“Ada enam perkara yang mewajibkan seseorang mandi, tiga di antaranya (baik bagi laki-laki dan perempuan) adalah: bertemunya dua organ yang telah dikhitan, keluar air mani dan kematian”
وَالَّذِ يُوْجِبُ الْغَسْلَ سِتَّةُ أَشْيَاءَ: تَشْتَرِكُ فِيْهَا الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ، وَهِيَ الْتِقَاءُ الْخِتَانَيْنِ وَإِنْزَالُ الْمَنِيِّ وَالْمَوْتُ
BERTEMUNYA DUA ORGAN YANG DIKHITAN
Maksud dari bertemunya dua organ yang dikhitan adalah memasukkan zakar ke dalam farji, atau berjimak. Dalam al-Mughni Ibnu Qudamah menjelaskan tidak harus terjadi pada orang yang berkhitan saja, orang yang tidak berkhitan juga masuk dalam hukum ini. Intinya adalah memasukkan zakar ke dalam farji, meskipun bagian yang dikhitan tidak saling bersentuhan. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, 1/149)
Para ulama sepakat diwajibkan mandi setelah berjimak meskipun tidak sampai mengeluarkan mani. Hal ini berdasarkan sabda Nabi,
إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَغَابَتِ الْحَشْفَةُ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ، أَنْزَلَ أَوْ لَمْ يَنْزِلْ
“Apabila dua kemaluan telah bertemu dan masuk ke dalam, maka dia telah wajib mandi, keluar mani atau tidak keluar.” (HR. Abu Dawud)
Imam an-Nawawi menjelaskan, diwajibkannya mandi setelah berjimak bukan karena keluarnya mani, jika ujung zakar telah terbenam ke dalam farji maka pada waktu itulah mandi menjadi wajib baik bagi laki-laki maupun perempuan. Para ulama telah sepakat dalam hal ini. (AnNawawi, Syarhu Muslim, 4/40-41)
BACA JUGA: Mandi Wajib Karena Junub dan Haid Sekaligus, Bagaimana Caranya?
Diwajibkan mandi bagi orang yang menjimak atau dijimaki, baik melalui qubul maupun dubur, untuk setiap objek manusia maupun binatang, orang yang masih hidup atau sudah mati, kecil maupun dewasa, sukarela maupun terpaksa, tertidur atau terjaga. Meskipun dalam beberapa hal ini para ulama berbeda pendapat. Seperti halnya Imam Abu Hanifah tidak mewajibkan mandi bagi orang yang menjimaki binatang atau orang yang sudah mati, karena tidak sesuai yang dimaksud oleh nash. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 1/150. al-Hushni, Kifayatu alAhkhyar, 63)
KELUAR MANI
Keluarnya mani adalah salah satu sebab seseorang diwajibkan berwudhu. Berdasarkan hadits dari Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah bersabda, “Air (kewajiban mandi) itu dari sebab air (keluar air mani).” (HR. Muslim).
Air mani mempunyai tiga sifat untuk membedakannya dengan madzi atau wadzi. Pertama, memiliki aroma khusus; oleh para ulama disebutkan seperti aroma adonan tepung, dan ketika kering seperti aroma telur. Kedua, air mani keluar dengan menyembur. Ketiga, keluar dengan kenikmatan dan disertai kelesuan. Untuk disebut sebagai mani, tidak perlu semua tiga sifat tersebut terpenuhi. Perbedaan mani laki-laki dan perempuan adalah, mani laki-laki kental berwarna putih sedangkan mani perempuan encer berwarna kuning. Disebutkan hadits dari Ummu Sulaim, Rasulullah bersabda,
إِنَّ مَاءَ الرَّجُلِ غَلِيْظٌ أَبْيَضُ وَمَاءَ الْمَرْأَةِ رَقِيْقٌ أَصْفَرُ
“Sesungguhnya mani lelaki agak kental berwarna putih. Sementara mani perempuan, encer berwarna kuning.” (HR. Muslim).
Menurut mazhab Syafi’i, keluarnya mani adalah sebab seseorang diwajibkan mandi, baik dalam kondisi terjaga maupun tidur, disertai syahwat maupun tidak, melihat keumuman hadits yang ada. (al-Hushni, Kifayatu al-Akhyar, 64)
Orang yang mimpi berjimak dan bangun tidak mendapati air mani maka ia tidak diwajibkan untuk mandi. Di antara dalil yang menunjukkan kesimpulan ini adalah hadits Ummu Sulaim, ia berkata kepada Rasulullah, “Apakah wanita wajib mandi jika mimpi basah?” Rasulullah menjawab, “Iya, apabila ia melihat air mani.” (HR. Al-Bukhari)
Seseorang tidak perlu mengulang mandinya jika mengeluarkan mani setelah mandinya tersebut. Meskipun sebagian ulama berpendapat, jika keluarnya mani setelah kencing maka tidak perlu mengulangi mandinya, namun jika keluar sebelum kencing maka harus mengulangi mandinya. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, 148-147/1).
MANDI MAYIT
Ada dua permasalahan terkait hal ini, pertama adalah kewajiban mandi bagi orang yang mati, sehingga orang yang masih hidup wajib memandikannya. Para ulama berbeda pendapat dalam hukum memandikan mayit, sebagian menyebutkan fardhu kifayah dan sebagian yang lain menyebutkan sunnah kifayah. Namun pendapat yang rajih dan dipilih oleh mayoritas ulama adalah fardhu kifayah, apabila sebagian kaum muslimin telah menunaikannya maka gugurlah kewajiban sebagian yang lain. (Ibnu Rusyd, Bidayatu al-Mujtahid, 239/1)
Kemudian permasalahan yang kedua adalah mandi bagi orang yang memandikan mayit. Para ulama juga berbeda pendapat dalam hal ini, dan pendapat yang lebih rajih adalah disunnahkan, pendapat ini juga dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni dan syaikh al-Utsaimin dalam Syarhu al-Mumti’. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, 134/1. Al-Utsaimin, Syarhu al-Mumti’, 295/1). Wallahu a’lam. []