Selama dua bulan terakhir, Indonesia disemarakkan oleh aksi-aksi demonstrasi umat Islam menuntut proses hukum terhadap gubernur nonmuslim yang melecehkan Al-Qur’an. Aksi demonstrasi serupa juga dilakukan oleh umat Islam di Pakistan, Turki, Amerika, dan Australia.
Kaum muslimah tidak lupa ambil bagian dalam aksi-aksi tersebut. Salah satunya, aksi jama’ah pengajiaan wanita di kota Solo pada Jum’at, 4 November 2016 lalu.
Persoalan fikih yang kemudian muncul dari aksi bela Al-Qur’an tersebut adalah, bolehkah wanita muslimah turut serta di dalamnya?
PENDAPAT PERTAMA: MUSLIMAH WAJIB DI RUMAH
Sebagian ulama kontemporer menyatakan kaum muslimah tidak boleh turun ke jalanan dalam aksi bela Al-Qur’an.
Pendapat mereka didasarkan kepada sejumlah argumentasi. Pertama, Allah memerintahkan kaum wanita muslimah yang telah baligh untuk tinggal di dalam rumah. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman, “Dan hendaklah mereka (para wanita muslimah) berdiam di dalam rumah mereka…” (QS. Al-Ahzab [33]: 33)
Wanita muslimah hanya boleh keluar rumah untuk keperluan yang mendesak (dharurat) seperti berobat, atau keperluan yang penting (hajiyat) seperti belajar, belanja kebutuhan pokok, pengajian, dan lain sebagainya.
Kedua, keikutsertaan para wanita muslimah dalam aksi bela Al-Qur’an mengakibatkan terjadinya percampurbauran antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram.
BACA JUGA: KONTOVERSI AL-MAIDAH 51
Hal itu menjadi pintu terbukanya peluang kemaksiatan bagi laki-laki dan wanita yang lemah iman.
Ketiga, keikutsertaan kaum wanita dalam aksi demonstrasi adalah bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh generasi salaf shalih.
PENDAPAT KEDUA: BOLEH DAN BERMASLAHAT
Banyak ulama kontemporer berpendapat kaum wanita muslimah boleh turut serta dalam aksi bela Al-Qur’an, selama mereka memperhatikan adab-adab islami.
Pendapat mereka didasarkan kepada beberapa argumentasi. Pertama, keluarnya para wanita muslimah dalam aksi tersebut didorong oleh sebuah sebab yang sangat kuat, yaitu melawan penghinaan terhadap Al-Qur’an, yang merupakan amalan kekafiran dan kemungkaran yang sangat besar.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka hendaklah ia mengubahnya dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Perintah dalam hadits tersebut bersifat umum, tidak hanya ditujukan bagi kaum lakilaki saja.
Kedua, para wanita muslimah pernah melakukan semacam demonstasi di depan rumah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengadukan kasus kekerasan rumah tangga yang dilakukan oleh suami-suami mereka.
Dari Iyas bin Abdullah bin Abi Dzubab a bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para suami, “Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah (kaum wanita)!”
Lalu Umar bin Khathab a datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan melaporkan, “Kaum wanita telah berani melawan suamisuami mereka.” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan kepada kaum laki-laki untuk memukul istri-istri mereka.
Tak lama kemudian banyak kaum wanita yang mengelilingi rumah keluarga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mengadukan kelakuan kasar suami-suami mereka. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Banyak kaum wanita telah mengelilingi keluarga Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sembari mengadukan kelakuan suami-suami mereka. Suami-suami seperti itu bukanlah orang-orang yang terbaik di antara kalian.” (HR. Abu Daud, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, Ibnu Majah, Ad-Darimi, dan Ibnu Hibban. Hadits shahih)
Analoginya, untuk kasus yang berkaitan dengan urusan pribadi saja, para wanita muslimah boleh berdemonstrasi. Maka untuk kasus pelecehan terhadap AlQur’an yang berkaitan dengan urusan penjagaan kemuliaan agama (hifzhud din) dan kepentingan seluruh umat Islam, kebolehannya lebih kuat.
Ketiga, percampurbauran antara kaum laki-laki dan wanita yang bukan mahram bisa dihindari dalam aksi-aksi bela Al-Qur’an. Hal itu sudah dibuktikan dengan peraturan dan penertiban dari pihak panitia dalam dalam aksi-aksi bela Al-Qur’an di Solo dan kota lainnya.
Keempat, keikutsertaan kaum wanita muslimah memiliki maslahat yang besar dan berskala luas. Ia mampu menaikkan moril kaum muslimin yang memperjuangkan kemuliaan Al-Qur’an. Ia juga menyadarkan kaum muslimin awam yang tidak peduli atau belum memahami kasus pelecehan AlQur’an.
Adanya dua pendapat dalam masalah ini adalah realita yang tak dapat ditolak. Oleh karena itu, sebagaimana bersikap dalam perkara yang bersifat ijtihadi lainnya, seyogianya kita saling bertoleransi kepada saudara kita yang mengambil pendapat yang berbeda dengan yang kita ambil. Wallahu a’lam. [ ]
Referensi:
Abu Qatadah Al-Filisthini, Hukmul Musyarakah fil Muzhaharat wal I’tishamat.
Abul Mundzir Asy-Syinqithi, At-Taqrirat fi Masyru’iyat Al-Muzhaharat.
Badr bin Abdul Hamid Hamisah, Waqfat Ma’a AlAhdats: Ahdats Tunis wa Mishra.