlah sesukamu.”
Maka merekapun melaksanakan permintaan tersebut dan memotong kakinya.
Tatkala selesai amputasi, tabib berkata kepada Abu al-’Aliyah,
“Kenapa Anda tidak merasakan sakit tatkala diamputasi?” beliau menjawab, “Karena saya tersibukkan oleh sejuknya kecintaan kepada Allah, merasakan kelezatan apa yang aku dengar dari Kitabullah sehingga melupakan panasnya gergaji.”
Kemudian beliau pegang kaki beliau dengan tangannya dan beliau melihat kepadanya seraya berkata, “Jika aku bertemu dengan Rabb-ku pada hari kiamat nanti dan bertanya apakah aku telah berjalan dengan kaki ini ke tempat yang haram sejak 40 tahun, atau aku telah berjalan ke tempat yang tidak diperbolehkan? Nisacaya aku akan menjawab, “Belum pernah”.
Abu al-’Aliyah wafat pada bulan Syawal tahun 93 H. Semoga Allah merahmatinya. []
# Abu al-‘Aliyah # Abu al-‘Aliyah # Abu al-‘Aliyah # Abu al-‘Aliyah #