Belajar Cara Menasehati dari Rasulullah
Suatu ketika seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, nasehatilah aku. Nasehat yang tidak begitu panjang sehingga aku tidak mudah melupakannya.”
Untuk menanggapi permintaan laki-laki tersebut kemudian Rasulullah berkata: “Jangan marah.” (HR. Al-Baihaqi)
Di kesempatan lain seorang laki-laki juga datang kepada Rasulullah untuk meminta nasehat. “Wahai Rasulullah, nasehatilah aku dengan nasehat yang ringkas.”
Rasulullah berkata kepadanya: “Jangan berharap pada apa yang ada di tangan orang lain maka engkau akan merasa kaya. Jangan tamak, tamak adalah kefakiran di masa depan. Kerjakanlah shalat seolah-olah engkau akan berpisah dengan dunia. Dan jahuilah perbuatan yang akan membuatmu menyesal di kemudian hari.” (HR. Ibnu Majah)
Nasehat Rasulullah sangatlah banyak. Sebagian ulama dan masyayikh menyusun kitab yang di dalamnya adalah kumpulan nasehat-nasehat Rasulullah. Ada nasehat yang mereka kumpulkan khusus bagi kaum wanita, para pemuda, atau kumpulan nasehat secara umum.
Contohnya, Thaha Abdullah Afifi menyusun kitab berjudul Min Washaya Ar-Rasul dalam dua jilid, Thalib bin Umar bin Haidarah menyusun kitab Washaya Ar-Rasul li Asy-Syabab, Mahmud Al-Mishri menyusun kitab Min Washaya Ar-Rasul Lin Nisa’, dan pastinya nasehat Rasulullah lebih banyak dari apa yang sudah dikumpulkan oleh para ulama.
Rasanya, nasehat yang disampaikan oleh Rasulullah adalah nasehat pertama yang pernah ada dan nasehat yang paling baik. Siapa pun yang diberi nasehat oleh Rasulullah, atau mendengarnya, maka hatinya akan merasa teduh. Hampir tidak ada alasan untuk menolaknya.
Baca juga: #KaidahFikih: Isyarat Orang Bisu Sama dengan Ucapannya
Kita perhatikan dua nasehat tersebut di atas. Laki-laki pertama dalam kisah di atas adalah laki-laki yang sulit menahan amarah. Sehingga Rasulullah menasehatinya supaya bisa menahan amarah, sebab amarah sumber keburukan dan kejahatan.
Sedangkan laki-laki kedua, dia adalah laki-laki yang tamak dan panjang angan-angan. Rasulullah menasehatinya untuk menghindari tamak, mendirikan shalat dengan khusyuk; seolah adalah shalat terakhir yang akan ia kerjakan, dan menasehatinya agar segera melakukan amalan-amalan yang memberi manfaat bagi dirinya.
Tampaknya Rasulullah membaca keadaan setiap orang yang datang kepada beliau untuk meminta nasehat. Rasulullah menyampaikan nasehatnya dengan tepat dan mudah diingat.
Hamid Asyraf Hamdani menyebutkan dalam kitab An-Nashihah Syuruthuha wa Dhawabithuha—setelah mengambil hikmah dari nasehat-nasehat Nabib ditemukan cara-cara dalam memberikan nasehat yang tidak boleh diabaikan, di antaranya,
Pertama, menasehati sesuai kadar kesalahannya,
Kedua, nasehat harus disampaikan atas dasar dalil syar’i,
Ketiga, tidak mengandung lafal pembodohan,
Keempat, nasehat disampaikan melalui sentuhan sikap,
Kelima, memilih waktu yang tepat, jelas, dan menjaga sopan santun.
Kenapa demikian? Karena tujuan syar’i dalam menyampaikan nasehat adalah supaya umat manusia berjalan di atas petunjuk Allah. Mengajak mereka pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran.
Baca juga: Mengubah Kemungkaran dengan Tangan, Hak Siapa?
Nasehat harus tetap disampaikan meskipun tidak membuahkan hasil. Karena hasil segala sesuatu ada di tangan Allah. Allah yang Maha Menentukan segalanya, termasuk petunjuk dan kesesatan seorang hamba.
Jika tujuan daripada nasehat adalah menyampaikan petunjuk Allah, maka orang yang menyampaikan nasehat harus memastikan bahwa nasehatnya sampai kepada orang yang dinasehati.
Menjalankan tugas seperti ini tidak mudah, karena harus menghadapi beragam tabiat umat manusia. Di mana sebagiannya mengikuti tabiat setan, enggan menerima kebenaran atau enggan mengakui kesalahan.
Akan tetapi, Rasulullah telah memberi contoh bagaimana menyampaikan nasehat kepada masyarakat, sekalipun kepada masyarakat yang jauh dari norma-norma kebaikan.
Nasehat disampaikan dengan beragam cara. Tidak kaku pada satu atau dua cara saja. Keragaman dalam memberi nasehat dapat dicapai dengan memperhatikan keadaan orang yang dinasehati. Dari mana asalnya, bagaimana wataknya, hal apa saja yang dianggap sensitif olehnya, apa yang menjadi problem hidupnya, dan sejenisnya.
Imam Al-Ghazali mengibaratkan seperti dokter. Dokter harus menganalisa penyakit yang dirasakan oleh pasien, kemudian memeriksa latar belakangnya; apakah dia memiliki alergi pada obat-obatan, penyakit apa yang pernah dideritanya, dan setelah mengetahui keadaan pasien maka dokter baru akan mampu memberikan resep obat yang cocok untuk tubuh pasien.
Begitu pun dalam menasehati. Nasehat diucapkan pada waktu yang tepat, dengan kalimat yang tepat, dan kepada orang yang tepat. Dan jika telah demikian maka tujuan terpenting dalam nasehat-menasehati akan tercapai. Wallahu a’lam. [Arif Hidayat/hujjah.net]
Daftar Pustaka:
- Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali, 7/184-187, cet. 1/2011 M, Dar al-Minhaj.
- An-Nashihah Syuruthuha wa Dhawabithuha, DR. Hamid Asyraf, hal. 59.