Dalam sebuah tulisan dengan judul “Apakah muslim dan kristen menyembah tuhan yang sama?”, Prof. Mun’im Sirry mencoba menguak perdebatan Islam-Kristen yang sedari dulu al-Quran telah menjelaskan tentang kekufuran mereka yang berpaham trinitas dalam ketuhanan. Bagi yang membaca tulisan beliau ini harus waspada, mengingat hubungannya yang erat dengan keimanan.
Tuhan Umat Islam dan Kristen Sama?
Di awal tulisannya Prof. Mun’im menyebutkan, “Al-Quran sendiri menegaskan secara eksplisit bahwa Tuhan kaum Muslim dan ahlul kitab itu sama”, kalimat ini perlu dijelaskan lebih lanjut, jika tidak maka hanya klaim belaka tanpa bukti dan argumentasi.
Kalaupun ada penjelasan, paham seperti ini tidak akan muncul kecuali dari rahim pluralisme. Yaitu suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, menurut paham ini setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.” Dari paham pluralisme ini nantinya akan menelurkan paham relativisme agama dan nihilisme kebenaran agama.
Baca: Syubhat Mun’im Sirry Soal Perempuan dan Agama
Berangkat dari kesamaan Tuhan tetapi dengan persepsi yang berbeda, selanjutnya Prof. Mun’im Sirry menyatakan pendapat sejumlah ahli perbandingan agama yang mengusulkan yang dibandingkan itu bukan al-Quran dan Bible, tapi al-Quran dan Yesus.
Karena, jika dalam Islam firman Tuhan menjadi kitab (inlibration), dalam Kristen firman menjadi Yesus (incarnation). Ini adalah logika yang tidak tepat, sebab tidak mungkin mengomparasikan antara makhluk dan bukan makhluk.
Jika Prof. Mun’im Sirry menyetujui usulan ahli perbandingan ini, maka perlu dipertanyakan keimanannya tentang al-Quran itu sendiri. Apakah ia menganggap al-Quran sebagai makhluk atau sebagai kalamullah.
Selain itu, tidak mudah bahkan tidak mungkin untuk menghadirkan Yesus sebagai firman Tuhan. Jika dia menjawab itu bisa dilakukan dengan mengkaji antara Injil dan al-Quran, berarti dia menyanggah pendapat sejumlah ahli perbandingan agama tersebut. Apalagi tidak mungkin kita akan mencari injil yang otentik tanpa perubahan di zaman ini.
Sementara al-Quran sendiri menyatakan bahwa injil sudah diubah isinya oleh para ahli kitab. Akankah Prof. Mun’im Sirry meragukan juga pernyataan al-Quran bahwa sudah ada campur tangan pada kitab injil. Jika iya, maka semakin memperjelas posisi keimanan Prof. Mun’im terhadap al-Quran.
Baca: Islam Historis Ala Mun’im Sirry
Pernyataan selanjutnya, Prof. Mun’im Sirry menyebutkan “Konsep teologis inlibrasi dan inkarnasi menggambarkan betapa berbedanya kedua agama ini menggambarkan Tuhan yang sama.”
Dari pernyataan ini saja, jika Prof. Mun’im Sirry menyadari, tampak jelas perbedaan antara Islam dan Kristen.
Islam mendapat kejelasan tentang Tuhan mereka dari Allah sendiri dan Rasulnya. Karena tidak ada yang paling mengetahui tentang diri Allah kecuali Allah sendiri, dan yang paling mengetahui tentang Allah setelah diri-Nya adalah Rasulullah.
Rasul sebagai penerima wahyu dan risalah kenabian menyampaikannya kepada umat manusia. Dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami manusia.
Sedangkan dalam Kristen kalaulah Yesus itu jelmaan Tuhan dan Bible bukan sentral firman Tuhan, lantas bagaimana umat manusia akan memahami kehendak Tuhan?
Jikalau kehendak itu harus dipahami lewat Yesus sendiri, lantas di mana Yesus akan dicari saat ini? Berarti sudah tidak ada lagi wakil dan firman Tuhan yang sentral di bumi, kemudian apa gunanya Bible jika bukan sebagai wujud firman Tuhan?
Satu hal penting yang diakui sendiri oleh Prof. Mun’im Sirry adalah bahwa konsep wahyu dalam Islam dan Kristen itu berbeda, sehingga jangan dipaksakan. Kalau memang beda konsep wahyunya, berarti beda juga konsep Tuhannya, sebab wahyu itu adalah firman Tuhan.
Implikasi Teologis
Diawali dengan mengutip pernyataan Ibnu Arabi bahwa Tuhan yang kita kembangkan sebenarnya bukan Tuhan itu sendiri, melainkan “Tuhan yang diciptakan dalam keyakinan” (Al-Ilāh al-Makhlūq fi al-I‘tiqādāt).
Wajar jika Ibnu Arabi mengatakan seperti itu, bersumber dari keyakinannya tentang al-Hulul dan wihdatul wujud.
Implikasi dari keyakinan ini adalah jika Tuhan adalah makhluk yang tercipta pada diri lewat keyakinan, berarti ada Tuhan pada setiap diri manusia, berarti manusia tidak mendapat kewajiban taklif beribadah, karena ada Tuhan pada dirinya.
Kemudian dia katakan, “Perbedaan ekspresi (‘ibrah) tentang Tuhan merupakan sesuatu yang lumrah, karena Tuhan yang misteri memang memungkinkan untuk dikonseptualisasi secara beragam. Di balik ekspresi yang berbeda terdapat Tuhan yang sama”. Allah adalah zat yang ghaib, barangkali itu yang memicu untuk disebut Tuhan yang misteri.
Kemisterian Tuhan dalam Islam sudah terkover dengan adanya Rasul yang menjelaskan lewat wahyu yang diturunkan dalam al-Quran dan penjelasan beliau dalam banyak riwayat hadits.
Artinya dengan adanya penjelasan dari Allah lewat al-Quran dan Rasulullah lewat sabdanya, kemungkinan timbulnya persepsi yang berbeda itu dapat diatasi. Maka kembalikan sesuatu yang misteri itu kepada yang lebih tahu. Tidak ada yang lebih mengetahui tentang Allah Ta’ala kecuali Allah dan Rasul-Nya.
Di akhir tulisannya, Prof. Mun’im Sirry mengkomparasikan antara tauhid dan trinitas. Seraya menyinggung perdebatan istilah trinitas yang memang tidak didapati dalam Bible, dan bersumber dari keyakinan penjelmaan Tuhan (disclosure of God) dalam Yesus untuk menebus dan menyelamatkan umat manusia. Keterlibatan Tuhan dalam sejarah keselamatan dipahami lewat ruh kudus. Kemudian Prof. Mun’im menyoal tentang kerumitan trinitas dan tauhid, dan menganggap bahwa keduanya sama-sama rumit. Kerumitan konsep tauhid menjadi lebih mudah karena disarikan oleh para ulama dari al-Quran dan Sunnah yang keotentikannya dapat dipertanggungjawabkan.
Pada paragraf terakhir Prof. Mun’im sirry mencoba menekankan toleransi dengan bahasa “Saling menghargai perspektif keagamaan yang berbeda. Menekankan persamaan (commonalities) itu penting, namun tak kalah pentingnya ialah menghargai perbedaan”.
Perlu dicamkan baik-baik, tidak ada agama yang lebih toleran dari Islam. Hal ini terbukti dari perjalanan sejarah semenjak masa Rasulullah hingga kurun setelahnya, selama al-Quran dan Sunah menjadi pedoman dan pegangan.
Baca: Tafsir “Kafir” Versi Mun’im Sirry
Bicara Wahyu Bicara Rasul
Berbicara tentang wahyu berarti berbicara tentang pengembannya. Berbicara tentang penerima dan penyampainya.
Bagian ini yang belum disentuh oleh Prof. Mun’im.
Entah disengaja atau tidak, membicarakan wahyu berupa al-Quran tanpa membincangkan Rasulullah sebagai penyampainya tidaklah sempurna. Terlebih lagi dikaitkan dengan Bible.
Nabi Isa ‘alaihissalam sendiri menyinggung tentang kedatangan beliau, dan Allah Ta’ala mengkhabarkan tentang pembangkangan mereka.
“Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata.” (QS. Shaff: 6)
Menghamba kepada Allah Ta’ala tanpa disertai iman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pelanggaran dalam keimanan. Disebutkan oleh Allah Ta’ala tentang kondisi mereka yang tidak mau mengikuti jalan Rasulullah. Penyesalan yang sangat menggelayuti diri mereka saat disiksa dalam neraka,
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.” (QS. Al-Furqan: 27).
Kedua ayat di atas, kalau memang Prof. Mun’im mengimaninya, menunjukkan bagaimana hubungan erat antara keimanan kepada Allah Ta’ala, kepada kitab suci dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penyampai risalah kepada umat. Poin ini perlu dicermati dan diperhatikan. Wallahu A’lam. (Ilyas Mursito/hujjah.net)
Bahan Bacaan:
Abdullah al-Atsari, Al-Wajiz fi Aqidati Salafis Shalih, (Maktabah Al-Ghuraba, Cet-10, 1435 H), 55
Fatwa MUI no: 7/Munas/VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme agama
Muhammad Ahmad Lauh, Taqdisul Ahkhas fil Fikri ash-Shufi, (Kairo: Dar Ibnul Qayim, Cet-1, 1422 H), 1/558